.
.
Ini telah pukul setengah empat sore...
Dan dirinya masih dalam posisi yang sama terduduk di lantai dingin di ruang belakang tempat tinggal miliknya. Pintu kayu itu terbuka menampilkan pemandangan belakang rumah miliknya yang masih di penuhi pohon dan rumput lebat, serta suara cicitan burung yang sedikit banyak berhasil menghibur dirinya.
Hari ini...
Hari ini dia kembali terjebak dalam argumen di antara keluarganya lagi.
Jika pun itu bisa di katakan sebuah argumen, karena faktanya hanya orang tuanyalah yang terus menerus memberikan kata-kata menusuk kepadanya. Dan dia hanya bisa diam, diam dan diam.
Tidak banyak yang bisa dia lakukan hari ini.
Seperti hari-hari sebelumnya juga dia tidak banyak melakukan apa pun.
Hanya di penuhi dengan hal-hal yang semakin lama semakin membuatnya rasanya tidak menentu.
Sudah dua hari yang lalu sejak kejadian yang di alaminya di mini market itu, dan dia tidak bercerita kepada siapa pun mengangeni apa yang telah dia alamin hari itu.
Bukan dirinya tidak ingin bercerita.
Bukan... bukan itu....
Faktanya argumen yang terjadi di hari ini adalah dasar dari dirinya ingin sedikit bercerita kepada keluarganya.
Tapi....
Inilah hasilnya...
Sejujurnya kejadian singkat itu sedikit banyak terus menerus berputar dalam pikirannya. Dan itu juga berhasil membuatnya tidak bisa tertidur dalam beberapa hari belakangan.
Gadis itu menghela nafas panjang, menikmati semilir angin senja hari itu, berhasil menerbangkan rambut hitam panjang yang terikat berantakan di atas kepalanya.
Tidak jauh dari sana, secercik ketas kecil tergeletak pada lantai tak jauh dari ujung kaki yang dia lipat mendekat dada yang tertutupi baju kebesaran yang dia kenakan.
.
.
.
Flauza Evangrandene.
Owner Evangrandene Company.
.
.
.
Entah untuk ke berapa kalinya dia membaca kartu itu.
Dan entah untuk ke berapa kalinya terbesit untuk mencoba menelepon nomor-nomor asing yang tertera dalam kartu itu.
Namun keraguan dan rasa panik, takut miliknya lebih besar dari pada rasa penasaran yang terus menerus menghantuinya itu.
Kalau saja....
Kalau saja ada seseorang yang mengatakan untuk mendukungnya mencoba sedikit saja. Memberikan sedikit saja keberanian untuk mencoba.
Mungkin dirinya akan memberanikan dirinya sendiri.
.
.
.
Tapi
Sampai kapan kamu akan seperti ini terus menerus?
Dia tidak tahu!
Pekiknya pada dirinya sendiri dalam kepalanya.
Ini adalah kesempatan yang besar!
Tapi mungkin saja ini adalah sebuah jebakan!
Rasa sakit kepala itu menyerangnya bertubi-tubi, membuatnya tidak tahu apakah dia sedang berada di dunia nyata atau tidak. Dia berusaha menarik nafas dalam dan menghembuskannya dengan kuat.
Tidak ada salahnya mencoba....
Tapi bagaimana jika itu adalah orang jahat!
Tuhan! Bisakah hentikan suara-suara yang terus bersahut-sahutan yang berada di dalam kepalanya!
Langkah kaki yang datang berasal dari arah ruang sebelah, berhasil menyadarkan dirinya.
Tanpa dia sadari dengan cepat dia mengambil kartu nama itu dan menyembunyikannya pada saku celana sebelum berusaha mengembalikan mimik mukanya kembali normal.
Berusaha menunjukkan semua baik-baik saja.
Itu adalah sesosok pria paru baya berambut pendek yang sudah berubah.
Sang ayah.
Dalam beberapa waktu dia masih terdiam pada posisinya, menatap ayah berjalan masuk entah melakukan apa pun di ruangan yang sama dengan dirinya.
Dirinya tidak tahu.... dan dirinya tidak mau tahu apa yang ingin di lakukan sang ayah berada di sana.
Melihat pria paru baya itu semakin mendekat ke arahnya sontak membuat sang gadis itu bergerak tidak nyaman sebelum perlahan dia bangkit dari posisi duduknya yang berada di lantai, berjalan dengan cepat namun diam keluar dari ruangan itu.
Dia....
