NovelToon NovelToon

Terbelenggu Takdir Ke 2

Episode 1

Hari itu, langit Malang begitu mendung, seperti menggambarkan hati Hafsah yang tengah terkoyak. Tidak ada yang bisa meggambarkan perasaan yang tengah dikuasai dirinya, selain rasa kehilangan yang begitu dalam.

Ragantara, pria yang sangat dicintainya, kini telah meningalkan dia untuk selama-lamanya. Seperti sinar yang padam, ia meninggalkan Hafsah dengan kesunyian yang tak tertahan. Kepergiannya tidak hanya meninggalkan luka, tetapi sebuah tanggung jawab yang kini harus dipikul Hafsah seorang diri.

Ragantara tidak hanya sebagai seorang suami, dia adalah cinta pertama Hafsah yang begitu sulit tergantikan. Setiap kata yang telontar, setiap senyuman, semua itu menjadi kenangan yang mengiris hati. Namun kini, wajah indah itu hanya mampu dikenang, tanpa dapat diraih lagi.

Tidak peduli dengan abayanya yang sudah bercampur dengan tanah basah, Hafsah terus saja menumpahkan rasa sesak didadanya, sambil mengusap nisan sang suami.

Kedua mata Hafsah memerah, bahkan telihat lebih sembab dari biasa. Tangisan itu menyirat rasa putus asa yang begitu dalam, karena dia harus berjuang sendiri dalam keadan berbadan dua.

"Kenapa kamu tidak mengajak kita saja, Mas! Siapa lagi yang menguatkanku, saat putri kita lahir nanti. Aku tidak sanggup hidup tanpamu, Mas!"

Suara Hafsah nyaris tak terdengar, karena isakan tangisnya. Bibir tipis itu bergetar, karena saking kuatnya terisak. Bagaimana Hafsah tidak merasa kehilangan, jika semasa hidup Raga, pria itu selalu memperlakukan Hafsah dengan lembut penuh kasih.

Hafsah masih teringat betul, perjuangan Raga saat meminta restu kedua orang tuanya dulu. Tidak hanya hinaan yang Raga dapat, pukulan bahkan cacian sudah sering dia rasakan dari pak Mulyo~Mertuanya.

"Dari dulu hidupmu sudah menderita, Mas ... Mengapa hingga di hari terakhirmu pun, kamu tidak mendapat kebahagiaan," suara Hafsah tercekat, hingga hanya sesegukan saja yang terdengar.

Seorang wanita tua yang memakai daster panjang di padukan jilbab hitam, kini mulai mendekat, karena dia merasa iba sejak tadi menatap Hafsah.

"Hafsah ... Sudah nak, ikhlaskan suamimu! Tidak baik berlama-lama disini. Ingat, kamu sedang hamil besar," ucap mbok Nah, nenek dari Ragantara.

Perlahan, Hafsah mulai menyeka air matanya, dia mendongak sekilas kearah sang Nenek, lalu kembali mengusap nisan sang suami sebagai bentuk pamitan.

"Aku pulang dulu ya, Mas! Besok-besok aku pasti akan mengunjungimu lagi."

Dan setelah itu, mbok Nah membantu Hafsah untuk bangkit. Walaupun hati kecil Hafsah tidak rela meninggalkan pusara itu, tetapi dia tidak berdaya akan kehamilannya saat ini.

Jika saja Hafsah dapat sehisteris itu saat kehilangan Raga, lalu bagaimana kabar mbok Nah yang sejak dulu merawat Raga, setelah ibunya tiada.

Wanita renta itu begitu kuat menghadapi ujian hidupnya. Dulu dia sudah pernah kehilangan putrinya, disaat melahirkan sang cucu. Kini ganti sang cucu yang telah pergi lebih dulu darinya. Entah sehancur apa hati mbok Nah, walaupun dia masih bisa tersenyum, demi menguatkan Hafsah dan calon buyutnya.

_____

~Malang, 2015~

Hafsah Nur Amala. Seorang mahasiswi cantik berusia 21 tahun yang kini menduduki bangku fakultas ternama di bagian Jawa Timur. Karena kecerdasan yang Hafsah miliki, jadi dia mendapat beasiswa pendidikan hingga S2. Hafsah terlahir dari pasangan bu Mirna dan pak Mulyo. Orang tua Hafsah sendiri adalah seorang perangkat desa biasa, yang memiliki penghasilan pas-pasan.

Namun karena kepintaran putrinya, kedua orang tua Hafsah merasa terbantu dengan adanya beasiswa tersebut.

Pagi itu, seperti biasanya. Hafsah sudah bersiap akan berangkat kekampusnya menggunakan sepeda motor matic, yang dia beli dari hasil jerih payahnya bekerja. Selain kuliah, Hafsah juga bekerja paru waktu di rumah makan dekat desanya.

