PLAK!
Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Anjani, membuatnya terhuyung mundur. Kejadian itu begitu cepat, bahkan Adrian pun tidak sempat mencegahnya. Anjani menatap mertuanya dengan mata membelalak, sementara pipinya panas dan perih.
"Kurang ajar kamu, Anjani!" Bu Rina berteriak, wajahnya merah padam karena marah. "Berani-beraninya kamu bicara seperti itu di rumahku? Kamu itu perempuan nggak tahu diri! Hidup numpang tapi mulut lebih besar dari badan!"“Anjani, mana sarapan? Lama sekali!” bentak Bu Rina.
“Maaf, Bu. Ini sudah siap,” jawab Anjani, buru-buru menyajikan makanan.
Bu Rina mendengus. “Jangan lambat! Di rumah ini semua orang bekerja, bukan cuma makan saja!”
Dita menyeringai. “Iya, Kak. Jangan enak-enakan jadi istri Mas Adrian.”
Anjani menunduk, menahan perasaan. Ia melirik Adrian, berharap dibela, tapi suaminya tetap sibuk dengan ponselnya.
Pagi itu, setelah mencuci piring dan beres-beres rumah, Anjani duduk di dapur. Tangannya perih akibat sering kena deterjen tapi cucianya masih banyak.
Anjani, gadis desa sederhana yang tumbuh dalam keluarga penuh kasih sayang. Ayahnya hanya seorang petani, tetapi mereka hidup bahagia dengan kesederhanaan.
Parasnya begitu cantik—kulitnya putih mulus, rambutnya sedikit kemerahan, dan matanya berwarna biru jernih. Keindahan yang membuat banyak orang tak menyangka bahwa ia hanyalah gadis desa biasa.
Namun, kecantikannya justru menjadi awal dari perjalanan hidup yang penuh ujian. Ia menikah dengan pria yang dicintainya, berharap akan menemukan kebahagiaan.
Sayangnya, pernikahan itu tak seindah yang ia bayangkan.
Dita melempar baju tepat di depan wajah Anjani kaget. “Nih, Kak, cuci bajuku!” katanya dengan nada seenaknya.
Anjani menghela napas, menatap tumpukan baju yang masih harus ia selesaikan. “Dita, ini baju Ibu saja belum selesai. Kamu cuci sendiri, ya.”
Dita mendengus kesal. “Enak aja! Aku harus kerja, tahu! Mana sempat nyuci? Lagi pula, nanti tanganku bisa kapalan!”
Anjani terdiam. Hatinya semakin sesak. Di rumah ini, ia bukan hanya menantu, tapi juga dianggap seperti pembantu.
Tanpa bisa membantah, Anjani akhirnya mengerjakan cucian itu. Percuma melawan, karena tidak akan ada gunanya.
Ia hanya bisa menghela napas, menahan perasaan. Di rumah ini, suaranya tak pernah didengar.
Sore itu, Adrian pulang lebih cepat karena hari ini ia menerima gaji.
Anjani, yang ingin menyambut suaminya dengan baik, segera mandi dan berdandan sedikit. Ia memilih pakaian yang lumayan bagus agar terlihat rapi di hadapan Adrian.
Begitu Adrian tiba, Anjani segera menyuguhkan secangkir kopi hangat.
Adrian tersenyum dan menyerahkan sejumlah uang kepadanya. “Jani, ini bagian kamu.”
Hati Anjani terasa hangat. Setidaknya, hari ini suaminya masih mengingatnya. Namun, ia belum tahu bahwa kebahagiaan kecil ini tak akan bertahan lama.
“Terima kasih, Mas,” ucap Anjani dengan senyum bahagia.
Namun, sebelum ia sempat menyimpan uang itu, Bu Rina tiba-tiba datang dan langsung merampasnya dari tangan Anjani.
“Uang ini buat Ibu saja! Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini, jadi nggak perlu pegang uang!” katanya tajam.
Anjani hanya bisa terdiam, menahan rasa kecewa. Bahkan haknya sebagai istri pun tak dihargai di rumah ini.