Dia tidak suka berada di satu ruangan yang sama dengan sang ayah.
Dia tidak suka....
Dia tidak suka sama sekali....
Langkah kakinya memelan, dan kini terfokus kembali ke tempat di mana dirinya selalu merasa nyaman. Yaitu di kamar pribadinya.
Kamar yang tidak terlalu luas dengan nuansa biru yang membuatnya sedikit lebih gelap. Saat dia berhasil menginjakkan kakinya di sini, menutup pintu kayu itu, melemparkan pelan tubuhnya kepada kasur yang ada di sana.
Ah ya....
Ini adalah tempat teramannya.
Memiringkan kepalanya sejenak, dengan tangannya yang meraba-raba mencari Smartphone miliknya. Dengan kembali harapan semu jika, ada suatu kabar bahagia yang tersampaikan dalam benda kecil yang tampak telah usang itu.
Tapi...
Tapi tidak ada apapun di sana.
Bagaimana jika mencoba untuk menghubungi nomor itu?
Dan lagi pikiran-pikiran itu bergumam di kepalanya. Tangannya yang lain berusaha meraba-raba lembut saku celananya, mencari lebaran kecil itu, dan mengeluarkannya.
Iris hitam miliknya menatap lurus pada kedua benda yang kini berada di genggaman tangganya.
Apakah ini benar-benar hal yang baik?
Jika tidak mencoba kamu tidak akan tahu hasilnya...
Tapi bagaimana jika itu menjadi hal yang buruk?
Selalu saja begitu....
Selalu saja ragu untuk melangkah ke depan... jika seperti ini terus mau sampai kapan kamu akan berjalan di tempat terus?
Salah satu tangannya yang menggenggam smartphone kini menekan beberapa menu, menunjukkan menu panggilan dengan nomor-nomor yang seakan siap untuk menerima perintah dari sang pemilik. Dirinya kembali menatap kartu nama itu, melihat nomor telepon yang tertera cukup besar di sana.
Dan dengan perlahan dia menekan tombol-tombol itu mengikuti tiap nomor yang tertera, namun itu berhenti sebelum dia menekan tombol terakhir yang menjadi satu-satunya jalan untuk menghubunginya dengan apa pun yang tengah menunggunya di balik angka-angka itu.
Apa ini benar-benar sebuah kesempatan untuk dirinya?
Mungkin saja ini adalah jebakkan seperti yang sering dia dengar dari berita-berita yang beredar pada sosial media.
Lagi pula dari hal singkat yang terjadi padanya tempo hari yang lalu, orang yang memberikan benda ini kepadanya seperti orang yang benar-benar kaya. Dan kebanyakan orang-orang kaya itu... memiliki hal-hal yang aneh kaum awan seperti dirinya ini.
Jika kamu tidak mencobanya, kamu tidak akan pernah tahu akan hasilnya.
Kamu tahu aku memiliki firasat yang cukup baik untuk kali ini....
Maka cobalah... cobalah kesempatan untuk kali ini saja...
Dia bisa merasakan betapa lambatnya dirinya hanya untuk menekan tombol sambungan itu telepon itu, dan saat dia berhasil menekan itu, kini dia merasakan betapa lambatnya pula panggilannya terhubung kepada pihak seberang sana.
Atau mungkin tidak akan di angkat?
Ini baru beberapa detik berlalu.... bersabarlah sedikit....
Tapi hatinya berdegup kencang di antara ragu, gugup dan juga kepanikan yang semakin memuncak.
Bunyi Tut....- Tut....- itu seperti detakkan jantung yang setiap saat berhasil membuat nyalinya semakin menciut.
Beberapa menit sudah berlalu, dan ujung seberang sana juga tidak memberikan jawabannya.
Aahh... sepertinya semua ini terasa percuma saja...
Seperti yang selalu terjadi...---
“Hallo...” Seketika gadis itu bangkit dengan cepat dari posisi duduknya, saat dia mendengar suara berat dari panggilan seberang sana.
Sial
“H-Hallo...” balasnya dengan nada gugup yang begitu kentara.
“Ya... Who is this?” jawab suara di seberang sana kini menggunakan bahasa inggris.
Sial
Kenapa hal ini tidak terpikirkan sebelum kamu meneleponnya....
Kamu bisa berbahasa inggris... itu seperti bahasa kedua yang kamu ketahu selama hidupmu....
Kamu hanya perlu berbicara dan semuanya akan baik-baik saja....
