Mia sedang duduk di tepi ranjang, tubuhnyapun sedikit gemetar. Tangannya yang berdharah ia balut dengan sehelai kain tipis, namun rasa sakit fisik itu tak sebanding dengan rasa sesak di dadanya yang menghimpitnya sejak tadi.
"Aku masih hidup…" bisiknya pelan, matanya menatap kosong ke arah dinding. "Aku baik-baik saja. Tidak ada kegelapan di sini…"
Namun ia tahu, kalimat itu hanyalah kebohongan yang ia katakan pada dirinya sendiri. Kegelapan tidak selalu hadir dalam bentuk bayangan saja. Terkadang, ia seakan hidup di dalam luka yang tidak terlihat.
Tangannya bergerak pelan menyentuh dadanya yang terasa nyeri. Napasnya begitu berat, seolah udara di ruangan itu tak cukup untuk menghidupinya. Kemudian kilasan masa lalu tiba-tiba muncul, mengoyak kesadarannya seperti duri yang telah mencabiknya secara perlahan.
"Sudah empat tahun…" gumamnya lirih. "Aku mempertahankan pernikahan ini. Menahan setiap hinaan dan perlakuan kejamnya…"
Ia memejamkan mata, dan dalam gelap itu, sebuah kenangan muncul dengan tajam, saat dimalam pernikahan mereka.
Di tengah cahaya lampu kristal yang berkilauan, tamu-tamu berdiri dengan pandangan terpana. Christopher, suaminya, berdiri dengan wajah dingin dan ditangannya menggenggam segelas anggur merah.
Tiba-tiba, tanpa sepatah kata, Christopher menuangkan isinya ke atas kepala Mia.
Setelah itu, terdengar gelak tawa dan bisikan tajam langsung menggema di sekeliling mereka.
"Apa kau lihat itu? Dia menuangkan anggur merah kepada istrinya sendiri…"
"Mungkin dia hanya mabuk. Tapi, siapa sih Mia itu sebenarnya?"
"Katanya dia menikah hanya karena demi kekayaan keluarga Lee…"
Mia membuka matanya. Tanpa sadar air matanya telah membasahi pipinya, namun tidak disertai dengan isakan tangis. Dalam keheningan itu, ia menunduk dan menatap pada lantai, seolah di sanalah tempat terkubur seluruh harga dirinya.
"Mereka tidak tahu…" bisiknya nyaris tak terdengar. "Tidak ada yang tahu… Bahwa aku… sangat mencintainya…"
Tangan mungilnya menggenggam erat seprai putih, seakan ia sedang berusaha mencari pegangan di tengah pusaran luka yang kian mendalam. Jantungnya terasa sangat berat, dan hatinya kembali retak oleh kenyataan pahit yang selalu saja menamparnya: ia bukanlah Lusy.
Ia tidak akan pernah bisa menjadi Lusy.
"Christopher…" suaranya lirih. "Sampai kapan aku harus terus membayar semua ini hanya karena aku bukan dirinya?"
Keheningan menyelimuti kamar itu. Hanya suara detik jarum jam yang terdengar, menandai bahwa waktu terus berjalan, sementara hati Mia masih terperangkap di masa lalu yang belum juga sembuh.
***
Lampu diruang makan menyala dengan hangat, dan menciptakan suasana rumah itu tampak terlihat baik-baik saja. Di meja makan sudah tertata rapi hidangan yang lengkap, namun disana hanya satu kursi saja yang terisi. Christopher duduk sendirian, matanya menatap piringnya tanpa minat.
Langkah pelan terdengar menuruni tangga, lalu berhenti di ambang pintu.
"Nona…" panggil Bibi Im dengan suara ragu.
"Iya, Bibi," jawab Mia pelan, ia tersenyum lemah sambil melangkah masuk.
Mia menarik kursi di sebelah Christopher kemudian duduk perlahan. Suasana di ruangan itu mendadak sunyi. Tidak ada percakapan apapun. Hanya bunyi sendok garpu yang bertemu dengan piring, terdengar seperti dentingan waktu yang terlalu tajam di malam itu.
Kemudian aroma samar dari o-bat luka mulai tercium di udara. Christopher melirik ke arahnya, kemudian raut wajahnya langsung berubah menjadi jijik. Ia mengerutkan kening, menatap Mia dari ujung kepala hingga tangan yang dibalut dengan perban.
"Bau o-batmu sangat men-usuk hidungku," ucapnya dingin. "Melihat wajahmu yang bengkak saja membuatku mual. Apa kau ini tidak sadar, sejelek apa penampilanmu sekarang?"
