Adrian yang baru masuk ke kamar langsung menghampiri Anjani yang masih terduduk lemas di lantai kamar mandi. Wajah istrinya pucat, keringat dingin membasahi pelipisnya.
"Kenapa kamu, Jani?" tanyanya dengan nada khawatir, berjongkok di sampingnya.
Anjani mengangkat wajah, matanya terlihat berkaca-kaca. "Aku nggak tahu, Mas... Dari tadi aku pusing dan mual..."
Adrian mengernyit, lalu tanpa berpikir panjang, ia menyentuh kening Anjani. "Kamu demam?"
Anjani menggeleng. "Nggak, Mas... Tapi aku merasa berbeda..."
Saat itu, pikiran Adrian mulai terhubung. Ia menatap Anjani lebih dalam, lalu bertanya dengan hati-hati, "Jani... kamu jangan-jangan..."
Anjani menelan ludah, matanya meredup. "Aku juga kepikiran, Mas... Aku mungkin hamil."
Adrian terdiam sejenak sebelum akhirnya menarik napas panjang. "Kalau begitu, kita ke dokter. Biar pasti."
Belum sempat Anjani menjawab, suara Bu Rina terdengar dari luar kamar. "Anjani! Bukannya masak malah bermalas-malasan di kamar? Dasar menantu nggak tahu diri!"
Dita ikut menimpali dengan suara mengejek. "Iya, Bang Adrian! Istri kamu tuh bawa sial, baru pagi udah bikin masalah!"
Anjani menutup matanya, merasakan sakit yang tak hanya datang dari tubuhnya, tapi juga hatinya. Bagaimana jika benar ia hamil?
Adrian segera membantu Anjani berdiri dan membawanya duduk di kursi. Ia menuangkan segelas air putih dan menyerahkannya ke tangan istrinya.
"Minum dulu, Jani," ucapnya lembut.
Anjani menerima gelas itu dengan tangan gemetar. Ia meneguknya perlahan, berharap rasa mualnya sedikit mereda.
"Kita ke dokter, ya?" kata Adrian, suaranya tegas. "Biar jelas kenapa kamu begini."
Anjani terkejut. "Tapi, Mas, kamu kan harus kerja…"
"Mas akan izin," potong Adrian. "Kesehatanmu lebih penting."
Belum sempat Anjani menjawab, suara ketukan keras di pintu terdengar, diikuti suara Bu Rina yang tajam.
"Adrian! Kamu mau kemana pagi-pagi begini? Jangan bilang kamu mau manja-manjaan sama istrimu itu lagi!"
Adrian menutup mata sejenak, menarik napas panjang sebelum menjawab. "Ma, Anjani sakit. Saya mau bawa dia ke dokter."
Bu Rina mendengus sinis. "Ah, paling-paling cuma cari perhatian! Nggak usah manja, Anjani! Kamu tuh istri, harus kuat, bukan dikit-dikit ngeluh!"
Dita ikut menyahut dari belakang. "Iya, Bang! Mending uangnya buat aku aja, buat beli skincare. Daripada buat periksa orang yang sok sakit."
Anjani menunduk, hatinya mencelos mendengar ucapan itu. Tapi sebelum ia sempat bicara, Adrian mengepalkan tangan dan berkata dengan dingin,
"Mama, Dita, cukup. Aku suaminya, dan aku yang akan bawa Anjani ke dokter. Jangan ikut campur."
Bu Rina membelalak tak terima. "Kamu mulai berani melawan mama mu sendiri, Adrian?!"
Adrian tidak menjawab. Ia hanya meraih tangan Anjani dan membantunya berdiri. "Ayo, Jani. Kita pergi sekarang."
Anjani menggigit bibir, berusaha menahan air mata yang hampir jatuh. Untuk pertama kalinya, Adrian benar-benar membelanya di depan keluarganya. Tapi sampai kapan?
Adrian tercengang mendengar ucapan dokter. "Anjani hamil?"
Dokter tersenyum sambil mengangguk. "Selamat, Pak Adrian. Usia kandungannya sudah empat minggu. Pastikan istri Anda cukup istirahat dan makan makanan bergizi."