"Mana bisa begitu, Bu? Jani juga punya kebutuhan," ucap Anjani, mencoba mempertahankan haknya.
Bu Rina mendelik tajam. "Kebutuhan apa? Kamu sudah dikasih makan dan tempat tinggal di sini! Jangan bilang kamu mau ngasih uang ini ke orang tuamu juga? Enak saja! Anak ibu yang kerja capek-capek, kamu dan keluargamu yang mau menikmati!"
Anjani terdiam, hatinya terasa semakin sesak. Ia hanya ingin sedikit kebebasan, tapi bahkan untuk memegang uang sendiri pun ia tak diizinkan.
Adrian segera berdiri dan merebut kembali uang dari tangan ibunya.
"Bu, jangan semuanya diambil," katanya dengan nada tegas. "Uang untuk Ibu sudah aku pisahkan."
Bu Rina mendengus kesal, wajahnya penuh ketidaksenangan. “Kenapa? Anjani itu nggak butuh uang! Dia di sini sudah dikasih makan, tinggal juga gratis! Jangan bilang kamu mau manjain dia?”
Adrian menghela napas, berusaha tetap tenang. "Bukan soal dimanjain atau enggak, Bu. Jani butuh uang buat belanja. Kalau dia nggak pegang uang, nanti kita makan apa?"
Anjani menatap Adrian dengan mata sedikit berkaca-kaca. Ini pertama kalinya suaminya membela dirinya di depan sang mertua.
Namun, Bu Rina tetap tak terima. “Belanja apa? Aku aja bisa belanja buat rumah ini! Atau jangan-jangan dia mau pakai uang ini buat ngirim ke keluarganya? Jangan mimpi, Jani! Anak laki-laki Ibu kerja banting tulang buat istri, bukan buat mertua!”
Anjani mengepalkan tangannya di balik punggung. Ia ingin membela diri, ingin menjelaskan bahwa ia tidak pernah berniat mengambil hak Bu Rina. Tapi ia tahu, percuma.
Adrian pun berusaha menenangkan ibunya. “Bu, sudahlah. Ini cuma uang belanja. Aku tetap kasih Ibu, kan?”
Bu Rina masih ingin berdebat, tapi akhirnya ia mendengus kesal dan mengambil bagian uang yang Adrian berikan padanya. “Huh! Dasar istri baru, sudah berani ambil hak mertua! Lihat aja, Anjani. Jangan macam-macam di rumah ini!”
Setelah ibunya pergi, Adrian menoleh ke arah Anjani. “Sudah, jangan dimasukkan ke hati.”
Anjani tersenyum tipis, meski hatinya masih terasa sakit.
Tak lama, Dita muncul di depan pintu dengan wajah kesal. Tanpa basa-basi, ia langsung berteriak,
"Bang! Bagian Dita mana?"
Adrian menghela napas, merasa lelah dengan permintaan adiknya yang selalu sama setiap bulan. "Lo kan udah kerja, Dit. Kok masih minta Abang?"
Dita melipat tangan di dadanya, wajahnya cemberut. "Gaji Dita kecil, Bang! Mana cukup buat anak muda kayak aku? Aku harus tetap cantik, harus perawatan, harus beli baju baru! Masa aku kalah sama mbak Anjani?" katanya penuh keluhan.
Anjani hanya bisa menahan napas, menunduk tanpa ingin ikut campur.
Adrian menggeleng pelan, sebenarnya enggan menuruti keinginan adiknya. Tapi, melihat Dita terus merengek, akhirnya ia mengambil beberapa lembar uang dari dompetnya dan menyerahkannya pada Dita.
"Udah, nih. Jangan boros," ucap Adrian dengan nada lelah.
Dita langsung merebut uang itu dengan wajah puas. "Makasih, Bang! Emang abangku paling baik!" katanya sambil tersenyum lebar, lalu melenggang pergi tanpa sedikit pun mempedulikan perasaan Anjani yang hanya bisa diam dan menerima keadaan.
Anjani menatap suaminya dengan kecewa. "Mas, uang segini mana cukup untuk sebulan?"