Waktu itu Hafsah belum menggunakan jilbab. Dia kuliah dengan pakaian seadanya, namun sangat terlihat sopan. Rambut di ikat kuda, tas selempang kain yang sedang trend pada masanya, dan juga sepatu sneakers dengan warna sedikit usang.

Hafsah tidak mempedulikan itu. Entah dipandang sebelah mata atau tidak, Hafsah tetap menjalani harinya dengan penuh positif. Sikapnya yang humble dan periang, membuat dua pria tampak tertarik untuk bersahabat dengannya.

Dia adalah Ragantara, dan juga Bastian. Raga sendiri juga seorang Mahasiswa yang beruntung menginjakan kakinya di Fakultas tersebut, berkat beasiswa yang dia emban sama seperti Hafsah.

Sementara Bastian, pria berusia 23 tahun itu tidak perlu ditanyakan lagi dari mana seluk beluknya. Sudah pasti, Bastian adalah putra seorang pengusaha sukses, yang kini menjadi penanam saham terbesar di Universitas Pancasila.

"Kok baru dateng, Sah?" ucap Raga yang sudah sejak tadi menunggu Hafsah diparkir khusus motor.

"Ban motorku bocor, Ga! Mana jauh lagi tukang tambal bannya," gerutu Hafsah sambil membuka helm, namun terlihat kesusahan.

Raga terkekeh, lalu segera mendekat membukakan helm sahabatnya itu.

"Bastian juga belum dateng? mending kita tunggu didalam aja. Panas disini," Hafsah menggeser langkahnya, saat sang surya mulai mendekat kearahnya.

Setelah itu mereka berdua berjalan beriringan menuju kelas mereka. Banyak pasang mata yang merasa iri, melihat Hafsah begitu dekat dengan dua pria favorit Kampus. Tidak sedikit yang begitu membenci Hafsah, karena dia dianggap wanita gatal, dapat menaklukan dua pria tampan sekaligus.

Tidak halnya seorang Mahasiswi yang bernama Puspita. Wanita cantik berdarah batak itu begitu terobsesi ingin memiliki Raga sepenuhnya. Dan saat inipun, disaat Raga memasuki kelas bersama Hafsah, Puspita menatap sinis kearah Hafsah, begitu muak ingin sekali menghancurkan hidup Hafsah.

Tempat duduk Raga berada dibarisan paling depan. Dan dibelakangnya ada bangku Hafsah, baru tempat duduk Bastian. Melihat Raga sudah duduk, Puspita segera menggeser kursinya, lalu mendekat kearah sang pujaan.

Dan disaat yang sama, Bastian baru saja masuk dengan senyum mengembang, tangan terangkat, yang ia tujukan untuk dua sahabatnya.

"Lama banget kamu, Bas?" seru Raga, saat Bastian berhenti sejenak disamping bangkunya.

"Macet, Ga!" setelah itu Bastian sedikit membungkuk, "Awas, Ga ... Disebelah kamu ada kucing betina, ntar kamu dicakar lagi," bisik Bastian terkekeh. Lalu dia berjalan lagi menuju bangkunya. Namun sebelum dia duduk, Bastian sempat mengacak pelan kepala Hafsah, karena dia merasa gemas terhadap sahabatnya itu.

"Aku potong tanganmu, Bas!" gerutu Hafsah melayangkan sebuah penggaris besi kearah belakang.

Bastian hanya dapat tertawa lepas, karena dia tidak akan bisa, jika sehari tidak mengganggu sahabatnya, terutama Hafsah.

"Ga ... Kamu besok ikut kan? Semua anak-anak Fakultas Hukum, diundang kok! Dateng ya," pinta Puspita menyerongkan duduknya menatap Raga.

Raga yang terkenal pendiam, namun cukup hangat sikapnya. Dia hanya melirik Puspita sekilas.

"Aku nggak tahu, Pus! Aku aja belum denger berita pesta itu. Jikapun di undang, aku akan hadir, itupun jika Bastian dan Hafsah hadir!" jawab Raga yang begitu menghargai para sahabatnya.

"Kalau Bastian sih oke oke aja, kalau di undang! Tapi aku nggak yakin, kalau Hafsah juga di undang," sahut Puspita melirik sinis kearah Hafsah.

Bastian yang menyadari gerak gerik mata Puspita begitu sinis, dia langsung saja menepuk bahu Hafsah sambil berkata, "Hafsah ... Kamu tahu nggak, kegunaan penggaris besi yang utama?"

Hafsah spontan menoleh sahabatnya dengan mengernyitkan dagi. Setelah itu dia menggeleng kebingungan.

"Untuk mencolok mata seseorang, kalau senang melirik sinis kearah kita!" suara Bastian begitu keras, sambil menatap tajam Puspita.

Sebagian teman temannya ada yang tertawa, ada juga yang bergeleng geleng, melihat tingkah absurd Bastian. Hafsah yang baru sadar, spontan dia tertawa lepas sambil menoyor kepala Bastian.

