PCC. 4.

"Eh, bibi. Tadi mau cari bibi, tapi nyasar." Jawab Fio yang kaget.

"Oalah, ayo sini. Bibi juga lupa tadi memberitahu kamu, lengan kamu kenapa? Lah, ini juga?" Rosi mendapati luka di lengan dan kening Fio.

"Tidak apa-apa, bi. Hanya dapat salam perkenalan dari anak nyonya." Jawab Fio yang masih tersenyum.

"Ya ampun, sini bibi obatin."

Belum saja keduanya berjalan, Angelina dan Malik sudah terlebih dahulu mencegah nya.

"Tunggu." Angelina yang mendengar percakapan keduanya, langsung menarik Fio dan melihat kondisinya.

Benar apa yang telah mereka dengar, luka itu membuat Angelina menjadi khawatir dan iba kepada Fio.

"Kamu, tidak apa-apa Fio?" Jelas, tatapan itu sangat berbeda.

"Saya tidak apa-apa, nyonya." Fio menundukkan wajahnya saat mendapati ada seseorang pria didekat Angelina.

"Tidak apa-apa, gimana. Ini dan ini? Huh, anak itu."

"Tidak apa-apa, nyonya. Ini hanya luka kecil dan akan cepat sembuh." Ujar Fio yang masih tetap bisa tersenyum.

"Maafkan anak saya, Fio. Kamu, tetap kerja disini kan? " Kekhawatiran itu Kemabli muncul dalam benak Angelina, dimana ia harus mendengar jika pekerja yang ia tugaskan untuk putranya akan berhenti.

"Tidak apa-apa, nyonya. Tuan muda hanya membutuhkan waktu untuk terbiasa, saya masih bekerja disini nyonya. Apa, nyonya akan memecat saya?" Kini, Fio khawatir jika majikannya itu akan amarah kerena dirinya membuat putranya marah.

Tiba-tiba saja, Angelina memeluk Fio dengan cukup erat. Rasa syukur ia ucapkan, karena Fio tidak berhenti dan pergi dari tugasnya.

"Terima kasih, terima kasih Fio."

Entah mengapa, Fio merasakan sebuah kehangatan dari pelukan yang Angelina berikan kepadanya. Ingin rasanya ia membalas pelukan itu, namun ia tersadar akan posisinya saat ini.

Disaat Angelina melepaskan pelukannya, senyuman yang begitu indah dan wajah cantik dari wanita itu terlihat. Dan saat itu, Fio pun resmi bekerja menjadi pendamping Elio untuk mengurus kebutuhannya.

Sedangkan Elio, disaat Fio telah meninggalkan kamarnya. Ia pun kembali memasuki kamarnya, dimana ia menjadi kaget dengan keadaan kamarnya.

Lengkungan dari sudut bibir itu terlihat, walaupun hanya sedikit. Kondisi yang sebelumnya sangat kacau, kini berubah sangat rapi.

Lalu Elio kembali menatap wajah yang berada disebuah figura diatas nakas disisi tempat tidurnya.

"Kenapa? Kenapa kamu meninggalkan aku disaat seperti ini? Kenapa?" Perlahan air mata itu terlepas dari tempatnya.

"Semuanya telah kuberikan, bahkan disaat hari yang seharusnya menjadi hari bahagianya kita berdua. Kamu memintaku untuk menjemput mu." Rasa sesak di dada itu semakin mendesak .

"Kenapa, harus aku menerima semuanya ini? Apa karena aku lumpuh, apa karena pria cacat ini. Kamu malu, kenapa, kenapa Bel?"

Terlepas dari hari tersebut, Fio kini menjalani hari-harinya dengan sangat sibuk. Jika malam, ia akan pulang ke rumah dan bersama dengan sang adik. Sambil mengerjakan skripsi yang masih terus berjalan, lalu disaat pagi hingga sore hari. Ia akan bekerja, menjadi pengasuh dari orang yang tidak ia duga sebelumnya.

"Arsen, kenapa wajah kamu pucat sekali? Obatnya tidak lupa kamu minum kak?" Raut wajah Fio menjadi panik, kala melihat adiknya dalam kondisi seperti itu.

"Di minum kak, jangan khawatir." Arsen menghindari tatapan Fio padanya.

Seakan tidak bisa dibohongi, Fio mendekati Arsen dan menatapnya untuk memastikan.

"Jujur sama kakak, kamu tidak bohong kan?" Perasaan Fio mengatakan, jika apa yang dikatakan oleh Arsen tidak sepenuhnya benar.

"Iya kak, benar." Lagi-lagi tatapan itu ia hindari.

Helaan nafas berat itu begitu membuat Arsen memahami, jika Fio adalah orang yang sangat peka. Fio mengambil sesuatu dari dalam tas yang sering ia gunakan, lalu ia berikan kepada sang adik.