“Ah... is this Mister Flauza Evangrandene...- My name Revander Syahril...” jawab gadis itu begitu kaku. “and this is a girl, who you give your card in two days ago...” lanjutnya dengan kata- demi kata perlahan sebisa mungkin menghindari kesalahan berkata yang di ucapkan untuk orang yang ada di seberang sana.
“Revander....-“ gumam suara berat di seberang sana, terkesan seperti menggeram pelan pada namanya.
Errr....
Apa ada yang salah?
Dia tidak terlalu mengerti.... “Sir?” panggil gadis bernama Revander itu lagi.
“Ya.... I’m Flauza....” jawabnya dengan nada yang sedikit ceria? Tapi itu terdengar begitu aneh. Atau mungkin dirinya yang sudah terlalu lama tidak melakukan hal-hal dasar seperti ini?
Dia tidak mengerti.
“I- I'm sorry if I called you at the wrong time.... maybe... maybe I can contact you at a later time?” ucapnya yang juga berhasil membuat dirinya sendiri terkejut mendengar betapa lancarnya dia berbahasa inggris dengan orang asing ini.
“No-not at all Miss Revander... You call at the right time...” balas suara berat itu dengan nada yang ramah-tamah. “Is there anything I can help you miss...?"
Dia kembali terdiam, mendengarkan setiap kata-demi-kata dengan nada suara yang di berikan pria di seberang sana.
Ya itu terdengar seperti pria ramah dan hangat walaupun suaranya begitu berat.
Tapi ini terasa janggal pula.
Apa ini benar-benar akan baik-baik saja?
"The other day, a man named – Tobito... say if, you want to help me with... find a relation...-" ucap dirinya lambat dan perlahan, namun entah kenapa pria yang ada di seberang sana seperti dengan sabar menunggu setiap perkataannya.
Dan itu terasa....
Terasa begitu nyaman...
“Ah so that's what Tobito told you?” sahutnya dengan lembut.
Dia mengangguk seakan memberikan jawaban kepada pria itu “ya...” Revander berusaha mengatur nafasnya. “Can I know more about it? If-if it really is a...—"
“hmmm... What if we talked about this by face to face Miss Revander...” dia dapat merasakan tubuhnya yang menjadi tegang mendengar tawarannya. Rasa takut yang kuat segera menyerang seperti gelombang tsunami yang tidak tertahankan pada dirinya.
“huh...?”
“We can talk about this in more detail, by meeting Miss Revander in face to face. Of course you don't have to worry, I really didn't mean to be mean to you..." terdengar tawa kecil berasal dari pria itu saat mengulang semua perkataannya kembali, seakan dia tahu jika sang gadis tengah di penuhi pemikiran yang tidak menentu.
“Ah... okay....” balas sang gadis lagi.
“Alright, then what about tomorrow?” tawar pria itu dengan nada suara yang terdengar lebih bahagia lagi.
“A-apa!” dan itu berhasil membuat sang gadis terkejut dan panik. “T-tomorrow?” Revander semakin terbata-bata.
“Hmm....? Is there anything wrong with having a meeting tomorrow? Or maybe you already have a schedule that can't be replaced?"
“no-no... not at all Mister Flauza, tomorrow I have some free time..." dan entah bagaimana rasa panik yang masih membuncah pada dirinya itu berhasil dia lewati, walaupun itu tidak berlalu dan masih menggatung kuat pada dadanya, sampai terasa begitu sesak. “But if for tomorrow... Maybe—" apa yang harus dia katakan?
Apa yang harus dia katakan!
“I don't have any private transportation for some trip Mister Flauza..." Revander berkedip beberapa kali, tanpa sadar dia mulutnya berkata hal-hal yang tidak penting kepada orang asing yang sedang dia hubungi saat ini.
Kenapa dia terasa begitu ringan saat berbicara pada orang ini?
Apa dia akan kecewa saat mendengarkan alasan kecilnya ini?
“Ah... that's not problem at all Miss Revander... I'll tell Tobito, to pick you up at your residence..." dan lagi sang gadis itu mengedipkan mata hitam beberapa kali, menunjukkan ekspresi bingung dan juga.... takutnya.
Menjemput di kediamannya?
Apa pria ini sudah tahu alamatnya hanya dengan satu kali sambungan telepon saja?
Apakah...apakah...
“Miss...?”
“You...! You already know my address?” bisik sang gadis penuh kepanikan. Tapi hanya tawa yang dia dapatkan dari pria di seberang sana.
Apa maksud dari tawa itu!
