bab 5

Ibu Fatma dan Pak Iksan dengan tergesa menuju rumah sakit yang disebutkan oleh Adrian. Kabar kecelakaan Anjani membuat mereka panik dan khawatir.

Begitu tiba, mereka langsung mencari kamar rawat putri mereka. Namun, saat melihat kondisi Anjani yang terbaring lemah dengan perban di beberapa bagian tubuhnya, kemarahan mereka pun meledak.

"Adrian! Ini semua salahmu!" seru Ibu Fatma dengan suara bergetar, matanya penuh amarah dan kesedihan. "Kau bilang akan menjaganya, tapi lihat apa yang terjadi sekarang? Dia sampai kehilangan bayinya!"

Pak Iksan mengepalkan tangan, menatap Adrian dengan tajam. "Kalau saja kau tidak membiarkan dia pergi dalam keadaan emosi, semua ini tak akan terjadi!"

Ia menunduk, tak bisa membantah. Ia sadar, semua ini memang ada bagian dari kesalahannya. Namun, yang paling menyakitkan baginya adalah kehilangan anaknya sendiri dan melihat Anjani terbaring tanpa daya.

"Saya… Saya juga tidak menginginkan ini terjadi, Bu, Pak," jawabnya lirih.

Namun, Ibu Fatma sudah terlanjur kecewa. Ia mendekati putrinya, menggenggam tangan Anjani dengan air mata yang menggenang di matanya. "Anak Ibu… Maafkan Ibu yang tidak ada di sisimu saat kau membutuhkan."

Suasana di kamar itu semakin berat, dipenuhi dengan kesedihan dan kemarahan yang tertahan.

Anjani mulai membuka mata saat merasakan elusan lembut di tangannya. Pandangannya masih samar, tapi ia bisa melihat sosok ibunya, Ibu Fatma, duduk di sampingnya dengan wajah penuh kekhawatiran.

"Ibu…" suara Anjani lemah, hampir seperti bisikan. Ada ketenangan yang menyelimuti hatinya saat melihat ibunya di sana.

Ibu Fatma tersenyum, meski air matanya masih menggantung di pelupuk mata. Ia menggenggam tangan Anjani dengan erat, mencoba menyalurkan kehangatan. "Ibu di sini, Nak… Istirahat dulu, ya…" suaranya bergetar, menahan emosi yang meluap di dadanya.

Jani menoleh pelan, mencari sosok lain yang juga selalu menjadi pelindungnya. "Bapak… dimana Bapak?" tanyanya lirih.

Tak lama kemudian, Pak Iksan muncul dari balik pintu, wajahnya dipenuhi kekhawatiran. Begitu melihat putrinya sadar, ia segera mendekat, menggenggam tangan Anjani dengan penuh kasih sayang.

"Bapak di sini, Nak. Syukurlah kamu sudah sadar," katanya dengan suara berat, jelas menahan emosi.

Anjani tersenyum tipis, meski tubuhnya masih terasa lemah. Ia belum sepenuhnya memahami apa yang terjadi, hanya ingat bahwa dirinya terjatuh. Perlahan, ia berusaha mengingat kembali kejadian sebelum semuanya menjadi gelap.

"Ibu… kenapa aku ada disini?" tanyanya, masih mencoba memahami situasi.Ibu Fatma terdiam sejenak, menoleh ke arah suaminya seolah meminta kekuatan. Pak Iksan pun mengusap bahu istrinya, memberi isyarat agar tetap tenang.

"Kamu istirahat dulu, Nak. Jangan banyak berpikir. Yang penting, kamu sudah sadar sekarang," jawab Pak Iksan dengan suara lembut.Anjani mengerutkan kening. Hatinya merasa gelisah, seolah ada sesuatu yang disembunyikan darinya. Tapi tubuhnya masih terlalu lemah untuk bertanya lebih jauh.

Namun, di satu sudut ruangan, Adrian berdiri dalam diam. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, namun ia tak berani mendekat.

Ada sesuatu yang belum Anjani ketahui—sesuatu yang akan mengubah segalanya.Adrian segera beranjak dari tempatnya dan keluar ruangan untuk mencari dokter.

Rasa bersalah menggerogoti hatinya, tetapi untuk saat ini, yang terpenting adalah memastikan keadaan Anjani.

Tak lama kemudian, dokter datang bersama seorang perawat. Ia memeriksa kondisi Anjani dengan teliti, sementara Adrian, Ibu Fatma, dan Pak Iksan menunggu dengan cemas.