Adrian mendesah, lalu menatap Anjani dengan wajah datar. "Terserah Jani. Abang nggak mau tahu, segitu harus kamu cukupkan."
Anjani menggigit bibir, menahan rasa sedih yang mulai menggunung di dadanya. Dengan uang yang diberikan Adrian, ia harus mengatur segala kebutuhan rumah, sementara Dita dengan mudahnya meminta uang untuk keperluan pribadinya.
"Mas..." suara Anjani melemah. "Aku juga pengen beli baju baru. Selama menikah, aku belum pernah beli baju satu pun."
Adrian mengerutkan kening. "Baju kamu masih bagus, kan? Buat apa beli lagi?"
Anjani tersenyum pahit. Suaminya bisa dengan mudah mengeluarkan uang untuk adiknya, tapi saat istrinya meminta, alasan yang diberikan selalu sama: harus irit, harus cukup, harus mengalah.
Ia pun menunduk, menggenggam uang yang ada di tangannya erat-erat. Lagi-lagi, ia harus menerima kenyataan bahwa dirinya bukan prioritas bagi Adrian.
Untungnya, Anjani memang sudah cantik alami. Meskipun tidak pernah perawatan seperti Dita, wajahnya tetap glowing dengan kulit mulus dan bersih. Ia tidak butuh riasan tebal atau pakaian mahal untuk terlihat menawan.
Anjani menarik napas dalam, menatap uang di tangannya. Mungkin inilah takdirnya sebagai menantu di rumah ini.
Hari itu, Anjani bangun lebih awal untuk menyiapkan sarapan. Setelah selesai, ia bergegas mengambil uang belanja yang disimpannya di lemari kecil di kamar. Namun, saat membuka laci, hatinya langsung berdegup kencang.
Uangnya hilang.
Tangannya gemetar saat mengobrak-abrik laci, mencari di setiap sudut. Tapi hasilnya nihil. Anjani mulai panik. Itu satu-satunya uang yang diberikan Adrian untuk belanja sebulan penuh.
Dengan tergesa-gesa, ia keluar kamar dan mencari Adrian yang sedang bersiap berangkat kerja. "Mas, uang belanja Jani hilang!" suaranya bergetar.
Adrian menatapnya heran. "Hilang? Kok bisa?"
"Aku nggak tahu, Mas. Aku simpan di laci, sekarang nggak ada," jawab Anjani cemas.
Belum sempat Adrian merespons, tiba-tiba terdengar suara Dita dari ruang tamu. "Wah, ada yang mulai drama pagi-pagi!"
Anjani menoleh dan melihat Dita duduk santai di sofa, memainkan kuku yang baru saja dicatnya dengan warna merah terang.
"Kamu tahu sesuatu, Dit?" tanya Anjani curiga.
Dita mendengus, lalu berdiri. "Jangan asal tuduh ya ! kalau uang hilang, kamu yang nggak hati-hati? Jangan-jangan itu hukuman karena terlalu boros!"
"Boros?" Anjani hampir tertawa miris. "Aku bahkan belum beli apa-apa!"
Bu Rina tiba-tiba muncul dari dapur dan ikut menyahut, "Udah, Anjani! Jangan ribut pagi-pagi! Kalau uang hilang, ya salah kamu sendiri. Makanya, kalau dikasih uang, langsung serahin ke Ibu biar aman!"
Anjani tercekat. Matanya memperhatikan wajah sang mertua, lalu beralih ke Dita. Ada firasat buruk di hatinya, tapi ia tidak berani menuduh secara langsung.
"Mas..." Anjani menoleh ke Adrian, berharap suaminya bisa membela dirinya.
Namun, Adrian hanya menghela napas panjang dan berkata, "Ya udahlah, Jani. Mungkin memang keteledoran kamu sendiri.
Anjani menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. Lagi-lagi, ia yang disalahkan. Lagi-lagi, Adrian lebih percaya pada ibu dan adiknya dibanding dirinya.
Anjani menunduk, menahan air mata yang hampir jatuh. Namun, di dalam hatinya, ada bara yang mulai menyala. Ini bukan pertama kalinya ia diperlakukan tidak adil, dan entah sampai kapan ia harus terus bersabar.