Mia menundukkan kepala. Jemarinya mencengkeram sendok di tangannya, seakan jika dia tidak menggenggamnya dengan erat, maka hatinya yang rapuh akan jatuh berkeping-keping di lantai sekarang juga. Ia menahan napas sejenak sebelum menjawabnya.
"Aku sudah meminum o-bat. Nanti akan aku kompres dengan es. Aku akan pastikan… bekasnya tidak akan terlihat lagi."
Christopher tidak menanggapinya. Tatapannya lurus ke depan, begitu dingin dan tidak peduli.
"Aku akan kembali ke rumah Ibu selama beberapa hari," katanya kemudian. "Pastikan tidak ada satu pun bekas luka yang terlihat saat aku kembali nanti. Kalau sampai Ibu melihatnya… kau tahu aku tidak akan diam saja."
Mia hanya mengangguk pelan. Tidak ada keberanian yang tersisa untuk menatap wajah suaminya.
Beberapa saat kemudian, Christopher menatap layar ponselnya. Alisnya berkerut tajam, beberapa detik kemudian ekspresinya berubah muram. Sepertinya ada sesuatu yang membuatnya marah, tapi Mia belum sempat menanyakannya, ketika suara meja terbalik menggelegar memecah keheningan.
BRAKK!
Piring dan gelas jatuh berserakan, sebagian pecah menghan-tam lantai marmer. Mia sontak terkejut, ia refleks menunduk dan menutupi kepalanya dengan kedua tangannya.
Tanpa sepatah kata pun, Christopher berjalan cepat keluar dari rumah. Tidak lama kemudian, suara mobilnya terdengar meninggalkan halaman dengan kecepatan tinggi.
Mia masih terpaku di kursinya. Napasnya memburu, sementara matanya menatap semua kekacauan di lantai. Sisa-sisa makan malam kini bercampur dengan pecahan kaca. Dan rasa ketakutannya sudah terlalu akrab di rumah itu.
Dalam sunyi yang terasa menyesakkan, ia berbisik kepada dirinya sendiri.
'Sampai kapan aku harus menanggung semua ini sendirian…?'
-🐣-
Ruangan kerja Christopher tenggelam dalam keheningan yang begitu menegangkan. Hanya suara detik jarum jam dinding yang terdengar samar. Lampu gantung di atas meja memberikan cahaya temaram yang memantulkan bayangan lelah di wajah pria yang kini duduk dengan punggung tegak di balik meja besar dari kayu mahoni itu.
Christopher memandangi berkas tebal di tangannya. Semakin ia membaca berkas itu, raut wajahnya perlahan berubah.
"Apakah informasi ini sangat akurat?" tanyanya pelan, namun nadanya terdengar tajam.
Brian, sekretaris pribadinya yang berdiri tegak di hadapannya, tidak menunjukkan keraguan sedikit pun. "Sangat akurat, Tuan," jawabnya dengan tegas. "Alasan mengapa kami dulu kesulitan melacak keberadaan Ahn Lusy… itu dikarenakan ada seseorang yang dengan sengaja menghapus seluruh jejaknya. Tetapi kali ini, kami menemukan petunjuk yang sangat kuat. Saya sangat yakin, keberadaannya akan segera terungkap dengan secepatnya."
Christopher mengernyit. Jari-jarinya mengepal perlahan di atas berkas yang kini nyaris diremasnya. Matanya menajam menatap Brian dengan tatapan dingin.
"Katakan dengan jelas," suaranya pelan tapi men-usuk, "apa hubungannya ini dengan Mia?"
Brian tampak ragu sejenak, sebelum akhirnya ia menarik napas dan menjawabnya dengan hati-hati. "Menurut kesaksian salah satu saksi yang kami temukan… sebelum Ahn Lusy menghilang, dia sempat bertemu dengan Nona Mia. Dan saat itu, Nona Mia diketahui sempat memu-kulnya."
Sejenak, ruang kerja itu terasa hening.
Christopher menunduk perlahan, matanya menatap kosong ke arah dokumen yang ada di tangannya, kata-kata barusan telah merobek sesuatu dalam pikirannya. Ia tidak mengatakan apa-apa. Tetapi diamnya jauh lebih menakutkan daripada amarahnya.
Lampu gantung yang remang itu menyoroti wajahnya yang kini diliputi oleh bayangan gelap. Ia memandangi meja kosong di depannya, seolah sedang mencari jawaban di antara serpihan kenangannya dimasa lalu.
"Mata Lusy… saat itu merah dan bengkak," gumamnya pelan, namun suaranya berat.
"Dia datang kepadaku, sambil menangis… lalu meminta putus," lanjutnya. Pandangannya menerawang jauh. "Aku pikir… itu karena ibuku. Aku pikir dia tidak kuat dengan tekanan keluargaku."