Setelah selesai, dokter menatap mereka dengan ekspresi tenang. "Ibu Anjani sudah dalam keadaan stabil. Namun, karena ini pasca keguguran, ia harus banyak beristirahat dan menghindari stres agar pemulihannya berjalan baik."

Ucapan dokter itu bagaikan petir yang menyambar telinga Anjani. Tubuhnya membeku, nafasnya tercekat. Mata yang semula redup kini membesar, menatap dokter dengan penuh kebingungan.

"Apa… apa maksudnya, Dok?" suaranya bergetar, tangannya mencengkram selimut dengan kuat.

Dokter sedikit terkejut, lalu menatap Adrian dan orang tua Anjani seakan menyadari sesuatu. Ia menghela napas sebelum menjawab dengan hati-hati."Ibu Anjani… maaf, tetapi kandungan Anda tidak bisa diselamatkan."

Deg.

Dunia Anjani terasa berhenti berputar. Kepalanya mendadak terasa ringan, dadanya sesak. Ia menatap dokter dengan pandangan kosong, seolah menolak kenyataan yang baru saja ia dengar.

"Tidak… Tidak mungkin…" suaranya lirih, matanya mulai memanas.Ibu Fatma segera meraih tangan putrinya, menggenggamnya erat, sementara air matanya mulai mengalir. "Nak, sabar… Ibu di sini," bisiknya pelan.

Anjani menggeleng, air matanya akhirnya jatuh. "Tidak mungkin… aku masih ingin melihatnya… aku belum siap kehilangan dia…" suaranya pecah dalam tangis, seluruh tubuhnya bergetar.

Adrian yang sejak tadi diam hanya bisa menunduk dalam rasa bersalah. Ia ingin menghibur Anjani, tetapi apa yang bisa ia katakan? Ia tahu, keguguran ini bukan sekadar kehilangan bagi Anjani.

tapi juga luka yang akan meninggalkan bekas di hatinya selamanya. ia melangkah mendekati Anjani dengan ragu. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, tapi ia ingin setidaknya memberikan sedikit ketenangan untuk istrinya.

"Anjani... maafkan aku," ucapnya pelan, tangannya terulur hendak menggenggam tangan Anjani.

Namun, saat melihat Adrian, Anjani justru tersentak. Mata yang basah oleh air mata kini menatapnya dengan penuh kemarahan dan kesedihan yang mendalam. Nafasnya tersengal, lalu tiba-tiba ia berteriak.

"Pergi! Jangan sentuh aku!" suara Anjani melengking, membuat semua orang di ruangan terkejut.

Tubuhnya bergetar hebat, tangisnya semakin pecah. Ia menggelengkan kepala dengan keras, seolah menolak kenyataan yang sedang dihadapinya.

"Ini semua karena kalian! Kalau saja kalian tidak memperlakukanku seperti sampah, kalau saja kalian membiarkanku hidup tenang, anakku tidak akan pergi!"Adrian terdiam, rahangnya mengeras.

Ia tahu Anjani sedang hancur, dan itu membuat hatinya semakin sakit. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Anjani kembali berteriak.

"Aku benci kalian! Aku benci semua orang di rumah itu! Kalian tidak pernah menganggapku ada! Bahkan anakku pun kalian rebut dariku!"

Tangannya meraih bantal dan melemparkannya ke arah Adrian dengan penuh emosi. "Keluar! Aku tidak mau melihatmu!" Ibu Fatma segera memeluk Anjani, mencoba menenangkannya. "Nak, tolong tenang... Ibu di sini. Ibu nggak akan ninggalin kamu."

Namun, Anjani terus menangis, terisak dalam kesedihan yang tak tertahankan. Sementara itu, Adrian hanya bisa berdiri di tempatnya, hatinya mencelos melihat wanita yang dicintainya begitu terluka.

Tanpa berkata apa-apa lagi, ia melangkah mundur perlahan, lalu keluar dari ruangan dengan kepala tertunduk. Untuk pertama kalinya, ia sadar betapa besarnya luka yang telah diciptakan untuk Anjani.

Setelah keluar dari rumah sakit, bukannya langsung pulang, Bu Rina dan Dita malah berbelok menuju pusat perbelanjaan. Dengan wajah sedikit kesal, Bu Rina melangkah masuk ke dalam mal, sementara Dita mengikuti di belakangnya dengan malas.

"Huh, lihat kan, gara-gara Anjani masuk rumah sakit, kita jadi harus belanja sendiri," gerutu Bu Rina sambil merapikan syalnya.