Dengan suara gemetar, ia berkata, "Mas, uang itu untuk belanja sebulan. Aku harus masak apa kalau uangnya hilang?"
Adrian mendesah, tampak tidak sabar. "Nanti aku kasih lagi, tapi jangan banyak nuntut, Jani. Aku juga harus bagi-bagi uang buat kebutuhan lain."
Anjani mengepalkan tangan di sisi tubuhnya. "Kebutuhan lain? Maksud Mas buat Dita dan Ibu?"
Dita yang sejak tadi bersandar di sofa langsung mendengus. "Ih, mbak Anjani mulai kurang ajar, nih! Masa aku dan Ibu dibilang kebutuhan lain? Kalau nggak betah di rumah ini, ya pergi aja!"
Bu Rina menatap Anjani tajam. "Iya, Jani! Kamu tuh harus bersyukur punya suami yang baik. Jangan macam-macam deh, perempuan kok banyak maunya!"
Anjani tertawa kecil, tapi bukan karena senang. Tawanya penuh kepedihan dan amarah yang selama ini ia pendam.
"Jadi menurut Ibu dan Dita, aku ini apa? Pembantu yang tugasnya cuma nurut dan nggak boleh protes? Aku ini istri Adrian, bukan budaknya!" suaranya mulai meninggi.
Adrian langsung menegang “ Jani jangan mulai ‘’
"Tidak, Mas! Aku sudah terlalu lama diam! Aku selalu berusaha jadi menantu yang baik, istri yang sabar, tapi apa? Aku nggak pernah dihargai! Apa aku ini cuma tamu di rumah sendiri?"
Dita tertawa sinis. "Memangnya iya? Rumah ini rumah Mas Adrian, mbak. Kalau mau berkuasa, ya kerja! Jangan cuma mengandalkan uang suami!"
Anjani menoleh dengan mata merah. "Dita, kamu kerja tapi masih minta uang abangmu! Bukannya membantu, malah jadi beban! Kamu pikir uang Mas Adrian itu milikmu?"
"Jani!" Adrian membentak, suaranya tajam.
Tapi Anjani sudah terlanjur muak. "Mas selalu membela mereka! Kenapa Mas nggak pernah berpihak padaku? Aku ini istrimu, tapi kenapa aku selalu jadi yang terakhir?"
Anjani merasakan napasnya tersengal, tapi ia menolak untuk menangis. Tangannya mengepal erat di sisi tubuhnya, menahan amarah yang kini meluap-luap.
"Ibu yang nggak tahu diri!" Anjani akhirnya bersuara, suaranya bergetar karena emosi. "Ibu selalu memperlakukan aku seperti pembantu! Apa aku ini bukan istri Adrian? Apa aku ini cuma alat untuk dimanfaatkan?"
Dita terkikik di belakang ibunya. "Ih, mulai ngelawan, nih! Awas aja nanti dicerai, baru tahu rasa!"
Anjani menatap Dita tajam. "Aku lebih baik diceraikan daripada terus diperlakukan seperti ini!"
Bu Rina menunjuk wajah Anjani dengan jari gemetarnya. "Coba saja! Aku tantang kamu! Berani nggak kamu keluar dari rumah ini? Kamu itu nggak punya apa-apa, Anjani! Tanpa Adrian, kamu bukan siapa-siapa!"
Anjani tersenyum miring, matanya menatap tajam ke arah mertuanya. "Ibu salah besar. Aku mungkin nggak punya apa-apa sekarang, tapi aku masih punya harga diri! Dan aku nggak akan membiarkan Ibu menginjak-injak aku lagi!"
Adrian yang sejak tadi diam akhirnya membuka mulut. "Cukup! Udah, Jani! Jangan bikin masalah tambah besar!"
Anjani menatap suaminya dengan kecewa. "Mas... sampai kapan Mas mau membiarkan aku diperlakukan seperti ini?"Adrian menunduk, tak bisa menjawab.