Raga juga ingin tertawa kencang, namun dia tahan karena melihat wajah Puspita yang begitu malu, hampir menahan tangis.

'Bastian benar-benar pria gila! Untung saja dia tampan dan kaya, kalau tidak ... Sudah kubalas perbuatanya!'

"Pus ... Mending kamu pindah ketempatmu deh! Sebentar lagi pak Dadang datang," pinta Raga yang masih menatap buku didepanya.

"Kok Pus sih, Ga? Panggil aku Pita! P I T A ... Pita! Kesannya kaya kamu manggil kucing. Pas pus pas pus!" geram Puspita mecoba bersikap layaknya anak kecil.

Dikira Raga akan peduli. Pria tampan itu masih tetap membaca bukunya, "Tapi aku sudah terbiasa panggil kamu, Pus! Kalau nggak suka, ya ... Itu terserah kamu. Seharusnya yang kamu salahkan orang yang memberi nama kamu itu!" bantah Raga, membuat dua sahabatnya cekikikan.

Puspita mendesah dalam. Dia lalu menggeser kembali kursinya, saat pak Dadang sudah masuk kedalam kelas.

*

*

*

Mereka bertiga saat ini tengah berada dikantin kampus, saat kelas mereka telah selasai pukul 11.00 tadi.

Raga dapat melihat gerak gerik Bastian, kalau sahabatnya itu menaruh rasa terhadap Hafsah. Pria itu terus saja bercerita, walaupun kedua netranya menangkap sesuatu yang janggal.

Karena Hafsah tidak suka dengan minuman dingin, jadi Bastian memindahkan beberapa es batu kedalam minumannya. Setelah itu dia geser kearah Hafsah, agar memudahkan sang sahabat nanti.

Hafsah yang begitu terpaut oleh cerita Raga, dia hanya memegang gelas minuman tadi. Dan apa yang Hafsah lakukan ... Bukanya dia meminum, Hafsah malah menggeser segelas jus itu untuk diberikan pada Raga. Gerakan spontan itu tanpa Hafsah sadari. Dia terus saja menjawab ucapan Raga, dengan sesekali diiringi tawa lepas.

Dari sorot mata Bastian, Raga dapat menangkap, kalau sahabatnya itu tengah kecewa. Namun karena Bastian tidak ingin merusak suasana, dia langsung ikut nimbrung dalam obrolan sahabatnya.

"Hafsah ... Kamu minum, ya! Perutku masih kenyang, soalnya tadi sebelum kelas aku sudah makan banyak, hehe ...." Raga menggeser kembali segelas jus alpukat tadi.

"Tapi ini jus kesukaanmu, Raga! Bastian sudah membelikannya untukmu. Biar aku minum air-"

Eitss!!!

"Aku haus, maaf ya Hafsah!" Raga dengan cepat merampas air mineral yang digenggam Hafsah, dan langsung dia minum seketika. "Tapi kamu juga menyukai jus alpukat itu, Hafsah! Minum, ya!"

Suara Raga yang begitu lembut, mampu memporak porandakan jiwa Hafsah saat ini. Dengan cepat Hafsah langsung menurut, dan meminum jus tersebut.

'Kamu begitu beruntung, Ga! Aku tau kalau Hafsah sebenarnya mencintaimu'

Bastian hanya tersenyum, melihat pertikaian dua sahabatnya itu.

Hafsah merogoh ponsel didalam tas selempangnya. Waktu sudah menunjukan pukul 12, yang artinya 1 jam lagi dia harus bekerja.

"Guys ... Udah jam 1 nih! Aku pamit langsung kerja dulu, ya!" Hafsah segera bangkit, setelah menghabiskan segelas jus tadi.

"Eh, Hafsah ... Tunggu dulu," Raga segera beranjak sambil membawa satu masker baru yang dia simpan didalam tasnya.

"Ada apa lagi, Raga?"

Hai kak, kembali lagi dengan cerita sederhana Author. Jika suka berilah dukungan dan bintang 5nya. Jika tidak, cukup tinggalkan saja.

🙏🙏

Episode 2

"Kamu itu kebiasaan pelupa, tau nggak! Kamu bawa motor, jadi gampang terkena polusi! Ingat Hafsah ... Pernafasan itu salah satu karunia ALLAH yang tidak dapat ditukar dengan apapun, termasuk uang!" ucap Raga sambil memasang masker ke wajah sang sahabat.

Hafsah hanya mematung menatap manik mata sahabatnya itu.

Tidah hanya Hafsah yang tepaku, Bastian juga menatap kedua sahabatnya itu. Bibirnya tersenyum, namun hatinya terasa perih.

"Sudah!"

"Ya sudah, aku pamit dulu ya! Bas, aku berangkat dulu ya," ucap Hafsah menepuk bahu Bastian.

Sementara Bastian, dia hanya tersenyum hangat menepuk kembali tangan Hafsah, "Kalau ada apa-apa, telfon kita!" teriaknya.