Dita mencibir. "Seharusnya dia sudah tahu diri, ya, Ma. Selama ini juga dia cuma jadi babu di rumah. Sekarang malah nyusahin!"

Bu Rina mendengus kesal. "Makanya, Mama nggak pernah setuju Adrian nikahin dia. Lihat sekarang, malah bikin masalah. Mama yakin, kalau dia benar-benar pergi, Adrian bisa dapet perempuan yang lebih pantas." Dita tersenyum penuh arti. "Anggun, misalnya?"

Bu Rina mengangguk. "Tentu saja! Anggun itu anak pejabat, keluarganya terpandang. Beda jauh sama Anjani yang asal-usulnya nggak jelas."

Mereka pun melanjutkan belanja, memilih bahan makanan dengan santai. Namun, di tengah-tengah itu, Dita tiba-tiba berhenti, matanya berbinar melihat sosok yang dikenalnya.

"Ma, lihat deh… itu Anggun!" bisiknya sambil menunjuk seorang wanita anggun dengan pakaian mahal sedang berbelanja di bagian kosmetik.Bu Rina langsung tersenyum penuh rencana. "Ayo kita samperin.

Mungkin ini waktunya menjodohkan Adrian dengan perempuan yang lebih baik."

Dita mengangguk penuh semangat. Mereka pun mendekati Anggun, siap dengan rencana baru untuk menyingkirkan Anjani dari kehidupan Adrian.Dita dengan semangat menarik tangan ibunya, mendekati Anggun yang tengah memilih lipstik di etalase toko kosmetik.

Anggun, yang tidak menyadari kehadiran mereka, terlonjak kaget saat tiba-tiba Bu Rina berdiri di depannya dengan senyum penuh arti.

"Oh, Bu Rina… Dita… saya tidak menyangka bertemu di sini," ujar Anggun sopan, sedikit malu-malu.Bu Rina tersenyum ramah, sikapnya langsung berubah hangat.

"Anggun, sayang… sudah lama tidak bertemu. Kamu makin cantik saja!" pujinya, membuat Anggun tersipu.

"Ah, Ibu bisa saja… Bagaimana kabarnya, Bu?" Anggun mencoba bersikap wajar, meski hatinya berdebar. Bagaimana mungkin ibu dari pria yang ia cintai tiba-tiba muncul di hadapannya?Bu Rina melirik Dita sebentar, lalu menghela nafas seolah ingin menyampaikan sesuatu yang penting.

"Ibu baik, tapi… jujur saja, Anggun, akhir-akhir ini Ibu banyak kepikiran soal Adrian."

Mata Anggun berbinar mendengar nama itu disebut. "Adrian? Kenapa, Bu? Apa dia baik-baik saja?" tanyanya, penuh perhatian.

Dita langsung menyahut dengan nada penuh drama, "Ya ampun, Anggun, kamu tahu nggak? Adrian itu lagi stres banget! Hidupnya nggak bahagia sama sekali dengan perempuan itu!"

Anggun terkejut. "Maksud kalian… Anjani?" Bu Rina mengangguk, berpura-pura menghela napas berat. "Iya, sejak menikah, Adrian seperti kehilangan sinarnya. Padahal, kalau saja dulu dia memilih perempuan yang lebih baik… mungkin hidupnya tidak akan seperti ini."

Anggun menggigit bibirnya, hatinya terasa hangat mendengar ucapan itu, seolah-olah ada harapan baru. "Saya… saya tidak tahu kalau Adrian tidak bahagia," ucapnya lirih.Bu Rina tersenyum puas.

"Anggun, kamu tahu kan, Ibu selalu suka sama kamu. Kamu itu perempuan yang pantas untuk Adrian.

Kalau saja Adrian bisa terbebas dari pernikahan itu…"Anggun menunduk, wajahnya sedikit memerah, tetapi senyum tipis terukir di bibirnya. Dita yang melihatnya semakin semangat.

"kamu masih sayang sama Adrian, kan?" tanya Dita penuh keyakinan.

Ia mengangkat wajahnya, menatap Bu Rina dan Dita dengan keraguan yang terselip harapan. "Aku… aku selalu menyayangi Adrian."

Bu Rina dan Dita saling berpandangan, senyum kemenangan tersirat di wajah mereka. Rencana mereka untuk menyingkirkan Anjani semakin jelas, dan Anggun tampaknya bisa menjadi kunci utama untuk mewujudkannya.