Malam itu, Anjani menangis dalam diam di dalam kamar. Pipinya masih terasa perih akibat tamparan Bu Rina, tapi hatinya jauh lebih sakit. Ia merasa sendirian, tak ada satu pun yang membelanya, bahkan suaminya sendiri.
Ia terjaga semalaman, merenungkan semuanya. Hingga akhirnya, saat fajar mulai menyingsing, ia memutuskan sesuatu.
Tanpa pamit, Anjani merapikan beberapa helai pakaian ke dalam tas kecil. Ia tak butuh banyak, hanya cukup untuk beberapa hari. Ia ingin pulang—pulang ke rumah yang benar-benar rumah baginya.
Dengan hati-hati, ia membuka pintu kamar. Rumah masih sepi. Adrian pasti masih tertidur lelap, begitu pula Bu Rina dan Dita. Ini kesempatan yang tepat.
Dengan langkah ringan, ia keluar dari rumah itu, berjalan menuju jalan raya yang masih diselimuti kabut pagi. Angin dingin menerpa wajahnya, tapi ia tetap melangkah.
Ia ingin bertemu orang tuanya. Ia ingin dipeluk ibunya dan menangis di sana.Rumah orang tuanya memang jauh, tapi tidak ada yang bisa menghentikannya.
Dengan uang tabungan belanjanya yang sedikit, Anjani naik bus menuju kampung halamannya. Perjalanan terasa panjang, tetapi hatinya sedikit lebih tenang. Setidaknya, ia akan bertemu dengan orang tuanya, tempat di mana ia selalu merasa dicintai.
Saat tiba di depan rumah sederhana itu, Anjani tertegun. Tidak ada yang berubah—pohon mangga di halaman masih berdiri kokoh, suara ayam berkokok terdengar dari belakang rumah, dan udara desa terasa jauh lebih menenangkan dibandingkan rumah mertuanya.
“Jani!” suara ibunya, Bu Sumarni, terdengar penuh kehangatan begitu melihat putrinya berdiri di depan pintu. Ia segera menghampiri dan memeluk Anjani erat. “Kamu pulang, Nak? Kok nggak bilang dulu?”
Anjani membalas pelukan ibunya, menahan air mata yang hampir jatuh. “Iya, Bu. Jani kangen.”
Ayahnya yang sedang duduk di kursi bambu ikut menyambutnya dengan senyum hangat. “Masuk, Nak. Istirahat dulu. Kamu pasti capek.”
Anjani tersenyum, lalu masuk ke dalam rumah. Ia ingin menikmati momen ini tanpa membawa kesedihannya. Ia tidak ingin orang tuanya tahu apa yang sebenarnya terjadi dalam rumah tangganya. Ia ingin mereka tetap berpikir bahwa ia bahagia.
Namun, ibunya tetaplah seorang ibu. Tatapan lembutnya meneliti wajah Anjani, seakan bisa membaca kesedihan yang disembunyikannya. “Kamu baik-baik saja, Jani?”
Anjani tersenyum tipis dan mengangguk. “Aku baik-baik saja, Bu.”
Malam itu, setelah makan malam bersama orang tuanya, Anjani duduk di teras rumah sambil menatap langit. Udara desa yang sejuk sedikit menenangkan hatinya, tetapi bayangan perlakuan Bu Rina dan Dita masih menghantuinya.
Ibunya datang membawa segelas teh hangat, lalu duduk di sebelahnya. “Jani, kamu nggak kelihatan seperti orang yang baik-baik saja,” ucap ibunya lembut.
Anjani terdiam, menggigit bibirnya. Ia ingin tetap kuat, tapi air matanya justru menggenang. “Bu... Jani capek,” lirihnya akhirnya.
Bu fatma mengelus punggung putrinya. “Kenapa, Nak? Ceritakan ke Ibu.”
Anjani menunduk, jemarinya meremas kain rok yang ia kenakan. “Bu... Jani nggak bahagia di sana,” suaranya bergetar. “Mertua Jani kejam, selalu mengambil semua uang gaji Mas Adrian. Dita juga selalu menyuruh-nyuruh Jani. Jani nggak dihargai di rumah itu...”