Anjani menatap Adrian dengan mata berbinar, campuran bahagia dan cemas. Namun, ekspresi Adrian justru sulit ditebak. Ia terdiam beberapa saat, seolah pikirannya sedang berperang.
Setelah selesai, Adrian menggenggam tangan Anjani dan membawanya keluar dari klinik. Sepanjang perjalanan pulang dengan motor, Anjani sesekali melirik suaminya yang tampak gelisah.
"Mas, kamu nggak senang?" tanyanya hati-hati.
Adrian menghela nafas panjang. "Bukan gitu, Jani. Aku cuma mikir... Kita bakal butuh biaya lebih banyak. Kamu tahu sendiri, Ibu dan Dita selalu minta uang. Aku takut nggak bisa mencukupi kebutuhan kamu dan anak kita nanti."
Anjani menunduk, hatinya mencelos. Lagi-lagi, Adrian lebih memikirkan keluarganya daripada dirinya.
Sesampainya di rumah, mereka baru saja masuk ketika suara Bu Rina menggema.
"Kalian dari mana pagi-pagi begini?!"
Adrian menelan ludah, lalu berkata, "Anjani hamil, ma."
Seketika suasana hening. Tapi bukannya bahagia, Bu Rina justru melipat tangan di dada dengan ekspresi tidak suka.
"Hamil?!" Ia mendengus sinis. "Bagus, tambah beban baru di rumah ini!"
Anjani terkejut, tidak menyangka reaksi mertuanya akan seburuk ini.
"Ma, ini anak saya dan Anjani," Adrian mencoba menenangkan.
"Anak kamu?! Anak itu akan lahir dan cuma jadi tanggungan kamu!" Bu Rina menyentakkan tangannya ke udara. "Duit kamu aja udah pas-pasan buat ngasih mama dan adikmu! Sekarang mau ditambah beban baru?!"
Anjani menggigit bibir, matanya panas. Ia menatap Adrian, berharap suaminya membelanya lagi. Tapi kali ini, Adrian hanya diam.
"Mulai sekarang, Anjani nggak usah ke dokter lagi! Ngapain boros-boros?! Lahirnya nanti juga biasa aja!" Bu Rina melanjutkan dengan kasar.
Anjani mengepalkan tangan. Air matanya jatuh tanpa bisa ditahan. Ini anaknya, darah dagingnya, tapi mereka memperlakukannya seperti beban.
Adrian tetap diam. Tak ada pembelaan, tak ada ketegasan.
Hati Anjani kembali remuk. Ia sadar, ia harus melindungi anaknya sendiri—karena di rumah ini, ia tak bisa mengandalkan siapapun.
Anjani baru saja merebahkan tubuhnya di kasur setelah minum obat dari dokter. Rasa mualnya mulai berkurang, dan kantuk perlahan menyergapnya. Namun, belum sempat ia terlelap, suara pintu kamar dibuka kasar membuatnya tersentak.
"Anjani! Dasar menantu pemalas!" Suara lantang Bu Rina menggelegar di seluruh ruangan.
Anjani terlonjak kaget, buru-buru bangkit dari kasur. "A-ada apa, Bu?" tanyanya dengan suara lemah.
Bu Rina melangkah masuk dengan tatapan tajam. "Kamu pikir ini hotel?! Masak sana..udah sore juga bentar lagi malam kamu harus masak untuk makan malam , udah tiduran aja! Ibu dari tadi panggil-panggil, kamu malah enak-enakan tidur!"
Anjani berusaha menjelaskan, "Maaf, Bu... Saya tadi ke dokter, disuruh banyak istirahat —"
"ISTIRAHAT?!" Bu Rina menyela dengan suara makin tinggi. "Hamil doang kok manja banget?! Zaman dulu, aku hamil tetap kerja! Jangan mentang-mentang hamil, kamu jadi malas!"
Dita tiba-tiba muncul di pintu, menyeringai puas melihat kakak iparnya dimarahi. "Iya, ma! Aku aja kerja tiap hari, nggak kayak Kak Jani, tahunya tidur doang!"
Anjani merasa dadanya sesak. "Tapi Bu, saya benar-benar lemas... Dokter bilang saya butuh istirahat—"
Plak!
Tangan Bu Rina melayang ke pipi Anjani.Dita tertawa kecil.
Anjani memejamkan mata sejenak, merasakan panas yang membakar di pipinya.