Setelah berhasil menanamkan harapan di hati Anggun, Bu Rina dan Dita semakin lihai melancarkan aksi mereka. Dengan penuh perhatian, mereka mulai membujuk Anggun untuk kembali mendekati Adrian, membangun hubungan yang lebih dekat, dan secara perlahan menggantikan posisi Anjani.

"Anggun, Ibu yakin kamu bisa membuat Adrian bahagia," ujar Bu Rina dengan nada penuh keyakinan. "Adrian butuh seseorang yang bisa mengerti dan mendukungnya, bukan malah menyusahkan seperti Anjani."

Ia  yang masih menyimpan rasa untuk Adrian, mulai terpengaruh. Dalam hatinya, ia merasa ada kesempatan untuk mendapatkan kembali pria yang pernah ia cintai.

Sebagai bentuk perhatiannya, Anggun tanpa ragu membelikan beberapa barang yang dibutuhkan oleh Bu Rina dan Dita. Dari bahan makanan hingga beberapa keperluan pribadi, semuanya ia bayarkan tanpa berpikir dua kali.

"Ah,  kamu memang anak baik," puji Bu Rina dengan mata berbinar, merasa diuntungkan oleh kebaikan hati Anggun.

Dita pun ikut tersenyum puas. "Iya, Kak Anggun memang beda sama perempuan itu. Nggak pelit, nggak perhitungan. Nggak kayak orang yang cuma modal kasihan buat masuk ke keluarga kita."Anggun hanya tersenyum, meski dalam hatinya ada sedikit keraguan.

Namun, melihat sikap hangat Bu Rina dan Dita, ia merasa mendapatkan restu yang tidak pernah ia miliki sebelumnya.

"Kalau begitu… menurut Ibu, apa yang harus aku lakukan?" tanyanya ragu, tetapi penuh harapan.Bu Rina tersenyum penuh arti. "Perlahan saja, Anggun. Tunjukkan perhatianmu pada Adrian.

Buat dia sadar siapa yang benar-benar pantas untuknya. Ibu yakin, hatinya masih bisa berubah."Dita menambahkan, "Lagian, Kak, kalau Adrian akhirnya cerai, kamu yang paling pantas menggantikan

Di ruangan rumah sakit tempat Pak Robert dirawat, suasana terasa sedikit tegang. Rose duduk di samping suaminya, menggenggam tangannya dengan lembut. Ia menghela napas sebelum berbicara.

"Papi, aku sudah meminta maaf kepada pihak keluarga korban. Namanya Anjani," ujar Rose pelan, tatapannya menerawang.

Pak Robert mengangguk lemah. "Baguslah kalau begitu. Setidaknya kita sudah menunjukkan itikad baik."

Namun, raut wajah Rose tetap tampak bimbang. Ia menggigit bibirnya, lalu melanjutkan dengan nada ragu.

"Tapi ada sesuatu yang aneh, Pi… saat aku melihat wajah gadis itu, rasanya seperti aku pernah mengenalnya sebelumnya. Tapi entah di mana, aku juga bingung."

Mendengar itu, William yang sejak tadi berdiri di dekat jendela langsung menoleh. "Mami pernah bertemu dengan dia sebelumnya?" tanyanya, nada suaranya penuh rasa ingin tahu.

Rose menggeleng pelan. "Tidak… setahuku, aku tidak pernah bertemu dengannya. Tapi perasaan ini begitu kuat. Ada sesuatu tentang wajahnya yang terasa familiar."

William menyipitkan mata, pikirannya mulai dipenuhi berbagai kemungkinan. Ia melihat ekspresi ibunya yang masih tampak bingung, seolah ada ingatan lama yang berusaha muncul ke permukaan tetapi tertahan oleh kabut waktu.

"Mungkin hanya kebetulan, Mi," ujar William akhirnya, meski di dalam hatinya ia sendiri merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar kebetulan.

Pak Robert mengangguk lemah. "Kalau kondisi Papi sudah lebih baik, Papi akan minta maaf secara langsung kepada mereka."

Rose tersenyum tipis, meski pikirannya masih dipenuhi kebingungan mengenai perasaannya terhadap Anjani.

Sementara itu, William melihat arlojinya. "Kalau begitu, aku pamit dulu, Papi, Mami. Aku harus kembali ke kantor."

Pak Robert hanya mengangguk, sedangkan Rose menatap putranya dengan lembut. "Jangan terlalu lelah, Nak."

William tersenyum sekilas sebelum melangkah keluar dari rumah sakit. Namun, pikirannya masih belum tenang. Ada sesuatu yang terasa janggal tentang kecelakaan ayahnya.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!