Tangannya mengepal di atas meja, sendi-sendi jarinya memutih karena kekuatan genggaman itu.
"Tapi ternyata..." bisiknya lirih.
Sejurus kemudian, nadanya berubah menjadi dingin dan datar.
"Keluar."
Brian langsung menunduk sopan. "Baik, Tuan." Tanpa membantah, ia meninggalkan ruangan dengan langkah cepat.
***
Hujan turun saat mobil hitam mewah melaju melewati jalanan kota yang sepi. Cahaya lampu jalan memantul di permukaan jendela yang dibasahi oleh hujan gerimis. Di kursi kemudi, Christopher duduk diam, tubuhnya bersandar namun matanya terbuka lebar, ia menatap kosong ke luar jendela.
Kilasan kenangan datang tanpa diundang.
"Kita… aku mau kita putus saja, Chris,"
suara Lusy bergetar, wajahnya penuh dengan air mata.
"Aku… aku tidak bisa lagi denganmu…"
Waktu itu, Christopher tidak pernah benar-benar mengerti. Ia hanya merasa marah, dikhianati, dan tersesat oleh keputusan mendadak dari wanita yang paling ia cintai.
Kini, potongan-potongan puzzle yang selama ini ia abaikan mulai membentuk gambaran yang begitu menyakitkan.
"Jadi, itu sebabnya kau menghilang dariku…" bisik Christopher dalam hati, matanya menyipit. "Karena dia?"
Tangannya mengepal di atas pahanya, menampakkan urat-uratnya yang menegang. Amarah dan kesakitan pun bercampur menjadi satu, menyelimuti dadanya dengan kabut yang sangat pekat.
***
Diruang tengah rumah itu tampak hangat dan begitu terasa nyaman. Lampu kuning yang temaram menambah kesan tenang pada malam yang sudah mulai larut. Di atas sofa, Mia duduk sambil memeluk bantal kecil, matanya menatap ke layar televisi yang sedang menampilkan acara ringan. Namun, pikirannya tidak benar-benar tertuju ke sana.
Sesekali, matanya melirik ke arah jam dinding. Jarumnya sudah menunjukkan hampir pukul sebelas malam, tetapi sosok yang ia tunggu belum juga pulang.
Tiba-tiba suara langkah kaki terdengar mendekat dari dapur.
"Nona Mia…" suara lembut Bibi Im memecah kesunyian malam itu, ditangannya membawa segelas susu hangat. "Jangan menunggu Tuan Chris lagi, ya. Minumlah ini, lalu tidurlah lebih awal. Wajah Nona sudah terlihat sangat lelah."
Mia tersenyum kecil, ia mencoba menyembunyikan kekecewaan yang diam-diam menyusup di hatinya. "Baiklah, Bibi. Terima kasih."
Ia menerima gelas itu dan meminumnya perlahan. Kehangatan susu itu sedikit menenangkan perasaannya yang terus diliputi rasa gelisah.
Setelah mengucapkan selamat malam, Mia berdiri dan menaiki tangga menuju kamarnya di lantai atas. Namun, belum sempat ia sampai di pertengahan anak tangga, suara mobil terdengar dari halaman depan.
Bunyi mesin yang sudah dikenalnya sangat baik.
"Kak Chris pulang..." bisiknya dengan senyum lega yang langsung merekah di wajahnya.
Tanpa berpikir panjang, Mia membalikkan badan dan berlari menuruni anak tangga. Langkahnya ringan, dan hatinya dipenuhi harapan bahwa malam ini mereka bisa berbicara dengan tenang, mungkin bahkan bisa tertawa bersama, walaupun hanya sebentar.
"Kak!" serunya ceria begitu pintu sudah terbuka.
Tapi sambutan yang ia dapat bukanlah pelukan atau sapaan hangat seperti yang ia harapkan.
Christopher masuk dengan langkah tergesa, mimik wajahnya tampak begitu gelap, dan matanya menyala penuh dengan amarah.
"Lee Mia…" desisnya dengan tajam, penuh akan dendam.
"Syallan. Kau… binatang kepa-rat!"
Seketika, wajah Mia membeku. Senyum di bibirnya lenyap dalam sekejap. Kedua matanya membelalak dan tubuhnya seketika gemetar. Ia secara refleks mundur dua langkah, matanya mencari-cari penjelasan dalam sorot tajam pria itu.
"K-Kak?" suaranya pelan, nyaris tak terdengar. Setitik rasa takut mulai merayap masuk kedalam hatinya, menghancurkan harapan yang baru saja tumbuh beberapa detik lalu.
Di hadapannya, Christopher tampak seperti orang asing, bukan seperti Christopher yang dia kenal.
.
.
.
.
.
.
.
-TBC-
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 38 Episodes
Comments