Bu fatma mengepalkan tangannya. “Apa Adrian nggak membelamu, Nak?”
Anjani menggeleng pelan. “Mas Adrian lebih mendengarkan ibunya. Jani sudah berusaha jadi istri yang baik, Bu... tapi mereka selalu memperlakukan Jani seperti pembantu.”
Mata Bu fatma mulai berkaca-kaca. Ia ingin marah, tapi hatinya juga sakit melihat putrinya yang selalu sabar ini disia-siakan.
Tiba-tiba, suara motor terdengar dari kejauhan. Anjani menoleh, jantungnya berdegup kencang saat melihat Adrian turun dari motor dengan wajah tegang.
“Jani! Kenapa kamu pergi tanpa izin?” suara Adrian menggema di halaman rumah.
Anjani terperanjat. Ibunya berdiri, menatap menantunya dengan tajam. “Adrian, kenapa kamu di sini?”
Adrian melangkah mendekat, suaranya sedikit melunak. “Bu, saya menjemput Jani. Dia istri saya, seharusnya dia ada di rumah bersama saya, bukan kabur seperti ini.”
Anjani mengeratkan genggaman tangannya. “Aku nggak kabur, Mas. Aku hanya ingin pulang ke orang tuaku, mencari ketenangan.”
Adrian menghela napas panjang. “Ayo pulang, Jani. Ibu sudah marah besar karena kamu pergi begitu saja.”
Mata Anjani memanas. “Ibumu marah? Pernahkah Mas bertanya apakah aku bahagia di rumah itu?”
Adrian terdiam.
Bu fatma maju selangkah, suaranya bergetar karena amarah. “Adrian, kalau kamu nggak bisa melindungi istrimu, untuk apa kamu menikahinya?”
Adrian terpojok. Ia tidak bisa membantah.
Anjani menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca. “Aku nggak mau pulang kalau aku hanya dianggap sebagai menantu yang nggak berguna, Mas.”
Adrian mendekati Anjani, menatapnya dalam. “Jani, aku tahu aku salah. Aku belum bisa membelamu dengan baik... tapi aku mencintaimu,” katanya pelan, suaranya lebih lembut dari sebelumnya.
Anjani masih ragu, tetapi hatinya bergetar mendengar kata-kata itu. “Mas bilang cinta, tapi Mas nggak pernah benar-benar membelaku di depan Ibu dan Dita…”
Adrian menggenggam tangan Anjani dengan erat. “Aku janji, aku akan berubah. Aku akan lebih memperhatikanmu, aku akan berusaha jadi suami yang lebih baik. Tolong jangan pergi dari aku, Jani.”
Air mata yang sejak tadi tertahan akhirnya jatuh di pipi Anjani. Ia lelah, kecewa, tapi ia juga mencintai Adrian.
Bu fatma menatap putrinya dengan khawatir. “Jani, kamu yakin?”
Anjani mengangguk pelan. Ia ingin percaya bahwa suaminya benar-benar akan berubah. “Aku akan pulang, Bu.”
Adrian tersenyum lega, lalu menuntun Anjani menuju motornya.detwlah pamit kepada kedua orang tua Anjani.
Namun, dalam hati kecilnya, Anjani masih merasa ragu. Apakah Adrian benar-benar akan menepati janjinya? Ataukah ini hanya janji manis yang akan kembali membuatnya terluka.
Setibanya di rumah, Anjani berharap segalanya akan membaik. Ia ingin percaya pada Adrian, ingin mencoba lagi demi pernikahan mereka. Namun, yang menyambutnya justru cemoohan.
“Akhirnya pulang juga, ya? Udah puas keluyuran?” sindir Bu Rina dengan tatapan tajam.
Anjani menarik napas dalam, mencoba bersabar. “Aku hanya ingin menemui orang tuaku, Bu.”
Dita menyeringai. “Alasan aja! Jangan-jangan kamu ngeluh di sana, ya? Bilang kalau di sini kamu ditindas?!”
Anjani menatap Dita dengan kekecewaan. “Aku nggak pernah bilang apa pun yang buruk tentang kalian.”