“It’s not that hard miss, but I’m sure you, I don’t have bad intention to you Miss...” balasnya sang pria dengan nada jenaka. “If I can, I hope we have a good, very good relationship..."
.
.
.
Esok harinya gadis berambut hitam panjang mengenakan pakaian kemeja biru raven serta rok kain senada dengan pakainya itu terlihat terduduk di soda ruang tamu, menunduk sedikit mengenakan kaos kaki kecokelatan pada kaki-kaki yang terlihat pula terdapat bekas luka yang telah mengering namun menjadi bekas yang menghitam di sana.
Luka lama dari kecelakaan yang pernah dia alami.
Ini masih menunjukkan pukul enam tiga puluh pagi, bahkan mentari masih samar-samar terbit pada ufuk timur. Tapi sesuai dengan apa yang telah di janjikan hari ini adalah pertemuannya dengan sosok pria bernama Flauza itu.
Dan karena obrolan singkat dengan akhir yang tidak terdua semalam itu pula, ini menjadi hari ketiganya untuk tidak bisa tidur dengan nyenyak.
Beberapa kali di benaknya untuk membatalkan pertemuan mereka ini, namun di benak lainnya lagi masih tetap berkukuh dengan rasa penasaran, dan juga perkataan semuanya akan baik-baik saja di sana.
Bagaimana dia nanti berakhir menjadi korban penculikan?
Kamu berpikir yang aneh-aneh lagi...
Argumen demi argumen itu kembali memenuhi di pikirannya.
Lagi pula suara dirinya terdengar seperti seseorang yang rama...
Ohh.... apakah kamu tahu, jika seorang yang jahat selalu memasang topeng ramahnya agar mendapatkan mangsa lebih mudah?
“Mau kemana?” suara perempuan yang dia kenal sebagai ibunya kini berhasil menyadarkan dari perdebatan dalam pikirannya itu. Sang ibu tampak menatap aneh kepada dirinya, yang kini telah berpakaian rapi di pagi hari ini.
Apa harus dia ceritakan saja?
“Adek punya janji jumpa sama orang...” balasnya dengan setenang mungkin.
“sepagi ini?” sang gadis mengangguk pelan.
“nanti akan di jemput katanya...”
“sama siapa?” tanya sang ibu lagi kini perempuan paru baya itu memosisikan dirinya di sisi lain sofa ruang tamu itu.
Harus bilang apa?
“teman...” balasnya.
Wanita paru baya itu hanya terdiam menatapnya dengan penuh penilaian. “laki-laki apa perempuan?”
Namun sebelum dia menjawab, samar-samar dari kejauhan dia mendengar suara halus mesin mobil mendekat ke arah tempat tinggalnya.
Pria itu benar-benar mengetahui dimana dia tinggal?
Bahkan dia tidak ada memberikan alamat apapun kepadanya.
“Sudah di jemput itu....” gumam gadis itu, bangkit dan merapikan pakaiannya yang sedikit kusut, Mengambil tas kecil yang sendari tadi tergeletak di sana.
Mobil hitam mewah yang dia lihat tempo hari yang lalu, sebuah mobil Roll-Royce Ghost, yang dia tahu harga mobil itu tidaklah murah. Saat mobil itu berhenti tepat di depan rumahnya, salah satu pintu pengemudinya terbuka, menampilkan pria berambut pirang kusam yang dia ketahui itu adalah Tobito.
Berpakaian rapi dan formal seperti sebelumnya.
Dia berjalan mendekati kearah sang gadis yang masih terdiam, bersama wanita paru baya sang ibunda berdiri di sampingnya pula.
“Selamat pagi, Nona Revander... dan Nyonya...” ucapnya dengan bahasa Indonesia kakunya itu.
Revander mengangguk pelan. “Selamat pagi juga Tobito...” sedangkan sang ibu hanya diam.
“sudah siap?”
“ya....”
Tobito kembali tersenyum dan kini dia berjalan mendekat kearah pintu penumpang mobil itu, sebelum dia membukakan pintu untuk sang gadis. Melihat hal itu, Revander sedikit meragu, namun sepertinya keraguannya itu tidak di sadari oleh sang ibu yang juga masih terdiam di sampingnya.
Sang gadis sekilas berbalik menatap sang ibu. “Adek pergi dulu bu...” ucapnya berusaha setenang mungkin, memberikan salam kepada wanita itu, dan masuk ke dalam mobil itu.
.
.
.
“Ya... hati-hati di jalan...”
.
.
.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments