Langit pagi di Seoul tampak cerah, seolah tak menyisakan jejak hujan semalam. Namun di dalam hati Lee YN, badai baru saja dimulai.
Dengan pakaian kerja barunya yang sederhana namun rapi, YN berdiri di depan pintu masuk HY Group. Napasnya ditahan, tangan menggenggam erat tali tas. Ia mencoba menguatkan diri sebelum melangkah masuk ke dunia yang katanya tak mengenal belas kasih.
Langkahnya berhenti di depan lift, tepat saat seorang pria tinggi dengan jas abu-abu gelap keluar dari dalamnya. Senyum ramah pria itu menebarkan pesona tak tertahankan.
“Staf baru?” tanyanya dengan suara hangat.
YN mengangguk sopan. “Ya, saya Lee YN. Hari ini hari pertama saya bekerja.”
Pria itu tertawa kecil. “Aku Park Jimin. Kepala divisi kreatif. Kalau kamu tersesat nanti, carilah aku.”
Senyum YN terbit tipis. “Terima kasih, Pak.”
“Aku tidak setua itu. Panggil saja Jimin.”
Dengan kedipan mata, Jimin meninggalkannya, menyisakan kehangatan sejenak sebelum YN melangkah ke lantai 15—divisi tempat ia akan bekerja.
Ruangannya besar dan bersih, didominasi warna putih dan abu. Rekan-rekan kerjanya sibuk, jarang bicara. YN disambut oleh seorang wanita bernama Han Seri, senior-nya yang akan membimbing.
“Kerjamu banyak. Tapi jangan buat kesalahan, terutama kalau laporanmu sampai ke tangan Pak Min.”
Mendengar nama itu, YN otomatis tegang. Ia hanya mengangguk pelan.
Sehari itu ia bekerja dengan semangat, mencatat, belajar, dan menghindari kesalahan. Tapi nasib kadang tak memihak. Saat sore hampir tiba, Seri menyodorkan sebuah map.
“Ini harus kamu antar langsung ke ruang CEO. Sekarang.”
“Ke Pak Min?” YN nyaris tersedak kata-katanya sendiri.
Seri mengangguk sambil tersenyum miring. “Sudah saatnya kamu kenal ‘neraka’ di lantai atas.”
---
Langkah YN menggema di koridor mewah lantai tertinggi. Pintu besar berwarna gelap berdiri angkuh di hadapannya. Ia mengatur napas, mengetuk tiga kali.
“Masuk.”
Suaranya dalam dan tegas, sama seperti kemarin.
YN membuka pintu perlahan. Di sana, Min Yoongi duduk dengan setelan jas rapi, jemarinya memainkan pena sementara mata tajamnya mengangkat pandangan menatapnya.
“Kamu.”
Bukan sapaan, bukan juga pertanyaan. Hanya pernyataan.
“Laporan dari divisi pemasaran, Pak,” ucap YN seraya maju dan meletakkan map di mejanya.
Yoongi tidak langsung mengambilnya. Ia berdiri, berjalan perlahan menghampiri sisi meja yang menghadap ke arah YN. Kini jarak mereka hanya satu meter.
“Siapa yang suruh kamu masuk ke kantor ini?”
YN mengerutkan dahi. “Maaf, Pak?”
“Paras seperti kamu tidak cocok di tempat seperti ini.”
Kata-katanya menusuk, tapi bukan karena maknanya. Tatapan matanya... menelanjangi. Seolah memindai setiap detail wajah YN tanpa ragu.
“Saya hanya ingin bekerja dengan baik, Pak,” jawab YN pelan.
Yoongi mendekat selangkah. Kini jarak mereka tak sampai sejengkal. Nafas YN tercekat. Aroma maskulin Yoongi memenuhi hidungnya—campuran kopi, kulit, dan ambisi.
“Lalu kenapa kamu terus menarik perhatianku?”
Pertanyaan itu membuat jantung YN hampir berhenti. Pipinya memanas, tubuhnya gemetar.
“Saya… saya tidak bermaksud menarik perhatian siapa pun, Pak.”
Yoongi menunduk sedikit, wajahnya nyaris sejajar dengan wajah YN. Mata tajamnya mengunci pandangan, membuat YN tak mampu berpaling.
“Kalau begitu, jangan tatap aku dengan mata seperti itu. Aku tidak suka kehilangan kendali.”
Suara itu seperti bisikan iblis, tapi terasa terlalu memikat untuk ditolak.
YN buru-buru menunduk, memundurkan langkah. “M-maaf, Pak. Saya permisi.”
Ia hampir lari keluar dari ruangan, meninggalkan Yoongi yang hanya diam, matanya mengikuti kepergian gadis itu.
---
Malamnya, YN duduk di meja kecil kontrakannya, menatap gelas teh yang sudah dingin. Kepalanya masih penuh dengan suara, aroma, dan tatapan Min Yoongi.
“Apa maksudnya… ‘jangan tatap aku seperti itu’? Apa aku terlihat aneh?”
Ia menepuk pipinya pelan, berusaha menghilangkan panas yang tertinggal.
Sementara itu di apartemen mewah Yoongi, pria itu berdiri di balkon dengan segelas wine di tangan. Tatapannya menerawang jauh, tapi pikirannya jelas tak berada di langit malam.
Ia memutar ulang momen pertemuan tadi. Wajah YN. Suaranya. Tubuhnya yang menggigil ketakutan… dan caranya tetap menatap tanpa lari.
“Apa yang membuatmu berbeda, Lee YN?” gumamnya pelan.
---
Keesokan harinya, kantor kembali sibuk. Namun ada satu hal yang tak biasa.
Selama bekerja, YN sadar bahwa Yoongi muncul lebih sering di lantai mereka. Setiap kali ia lewat, YN bisa merasakan tatapan yang sama—membakar, menuntut, dan... memiliki.
Dan yang lebih membuatnya bingung, Jimin juga tiba-tiba sering muncul di sekitar mejanya.
“Hari kedua dan kamu sudah jadi pusat perhatian,” bisik Seri sambil melirik ke arah Jimin yang sedang menyapa YN sambil membawakan kopi.
YN hanya tertawa gugup.
Namun tawa itu tak berlangsung lama. Karena saat ia berdiri dan menerima kopi dari Jimin, seseorang muncul dari balik pintu kaca ruangan.
Yoongi.
Tatapannya menusuk, tajam seperti pisau, tertuju langsung pada tangan YN yang menerima gelas dari tangan Jimin.
Dan tanpa kata, ia berbalik dan pergi.
YN berdiri kaku. Ada sesuatu di dalam dirinya yang tiba-tiba mencengkeram erat.
Apakah dia… marah?
---
Di dalam lift pribadi, Yoongi memandangi pantulan wajahnya yang tegang.
Ia menggenggam erat gagang payung yang tidak dipakainya hari itu.
“Aku tidak suka dilawan. Apalagi… jika yang melawan adalah milikku.”
---
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 30 Episodes
Comments