Hari minggu ( kegiatan silat)

Minggu sore itu, matahari mulai condong ke barat, memancarkan cahaya keemasan di lapangan SMP tempat latihan silat diadakan. Angin sore membawa aroma tanah bercampur debu lapangan yang kering.

Alvarok datang dengan langkah cepat. Kaosnya sedikit memudar warnanya, celana olahraga yang ia kenakan juga bukan baru lagi, namun semangat di matanya jelas terlihat. Beberapa teman sudah berdiri berbaris, menunggu instruktur.

Seorang pria berperawakan tegap dengan wajah teduh melangkah ke depan. “Halo, perkenalkan, nama saya Andi. Saya seorang pesilat,” ucapnya lantang. Sorot matanya menyapu seluruh barisan.

“Saya sudah pernah ikut lomba tingkat provinsi,” lanjutnya. “Kalau kalian ingin seperti saya, jangan pernah menyerah pada apa pun.” Suaranya tegas namun mengandung semangat. “Panggil saya kakak.”

Andi menepuk tangannya pelan. “Sebelum kita mulai, mari kita berdoa menurut keyakinan masing-masing.”

Semua menundukkan kepala. Suasana hening, hanya terdengar suara burung di kejauhan.

“Berdoa selesai,” kata Andi kemudian, mengangkat kepala. “Baiklah, kita mulai dengan pemanasan. Miringkan kepala kalian ke kanan, hitung sampai delapan.”

“1… 2… 3… 4… 5… 6… 7… 8.”

“Kiri!”

Kepala pun bergeser ke kiri. “1… 2… 3… 4… 5… 6… 7… 8.”

Gerakan demi gerakan dilakukan—meregangkan tangan, memutar pinggang, menekuk lutut—hingga tubuh mereka mulai terasa hangat. Keringat mulai membasahi pelipis, meski angin sore masih terasa sejuk.

“Sekarang lari keliling lapangan!” seru Andi.

Lapangan SMP itu cukup luas, membuat napas mereka mulai memburu setelah beberapa putaran. Sepatu mereka menimbulkan bunyi berirama: tap! tap! tap!

Beberapa anak melambat. Andi langsung bersuara lantang, “Siapa yang suruh berhenti? Satu putaran lagi!”

Akhirnya, setelah tiga putaran, mereka berhenti. Andi mengumpulkan mereka kembali. “Teknik dasar silat ada empat: kuda-kuda, sikap pasang, pukulan, dan tendangan.” Ia memperagakan gerakan satu per satu, lalu mempersilakan murid-murid menirukannya.

Waktu berlalu, matahari hampir tenggelam di balik pepohonan. “Kita cukupkan sampai di sini. Minggu depan kita lanjut lagi,” ujar Andi. “Tanpa penghormatan, balik kanan! Bubar jalan!”

Mereka pun pulang dengan tubuh lelah namun hati senang.

---

Satu Bulan Kemudian

Waktu berjalan cepat. Kini, para murid sudah menguasai lebih banyak teknik silat—kombinasi pukulan, tangkisan, dan gerakan elakan.

Sore itu, Andi berdiri di depan mereka. “Tidak terasa kita sudah latihan satu bulan. Minggu depan, kita akan mengikuti pertandingan tingkat kabupaten.” Suaranya penuh semangat.

Sorak-sorai kecil terdengar. “Iya, Kak!” jawab mereka serempak.

“Aku akan membawa sepuluh orang untuk bertanding, sisanya istirahat di rumah,” lanjut Andi. Ia mengeluarkan selembar kertas. “Nama-nama yang saya panggil, maju ke depan.”

Andi mulai membaca: “Satu, Dino. Dua, Danu. Tiga, Viola. Empat, Sinta. Lima, Raina. Enam, Vika. Tujuh, Azizah. Delapan, Aldo. Sembilan, Aldi. Sepuluh, Alvarok.”

Mata Alvarok membesar. Hatinya berdegup kencang—antara senang dan gugup.

“Pertandingan akan diadakan tanggal 23 Mei 2019. Untuk atribut, kalian bisa beli di toko perlengkapan silat,” kata Andi.

Dino mengangkat tangan. “Kak, berapa harga baju silatnya?”

“Seratus lima puluh ribu,” jawab Andi.

Alvarok menunduk. Seratus lima puluh ribu… tabunganku cukup nggak, ya? pikirnya, bibirnya terkatup rapat.

Pertemuan sore itu berakhir dengan salam penutup. Semua anak bergegas pulang, sebagian masih membicarakan strategi tanding. Sementara itu, langkah Alvarok terasa sedikit berat. Ia tahu, sebelum bisa bertanding, ia harus melewati satu tantangan dulu—mengumpulkan uang untuk membeli baju silat.

Bersambung…

***Karya ini telah kontrak dengan NovelToon, dilarang membajak karya seperti mencetak ulang tanpa izin.***

***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***