Perlahan, ia membuka mata dan menatap Bu Rina dengan penuh ketegasan. "Saya memang bukan siapa-siapa dibanding Ibu. Tapi saya bukan boneka yang bisa Ibu perlakukan sesuka hati."
Dita mengangkat alis, terkejut mendengar Anjani membalas. "Eh, berani juga sekarang," gumamnya.
Bu Rina mendengus. "Jadi kamu mau melawan saya?"
Anjani menarik napas dalam, lalu berkata dengan suara mantap, "Saya hanya ingin menegaskan satu hal, Bu. Kalau Ibu berpikir saya akan terus diam diperlakukan seperti ini, Ibu salah besar."
Mata Bu Rina membelalak, tak menyangka menantunya yang biasanya pasif kini berani melawan.
Mata Bu Rina membelalak. "Apa kamu bilang?!"
Dita terkejut melihat keberanian Anjani, tetapi ia justru menyeringai. "Wah, Kak Anjani sudah berani melawan, nih."
Anjani menegakkan bahunya, menatap langsung ke mata Bu Rina. "Saya menikah dengan Adrian karena saya mencintainya, bukan untuk jadi pesuruh di rumah ini. Tapi kalau Ibu terus memperlakukan saya seperti ini, saya nggak yakin saya bisa bertahan lebih lama."
Anjani berdiri di tengah ruang tamu dengan tubuh sedikit gemetar, bukan karena takut, tapi karena menahan amarah .
PLAK!
Tamparan kedua mendarat lebih keras. Kepala Anjani menoleh ke samping, bibirnya sedikit sobek, meninggalkan rasa asin darah yang meresap di lidahnya.
"Kurang ajar! Kamu pikir kamu siapa, hah?!" Bu Rina berteriak. "Berani-beraninya bicara seperti itu di rumah saya!"
Anjani mengepalkan tangannya. Nafasnya tersengal, bukan karena takut, tapi karena menahan gejolak di dadanya yang semakin mendidih.
Dita yang sedari tadi duduk santai di sofa hanya tertawa sinis. "Ya ampun, Kak, kamu ini menantu atau musuh sih? Kok malah melawan Mama? Dasar nggak tahu diri!"
Anjani menatap Dita dengan mata berkilat marah. "Dita, kamu pikir aku nggak tahu semua permainanmu? Kamu selalu menghasut Mama untuk membenciku, selalu memancing pertengkaran di rumah ini. Kamu nggak lebih dari benalu yang numpang hidup tapi sibuk menyusahkan orang lain!"
Dita melotot, wajahnya berubah merah. "Apa kamu bilang?!"
Bu Rina kembali menyela dengan suara tinggi. "Cukup! Kamu memang harus diajarkan sopan santun!"
PLAK!
Tamparan ketiga mendarat, kali ini lebih menyakitkan. Anjani hampir kehilangan keseimbangan, tapi ia bertahan. Air mata menggenang di matanya, bukan karena sedih, tapi karena hatinya benar-benar sudah hancur.
Tiba-tiba, pintu terbuka lebar.
Adrian berdiri di ambang pintu, matanya membelalak melihat istrinya yang sedang memegangi pipinya yang memerah. Tatapannya beralih ke ibunya dan adiknya yang masih dipenuhi amarah.
"APA YANG TERJADI DI SINI?" suara Adrian terdengar marah.
Bu Rina langsung menunjuk ke arah Anjani. "Istri kamu ini kurang ajar, Adrian! Dia melawan ibunya sendiri! Apa kamu masih buta dan nggak lihat kelakuannya?!"
Dita ikut menyahut, "Iya, Kak Adrian! Kak Anjani tuh sekarang jadi cewek sombong yang nggak tahu diri! Dia merasa lebih berhak atas kamu dibanding Mama!"
Adrian menatap mereka satu per satu sebelum akhirnya mengalihkan pandangannya ke Anjani. Matanya penuh keraguan, seakan sedang menimbang-nimbang siapa yang harus ia percayai.
Anjani menatap suaminya dengan luka yang lebih dalam dari tamparan yang ia terima. "Adrian..." suaranya bergetar, berharap meski hanya sekali saja, suaminya akan berdiri di sisinya.