Hafsah hanya mengangkat satu jempol keatas, sambil sedikit berlari.

Raga kembali duduk. Dia menatap Bastian yang masih menoleh kebelakang, hingga Hafsah tidak terlihat lagi.

"Anak itu benar-benar aktif!" ucap Raga terkekeh.

Bastian lalu menoleh kembali. Bibirnya tertarik keatas, "Dia mencintaimu, Ga!" spontan kalimat itu keluar dari mulut Bastian.

Ragantara sedikit terkejut. Dia tidak pernah terpikir sebelumnya, jika Hafsah begitu memperhatikannya. Yang dia tahu, Bastian lah yang menaruh rasa pada Hafsah.

"Kamu mencintai, Hafsah-"

"Majulah, Ga! Jika kamu maju, maka aku yang akan mundur!" sela Bastian bersungguh sungguh.

"Aku tidak pernah mencintai, Hafsah! Kamu saja yang maju, Bas! Aku akan mendukungmu," dalih Raga, karena dia tidak ingin merusak persahabatannya dengan Bastian.

"Thanks, Ga!" jawab Bastian.

Semenjak itu, hubungan persahabatan mereka tetap berjalan dengan baik. Bastian lebih aktif menunjukan sikap perhatiannya untuk Hafsah. Selain absurd, Bastian terkenal peduli dengan sahabatnya itu. Tidak hanya Hafsah, Bastian juga peduli dengan kehidupan Raga, yang jauh dibanding hidupnya.

Raga hidup dengan mbok Nah sang Nenek. Bu Nanik, ibundanya sudah meninggal sewaktu melahirkan Raga kedunia. Tidak hanya itu, ayah Raga juga pergi, 1 bulan sebelum kelahirannya waktu lalu. Jadi hingga kini, Raga tidak pernah melihat wajah ayahnya.

Karena kecerdasannya, Raga mendapat beasiswa sejak duduk dibangku SMP. Dia sempat ingin berhenti sekolah, namun sang Nenek selalu memberi semangat untuk hidupnya. Ketika seusia teman temannya sedang sibuk bermain, Raga setelah pulang sekolah, dia membantu sang Nenek untuk berjualan keliling dengan sepeda onta kuno milik mendiang kakeknya.

Tetapi, semenjak dia menginjak usia 21 tahun, kesehatan Raga sering terganggu.

Pernah pada suatu kejadian, disaat dia sampai dihalaman fakultasnya, dalam posisi masih berada diatas motor memakai helm. Entah mengapa kepala Raga berdenyut nyeri spontan.

Dari kedua hidungnya, terasa ada yang mengalir, namun bukan ingus. Raga mengusapnya. Demi apa, yang keluar itu DARAH SEGAR.

Raga mengaca pada spion motornya, dan benar darah pekat baru saja keluar dari hidungnya.

"Ga ....." teriak Bastian setelah dia keluar dari mobilnya.

Raga dengan cepat mengelap darah itu dengan jaket yang dia pakai. Setelah itu Raga turun, dan langsung membuka jok motornya.

"Ga, apa yang kamu sembunyikan?" Bastian menyangkal jok motor tersebut, dan langsung menyambar jaket bewarna putih tulang itu. Dan memang kebetulan, Raga memakai hodie putih kesayanganya itu.

Sreeet!!!

Kedua mata Bastian hampir melompat dari tempatnya, saat melihat bekas darah kemana mana. Bastian kemudian menatap Raga penuh selidik. Dan benar, dibawah hidung Raga masih terdapat bekas darah yang sama, namum cukup samar.

"Ga, katakan apa yang kamu sembunyikan dariku? Darah apa, ini? Kamu sakit apa, Ga?" suara Bastian meninggi, karena dia merasa tertipu dengan tubuh sehat sang sahabat.

Raga malah tertawa lepas.

"Kamu ini bicara apa, Bas? Hahaha ... Aku nggak kenapa-kenapa! Lihat, aku sehat! Darah itu? Itu tadi pas dirumah, Simbok memintaku buat nyembelih ayam terlebih dulu. Lha malah darahnya nyebar kena hoodieku!" bohong Raga agar sahabatnya tidak terlalu kepikiran.

"Kamu serius, Ga? Awas saja kalau bohong," jawab Bastian penuh selidik.

"Nggak kok! Ya sudah, ayo kita masuk! Hafsah pasti sudah menggerutu karena menunggu kita."

Bastian hanya mengangguk. Dia lalu berjalan beriringan, dengan mata yang sesekali melirik gerak gerik sahabatnya itu.

*

*

*

Singkat waktu, pada saat itu anak anak Fakultas tengah merayakan hari kelulusan mereka. Jadi salah satu Mahasiswa ada yang merayakan kelulusannya, dengan mengadakan pesta di sebuah Cafe.

Dalam undangan yang tertulis, disana disebutkan jika nantinya pesata akan digelar di Cafe biasa. Namun siapa sangka, itu semua hanya dalih si pembuat. Ada sebagian mereka yang terkejut, ada juga yang happy saat sampai di sebuah Diskotik mewah yang sudah dipesan sebelumnya.

Pada saat itu, Raga tidak dapat hadir. Di karenakan Neneknya sedang sakit. Bastian dan juga Hafsah juga ingin melakukan hal yang sama, namun langsung di cegah oleh Raga. Dia sudah tidak hadir, jadi untuk menghargai undangan itu, Raga meminta dua sahabatnya untuk hadir.

"Bas ... Kita nggak salah, kan? Ini Diskotik, lhoh!" ucap Hafsah menatap bingung kearah tempat itu, sementara didalam ponselnya tertulis sebuah Cafe.

"Tapi di Maps, memang ini tempatnya."

Dan kebetulan, ada anak anak kampus yang juga masuk kedalam Diskotik tersebut.

"Tu kan, ini benar tempatnya. Ya udah, ayo kita masuk!" Bastian segera turun dan diikuti oleh Hafsah.

Seumur hidupnya, baru sekarang Hafsah memasuki tempat laknat seperti saat ini. Dia yang masih sedikit kesal, spontan menarik lengan satu Mahasiswi.

"Mir, bukanya di undangan tertulis Cafe? Ini kok malah di tempat kek gini, sih!" gerutu Hafsah yang merasa risih, melihat teman temannya pada enjoy menikmati alunan musik.

Wanita bernama Mira itu hanya mengangkat kedua bahu acuh. "Sudahlah, nikmati saja! Kamu nggak pernah 'kan datang kesini. Dan lo tahu, Hafsah ... Tempat ini ternyata mengasikan juga," ujar Mira yang kini perlahan menjauh, sambil menggoyangkan kepalanya.

"Agak agak tu, Bocah!" Hafsah lalu menarik lengan sahabatnya, "Kita duduk disana aja, Bas! Kepalaku bisa keliyengan lihat lampu segede itu. Mana puter puter terus dari tadi," lanjutnya mendesah kasar.

Bastian hanya terkekeh. Dia lalu ikut menjatuhkan tubuhnya disebuah sofa dengan Hafsah, yang berada agak jauh dari musik tadi.

"Beruntung banget si Raga. Imannya masih terlindungi. Ngerti gitu, aku nggak mau dateng!" pekik Hafsah kembali. Dia benar-benar muak melihat kepalsuan ini.

"Tapi bener kata si Mira, ini seru ko! Nggak terlalu buruk." Bastian mengangkat tanganya, menikmati ritme DJ yang membuat kepalanya ikut bergoyang.

Hafsah memicing, "Kamu juga agak gila, Bas! Hah ...." desah Hafsah merasa pusing.

Tiba-tiba datang Puspita dari arah depan. Dia membawa dua gelas jus, dan diletakan di depan Bastian serta Hafsah. Wanita itu mengedarkan pandangan, namun tidak menemukan pria pujaan hatinya.

"Cari siapa, Pus?" tegur Bastian menatap sinis.

"Raga, mana? Jangan bilang dia nggak dateng?"

"Emang Raga nggak dateng! Sudah, pergi sana!" usir Bastian mengibaskan tangannya.

'Dasar kalian saja yang bodoh! Heh, setelah ini Raga pasti akan membenci kalian berdua'

Puspita melirik sekilas kebelakang, lalu segera melanjutkan kembali jalannya. Entah apa yang dia rencanakan, sehingga ambisinya untuk membuat tiga sahabat itu dapat terpecah belah.

Bastian dan Hafsah yang sejak tadi sudah haus, karena tidak ada yang memberi minum. Begitu melihat jus didepannya, mereka langsung menenggaknya hingga separuh.

5 menit, 20 menit, mereka masih terlihat baik-baik saja. Mengingat ada panggilan alam, Hafsah meminta izin Bastian untuk mencari kamar mandi.

"Aku anterin?"

"Nggak usah, aku bukan bayi, Bas!" tolak Hafsah melotot.

Bastian hanya tertawa lepas, lalu kembali menikmati cemilan didepannya.

Rupanya, Hafsah telah menghabiskan segelas jus tadi. Mungkin dari itu, dia kebelet buat buang air kecil. Entah perasaan Hafsah atau tidak hanya tidak terbiasa, jus orange tadi benar-benar terasa pahit dalam mulutnya. Dia masih berpikir positif, mengenyahkan semua itu.

Setengah perjalanan, mendadak kepala Hafsah terasa berat serta berkunang-kunang. Karena kebelet, jadi Hafsah sedikit berlari untuk menuntaskan hajatnya. Begitu selesai, Hafsah benar-benar tidak kuat, hingga dia merambat sambil memegang kepalanya.

Awhhh!!

"Ya ALLAH, kepalaku sakit sekali," rintihnya dengan sesekali bergeleng, mencoba mengusir rasa penat itu.

Bastian sejak tadi mengangkat kepalanya, melihat kesekeliling karena sang sahabat belum juga kembali. Dan kebetulan, Mira datang dengan nafas terengah.

"Bas, Bas ... Hafsah, Bas! Hafsah ... Dia, dia pingsan di kamar mandi!" ucap Mira terbata.

Bastian spontan terkejut. Kedua matanya membola dengan tatapan tajam. Bagaimana bisa Hafsah dapat pingsan, sementara tadi terlihat baik-baik saja.

Setelah itu, Bastian langsung mengikuti Mira menuju belakang. Dan benar, disana sudah ada satu Mahasiswi perempuan yang sedang menunggu Hafsah.

Bastian pada saat itu menjadi panik, kalang kabut. Dia lalu mengangkat tubuh Hafsah, sambil sesakali memanggil nama sahabatnya itu.

"Gue mau bawa pulang, saja-"

"Bas, mending jangan deh! Disana ada kamar, kamu tidurkan saja Hafsah disana! Ikuti gue."

Bastian hanya pasrah. Dia mengikuti langkah Mira dan satu Mahasiswai, agar Hafsah segera dapat diberi pertolongan.

Begitu Bastian masuk kedalam kamar. Mira dan temannya, mereka saling tatap setelah itu mengangguk. Mira berjalan masuk juga dengan wajah tak kalah cemas.

"Bas, lo tungguin Hafsah dulu disini! Gue sama Wati, mau keluar cari minyak angin dulu!"

Bastian yang masih panik, dia hanya dapat mengangguk tanpa menoleh. Setelah itu keduanya keluar menarik sebelah ujung bibirnya.

"Kamu kenapa, Sah! Bangun dong, jangan buat aku panik!" Bastian terus saja menepuk nepuk pipi Hafsah, agar sahabatnya itu sadar.

Awhhh!!!

Tiba-tiba kepala Bastian juga berdenyut nyeri. Namun itu hanya beberapa menit saja. Dia perlahan turun dari ranjang tempat Hafsah tak sadarkan diri. Mendadak, tubuh Bastian terasa aneh. Entah mengapa hasratnya seketika bangkit.

Episode 3

Tubuh Bastian terasa panas, hingga membuat dia terpaksa membuka kemeja hitamnya. Tubuh bersih, berotot itu terlihat jelas, setelah dia melampar kemejanya kesembarang arah.

Bastian mencoba menahan sesuatu dibawah sana, agar tidak merajai hawa nafsunya saat ini. Sesakali dia memejamkan mata dalam-dalam. Langkah kakinya membawa keluar, bermaksud ingin ke kamar mandi untuk sekedar membasuh wajahnya.

Grek.. Grek..

Bastian semakin cemas, karena pintu itu rupanya terkunci dari luar.

Brengsek!!!

"Siapa yang sudah mengunci ini," umpat Bastian dalam posisi memegang kepalanya dengan tangan sebelah.

Tidak hanya hasratnya yang bangkit, kepalanya juga ikut berdenyut nyeri. Kedua pusat tubuhnya sama-sama memekik sinyal yang begitu kuat, tanpa dapat dia kendalikan.

Hafsah yang biasanya ke kampus selalu memakai celana, malam ini memakai dress selutut, karena dia pikir menghadiri acara di Cafe, akan lebih elegant jika menggunakan dress sederhanya.

Entah setan apa yang sudah merajai jiwa Bastian. Pria itu perlahan mendekat, bersamaan terdorongnya hasrat didalam tubuh. Bastian benar-benar frustasi menahan semua ini. Didalam kamar itu tidak ada kamar mandi.

Bastian duduk ditepi ranjang menyunggar kepalanya dengan kasar. Dia masih sempat berpikir, pasti semua itu sudah direncanakan oleh mereka. Entah dorongan dari mana, tangan Bastian perlahan memegang betis Hafsah. Semakin kesana, Bastian semakin tidak tahan untuk dapat melampiaskan hasratnya saat ini.

Hingga ....

*

*

*

"Seharusnya kamu ikut seneng-seneng sama teman-temanmu, Ga! Simbok juga sudah mendingan gini," ucap Mbok Nah yang saat ini dalam posisi tiduran.

Raga hanya tersenyum. Namun kedua tangnya masih sibuk mengurut kaki sang Nenek.

"Simbok itu segala-galanya bagi Raga! Sehat itu mahal, Mbok! Jadi kalau capek, pekerjaan rumah biar Raga kerjakan!" jawab Raga dengan wajah teduhnya.

Drrt.. Drrt..

"Angkat dulu, siapa tahu penting!"

Raga menghentikan pijatannya. Dia lalu mengelap tanganya pada kain, karena terlalu licin terkena minyak pijat.

Setelah itu Raga bangkit sedikit berjarak. "Hallo, siapa ini?"