Bu Rina mendekat, menyilangkan tangan di dada. “Denger ya, mulai sekarang nggak ada lagi acara pulang ke rumah orang tuamu tanpa izin! Kamu itu sudah jadi istri Adrian, tinggal di rumah ini, jadi tahu diri! Jangan manja!”
Anjani menggigit bibirnya, menoleh ke Adrian. Namun, pria itu hanya berdiri di sudut ruangan, diam seperti patung.
Hati Anjani sakit. “Mas Adrian, aku cuma ingin sesekali bertemu orang tuaku…” suaranya lirih, penuh harap.
Adrian menghela napas, lalu berkata, “Jani, ibu benar. Kamu harus fokus jadi istri yang baik. Jangan sering-sering pulang.”
Kalimat itu menusuk hati Anjani seperti belati. Jadi, ini balasan dari suaminya?
Anjani melangkah masuk ke kamar dengan kasar, membanting pintu di belakangnya. Dadanya naik turun menahan emosi. Ia benar-benar tak percaya dengan semua ini.
“Kenapa aku sebodoh ini?” gumamnya, mengepalkan tangan.
Ia sudah berharap Adrian akan membelanya, tapi lagi-lagi, suaminya memilih berpihak pada ibunya. Kata-kata Bu Rina dan Dita masih terngiang di telinganya, seperti duri yang menusuk-nusuk harga dirinya.
Anjani menghempaskan tubuh ke atas ranjang, matanya menatap langit-langit kosong. Ia mengorbankan segalanya demi pernikahan ini, meninggalkan orang tuanya, dan mencoba menjadi menantu yang baik. Tapi apa balasannya? Penghinaan.
Pintu kamar terbuka perlahan. Adrian masuk dan menatapnya dengan wajah lelah. “Jani, jangan seperti ini. Ibu hanya khawatir…”
Anjani langsung duduk, menatap Adrian dengan mata penuh kemarahan. “Khawatir? Dia merampas semua hakku, Mas! Bahkan untuk bertemu orang tuaku saja harus seizin dia! Apa aku ini budak?”
Adrian mengusap wajahnya, tampak kesal. “Kamu jangan buat masalah, Jani. Aku capek kerja seharian, aku nggak mau ribut.”
Anjani tertawa sinis. “Oh, jadi aku ini masalah buat kamu, Mas?”
Adrian terdiam, tak tahu harus berkata apa.
Anjani bangkit berdiri, menatap suaminya penuh luka. “Aku ini istrimu, Mas. Aku butuh kamu di pihakku. Tapi kalau kamu terus begini… aku nggak tahu sampai kapan bisa bertahan.”
Pagi itu, Anjani terbangun dengan kepala berat dan perut terasa mual. Ia mencoba bangkit dari tempat tidur, tetapi tubuhnya lemas. Tangannya refleks memegang perut, merasakan sesuatu yang berbeda.
Ia menarik napas dalam, mencoba menenangkan diri. “Kenapa aku merasa begini?” gumamnya pelan.
Saat itu, pintu kamar terbuka, dan Dita masuk tanpa mengetuk. “Eh, kok masih tidur? Jangan-jangan kamu malas lagi, ya?” ucapnya dengan nada mengejek.
Anjani menatapnya lemah. “Aku nggak enak badan, Dit.”
Dita malah tertawa sinis. “Alasan! Cepat bangun! Ibu nyuruh kamu masak!”
Anjani ingin membalas, tetapi tenaganya habis. Ia akhirnya memilih diam dan berusaha bangkit meski kepalanya masih berputar.
Ketika ia sampai di dapur, bau bumbu yang menyengat langsung membuat perutnya bergolak. Tak bisa ditahan lagi, ia berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya.
Dari luar, Bu Rina mendecak kesal. “Dasar menantu manja! Pagi-pagi sudah bikin ribut!”
Anjani menyeka mulutnya dengan punggung tangan, hatinya semakin sakit. Ia sadar, tak ada seorang pun di rumah ini yang peduli padanya.
Namun, satu hal terlintas di pikirannya—apakah ia hamil?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Petir Luhur
lanjut thor
2025-04-23
0