Tapi yang keluar dari mulut Adrian justru kalimat yang menghancurkan hati Anjani sepenuhnya.
"Kamu nggak seharusnya bicara kasar ke Mama, Anjani..."
Deg.
Anjani merasa tubuhnya seakan lumpuh. Air matanya yang tadinya tertahan akhirnya jatuh begitu saja. Bukan karena lemah, tapi karena harapan terakhirnya telah benar-benar sirna.
Dengan tangan gemetar, ia menyentuh pipinya yang masih perih, lalu menatap Adrian dalam-dalam. "Jadi selama ini... aku hanya seorang istri yang harus tunduk, ya? Aku nggak boleh bicara, aku nggak boleh membela diri, karena di matamu, aku selalu salah?"
Adrian terdiam.
Bu Rina tersenyum puas, begitu juga Dita. Mereka merasa menang.
Anjani menarik napas dalam, lalu menghembuskannya dengan berat. Ia melangkah mundur, lalu tanpa ragu, ia melepas cincin kawinnya dan meletakkannya di meja.
"Aku sudah cukup bersabar, Adrian. Aku sudah cukup mengorbankan diriku untuk keluarga ini," katanya dengan suara tegas. "Tapi kalau kamu nggak bisa membela istrimu sendiri, aku nggak punya alasan lagi untuk bertahan."
Adrian menegang. "Anjani, tunggu..."
Tapi Anjani sudah berbalik, berjalan menuju pintu dengan langkah mantap. Ia tidak akan menoleh ke belakang lagi.
"Pergilah! Memang perempuan seperti kamu nggak pantas ada di keluarga ini!" suara Bu Rina terdengar penuh kemenangan.
Dita menambahkan, "Bye, Kak Anjani! Semoga beruntung di luar sana!"
Anjani tidak menjawab. Dengan tangan gemetar, ia membuka pintu dan melangkah keluar, meninggalkan rumah yang selama ini hanya memberinya luka.
Hari ini, ia mungkin pergi dengan tubuh penuh luka. Tapi suatu hari nanti…..ia akan membalas nya.
Anjani berlari tanpa arah, air matanya terus mengalir di pipinya yang masih terasa panas akibat tamparan Bu Rina. Nafasnya tersengal, dadanya sesak, dan pikirannya kacau. Ia tidak tahu harus ke mana. Ia tidak punya teman di kota ini. Semua yang ia miliki telah direnggut darinya—keluarga, suami, dan bahkan harga dirinya.
Langit malam tampak kelam, angin dingin menusuk kulitnya, tetapi ia tidak peduli. Ia hanya ingin menjauh sejauh mungkin dari rumah itu. Rumah yang seharusnya menjadi tempat ia berlindung, tetapi justru menjadi neraka baginya.
Saat ia hendak berbelok di tikungan jalan, suara klakson panjang terdengar dari arah kanan.
TIINNN!!!
Anjani menoleh dengan mata membelalak. Sebuah mobil melaju kencang ke arahnya., dan suara gesekan ban dengan aspal menjerit di telinganya.
"BRAK!!"
Tubuhnya tersentak ke samping, terhempas ke trotoar dengan keras. Rasa sakit menjalar dari bahu hingga kakinya. Dunia seakan berputar, dan pandangannya mulai kabur.
Terdengar suara orang-orang berteriak. Beberapa orang berlari mendekat. Namun, suara mereka terdengar jauh, seperti bergema di dalam kepalanya.
"Astaga! Ada yang tertabrak!" "Panggil ambulans!" "Dia masih sadar nggak?"
Anjani mencoba menggerakkan tubuhnya, tetapi rasa sakit yang luar biasa membuatnya sulit bernapas. Ia melihat tangannya yang gemetar, ada darah mengalir dari pelipisnya. Pandangannya semakin buram, dan tubuhnya terasa semakin ringan.
Di antara rasa sakit itu, hanya satu hal yang terlintas di pikirannya.
"Apakah ini akhirnya? Apakah aku benar-benar tidak punya tempat di dunia ini?"
Air matanya mengalir lagi, bercampur dengan darah yang mengalir dari dahinya. Lalu, perlahan... semuanya menjadi gelap.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Comments
Petir Luhur
lanjut kan
2025-04-23
0