"Ga, ini aku Puspita! Gawat, Ga ... Bastian dan Hafsah terkunci dalam kamar. Aku nggak tahu apa yang mereka lakukan didalam, ini aja aku dan Mira yang tahu! Mending kamu cepet kesini, daripada nanti anak-anak tahu apa yang dilakukan mereka berdua!"

Mata Raga terbuka lebar. Antara bingung, cemas, dan sedikit berpikir negatif dengan dua sahabatnya itu.

Tut!

Ponsel terputus sepihak oleh Raga. Dia berjalan kembali kedalam kamar sang nenek untuk meminta ijin keluar.

"Mbok, Raga ijin sebentar ya ... Mau jemput Hafsah pulang, kasian motornya rusak!" dalih Raga agar wanita tua itu tidak kepikiran.

"Hati-hati ya, Ga! Jangan ngebut bawa motornya," jawab mbok Nah sedikit khawatir.

Raga dan Hafsah tinggal di Kecamatan yang sama, namun beda desa. Raga juga sering kali mengantar jemput Hafsah, walaupun tidak pernah diterima baik oleh keluarga Hafsah.

Pria tampan itu segera menyambar jaket yang dia cantolkan di dinding yang sudah terkelupas. Rumah Raga tidak begitu layak, jika dibandingkan rumah tetangganya. Lantainya hanya terbuat dari semen yang sudah pecah dibeberapa bagian. Istana kecil itu terlihat tak berdaya, dengan penerangan minim.

Setelah menghidupkan motor maticnya, Raga segera pergi menuju tempat yang sudah disebar lewat undangan.

Singkat waktu,

Raga terkejut, bahwa tempat yang dia datangi adalah sebuah diskotik. Tanpa berpikir panjang, Raga langsung melepas helm tersebut, dan sedikit tergesa masuk kedalam.

Seperti halnya Hafsah, Raga juga baru malam ini datang ketempat itu. Dia melihat sekeliling dengan tatapan risih, saat melihat Mahasiswi dan juga Mahsiswa, banyak dari mereka yang berjoget dengan iringan musik DJ.

Srettt!

Raga menoleh, saat lengannya ditarik oleh Puspita.

"Ayo ikuti aku, Ga!"

Hingga mereka sampai disuatu tempat, dimana tempat Bastian dan Hafsah tertidur.

Glek.. Glek..

Raga mengoglek kuat handle pintu itu. Namun tetap saja tidak dapat terbuka. Jika dia meminta bantuan pada petugas, hal itu dapat menimbulkan kekacauan dengan tersebarnya berita sang sahabat. Raga tidak mau nama baik kedua sahabatnya tercemar.

"Buat kalian berdua! Ingat ucapanku ... Apapun yang terjadi didalam, aku harap tidak menimbulkan huru hara pada Universitas! Jika sampai anak-anak lain tahu ... Berati salah satu diantara kalian membocorkannya! Terutama kamu, Puspita! Kalau itu terjadi, jangan harap kamu dapat memanggil namaku!"

Brak!

Brak!!

Pintu terbuka dengan sangat keras. Tepat pukul 21.00 Raga dengan penuh kesadarannya, melihat dua sahabatnya dalam keadaan polos dibalik selimut.

Puspita dan juga Mira membolakan mata sambil membekap kuat mulutnya. Mereka saling pandang, hingga Raga menutup pintu itu, dan membiarkan terbuka sedikit.

Tubuh Raga luruh dilantai. Dia berjongkok bersandar dinding, tanpa dapat berucap apa-apa. Pria berusia 22 tahun itu masih memikirkan ucapan sang sahabat, dua hari sebelum kelulusan dirayakan.

"Mamah meminta aku untuk melanjutkan S2 di London, Ga! Ini tiketnya. Mungkin setelah perayaan kelulusan, aku langsung terbang kesana! Perusahaan Papah disana ada sedikit problem, jadi kami harus pindah! Nggak tahu pulangnya kapan, tapi aku harap ... Kita tidak akan melupakan satu sama lain!"

Entah seberapa banyak dosis yang diberikan, Hafsah masih tidak sadarkan diri, hingga dia tidak tahu, hal apa yang telah terjadi padanya.

'Bagaimana nasib Hafsah setelah ini! Aku takut jika terjadi sesuatu padanya'

Raga perlahan bangkit, dia berjalan kearah Bastian. Dia mencoba membangunkan sahabatnya itu. Begitu Bastian sedikit tersadar, tanpa ucapan apa-apa. Raga hanya memberikan pakaian yang telah dia pungut, kepada Bastian.

"Pakailah! Cepat!"

Bastian sontak bangkit, saat suara Raga memekik gendang telinganya. Dia yang masih shock, terlihat bingung apa yang telah dia perbuat beberapa menit lalu. Bahkan, mata Bastian hampir lepas, saat menyadari Hafsah berada disampingnya, dengan dress yang sudah terbuka kancingnya.

"Ga, ada apa ini?" tanya Bastian bingung.

"Cepat pakai, ayo keluar!" setelah itu Raga langsung melenggang keluar, setelah memastikan tubuh Hafsah tertutup rapat oleh selimut.

Bastian segera memakai kembali celana panjang dengan tergesa, dan mengenakan kembali kemeja hitamnya, sambil berjalan keluar.

Raga saat ini hanya dapat bersandar tembok, dengan pikiran berkecamuk. Pikiranya saat ini hanya tertuju pada masa depan Hafsah.

Begitu keluar, Bastian menatap Mira dengan tatapan yang sulit diartikan. Sambil memegang kepala, Bastian tidak begitu ingat dengan perbuatan mereka.

"Kamu melakukanya?" tanya Raga menatap lurus. Posisinya masih sama bersandar.

Bastian masih terdiam. Dia mencoba mengingat-ingat, namun tidak sepenuhnya teringat. "Ga, aku dan Hafsah di jebak! Aku tidak sadar melakukan apa dengan Hafsah," ucap Bastian mengingat-ingat.

"Ada yang mengunci kita dari luar, tapi aku nggak tahu siapa pelakunya!" imbuh Bastian kembali.

Mira sejak tadi tampak berdiam dibalik tubuh Puspita. Sementara Puspita, dia mendekat terlihat bersimpati dengan kejadian yang baru saja terjadi.

Awwwww!!!!

Raga dan lainnya terkejut saat mendengar suara jeritan dari dalam. Hafsah tersadar. Betapa kagetnya dia, disaat mendapati dressnya tersingkap, dengan terbukanya beberapa kancing. Gadis cantik itu menangis histeris, sambil memeluk lututnya.

Bastian memejamkan mata dalam-dalam, seolah tubuhnya tidak dapat dia gerakan.

Karena kencangnya musik Dj diluar, sehingga anak-anak lainnya tidak ada yang tahu, jika didalam telah terjadi suatu kejadian yang begitu fatal.

Raga segera berlari. Dia spontan menghentikan langkahnya, saat melihat Hafsah terisak dengan wajah tampak kacau.

Hah!! Desahnya dalam.

"Hafsah ... Kamu tenang, ya! Ada aku disini. Kamu kaitkan dulu pakaianmu! Setelah itu aku akan mengantarkanmu pulang," ucap Raga dengan lembut.

Hafsah mulai mengancingkan satu persatu pakaiannya. Disela isakan tangisnya, dia mencoba bangkit dengan tertatih. Melihat rambut Hafsah yang begitu berantakan, Raga langsung merogoh sapu tangan didalam saku jaketnya. Pria itu mengikat rambut Hafsah dengan ala kadarnya.

Setelah itu, Raga membantu Hafsah keluar. Begitu sampai didepan pintu, mereka sempat berhenti sejenak. Raga menatap Puspita yang masih mematung di tempat.

"Ingat ucapanku, Pus! Jika sampai anak-anak tahu ... Aku tidak akan lagi mengenalmu!" ancam Raga melayangkan tatapan tajam.

Karena kecintaanya terhadap pria itu, Puspita hanya menurut. Dia lalu mengajak Mira segera keluar. Dalam pikirannya, dia bersorak riang karena sebentar lagi persahabatan mereka akan berakhir. Dan masa depan Hafsah segera hancur.

Bastian yang pada saat itu belum sekuat saat ini, dia hanya terdiam mencoba berpikir jernih. Dia sedikit memukul kepalanya, agar dapat mengingat kejadian beberapa jam lalu.

Tatapan Raga beralih kearah Bastian. Ingin marah, memukul wajah sahabatnya, tapi dia lebih menahan semua itu. Tidak semua kejadian dapat diselesaikan dengan kekerasan, apalagi Bastian sahabat baiknya.

"Pulanglah, Bas! Tenangkan dulu pikiranmu. Biar aku yang mengantarkan Hafsah pulang! Masalah ini kita bicarakan esok saja."

Bastian hanya mengangguk. Dia mengikuti langkah Raga yang saat itu membantu Hafsah berjalan.

*

*

*

Selama perjalanan pulang, Hafsah masih saja terisak. Tubuhnya terasa sakit, apalagi daerah kewanitaannya saat ini. Entah apa yang terjadi sebenarnya, namun dia dapat merasa, jika masa depannya sudah berakhir setengah jam lalu.

Tidak hanya Hafsah, diam-diam Raga menitikan air matanya. Pria mana yang tidak akan sakit, melihat wanita yang begitu dia cinta, dan terjaga dalam diam, malah terampas oleh sahabatnya sendiri.

Raga mengeratkan genggaman tangannya pada tangan Hafsah. Dia berharap dengan genggaman itu, dapat mengurangi rasa cemas dalam diri sang sahabat.

Begitu sampai didepan rumah Hafsah, Raga turun sambil membuka helmnya. Dia membantu Hafsah masuk kedalam, sambil mengetuk pintu.

Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!

Download Novel PDF
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!