"Jangan membuat kakak sedih, cukup dengan kamu sehat dan berada disisi kakak. Itu adalah kebahagian terbesar untuk kakak, diminum obatnya." Senyuman yang selalu menghiasi wajah teduh itu, membuat Arsen tidak bisa berpura-pura tegar.

Rasa sakit yang ia rasakan dalam beberapa waktu ini, memang benar-benar sudah tidak tertahankan. Tanpa menunggu lama, Arsen yang telah menyelesaikan sarapannya. Mengambil obat yang baru saja diberikan oleh sang kakak dan meminumnya, lalu itu memeluk Fio dengan tetesan air mata.

"Kak."

"Sstthh, temani kakak ya. Kita jalanin kehidupan ini sama-sama, jangan menutupi semuanya dari kakak. Karena itu, sangat menyakiti kakak." Fio melerai pelukan itu dan menghapus air mata dari wajah Arsen.

"Hhmm, kenapa dengan kening kakak?" Arsen baru menyadari akan perubahan yang ada pada Fio.

"Ah, ini tidak apa-apa. Kakak sedikit teledor, karena tidak fokus dan berjalan menabrak pohon di dekat kampus. Memang dasar pohon segede apa, tapi menghalangi jalan." Canda Fio, agar sang adik tidak khawatir.

"Kakak banyak pikiran ya? Maaf."

"Eh, kamu bilang apa? Sudah-sudah, ayo bersiap. Kakak juga mau berangkat, oh ya. Obatnya dibawa, jangan membuat kakak sedih." Fio menantu Arsen untuk menyimpan obat tersebut di dalam tas sekolahnya dan beberapa lagi disimpan di rumah.

Dengan sengaja, Fio menguras isi tabungannya untuk membeli obat Arsen. Karena, Fio mendapati botol kecil yang selalu berisikan obat milik adiknya telah kosong tanpa sepengetahuan adiknya. Ia pun merasa, jika nantinya akan mempunyai penghasilan tambahan yang sangat cukup untuk menutupi kebutuhan mereka. Fio pun membeli secara full obat tersebut, karena selama ini. Mereka hanya bisa menebus sebagian dari obat yang harus dikonsumsi oleh Arsen.

Setelah semuanya siap, keduanya pun berangkat menuju tujuannya masing-masing. Saat tiba disana, Fio diberikan pakaian ganti yang juga gunakan oleh pekerja yang lain.

"Pagi nak, bagaimana Arsen?" Tanya Rosi yang bertemu dengan Fio.

"Pagi bi, obatnya sudah ada. Paling tidak, Arsen bisa bertahan dengan obat-obatan itu." Baik Fio maupun Rosi, keduanya sepakat untuk membeli obat tersebut agar Arsen tidak merasakan sakit.

"Baiklah, ayo. Pekerjaan kita sudah menunggu, semangat ya nak. Tuan muda Elio adalah orang yang baik, hanya saja. Kamu butuh kesabaran untuk membantunya." Nasihat Rosi.

"Iya bi."

Pakaian seragam sudah ia kenakan, peralatan dan juga apa yang akan ia gunakan telah siap. Fio berjalan menuju kamar Elio, dengan menyiapkan mental dan juga kesabaran yang banyak.

"Huh, akan butuh banyak tenaga yang ekstra melebihi mengasuh anak kecil. Semoga saja, hari ini tidak seperti sebelumnya." Ujar Fio sebelum masuk ke kamar Elio.

Mengetahui yang akan ia bantu kesehariannya adalah pria dewasa, membuat Fio harus menyiapkan dirinya dengan penuh ekstra.

"Permisi tuan, saya masuk." Kepala Fio muncul sedikit dari celah pintu yang ia buka.

Kedua mata itu melirik kesana kemari, mencari keberadaan orang yang menjadi tanggung jawabnya saat ini.

"Kemana dia? Kenapa lampunya tidak dinyalakan?" Suasana kamar itu begitu gelap, tirai yang belum terbuka menambah kesan yang cukup membuat merinding.

Karena tidak mendapat jawaban, Fio memutuskan untuk masuk dan segera mengerjakan tugasnya.

Membual tirai dan jendela, agar sirkulasi udara disana dapat bertukar. Tempat tidur yang berantakan, mulai dirapikan. Namun anehnya, Elio tidak terlihat sedangkan pintu balkon masih tertutup rapat.

Terus mengerjakan tugasnya, hingga ia kembali lagi ke kamar tersebut setelah mengambil sarapan untuk Elio.

"Kemana perginya tu orang? Masa hilang?" Fio dibuat bingung.

"Ngapain kamu disini?" Suara berat itu terdengar.

Tanpa membalikkan tubuhnya, Fio merasakan tubuhnya merinding. Merasa takut jika ia membalikkan tubuhnya, dengan mulut yang sudah membaca berbagai doa. Perlahan, Fio mencoba membalikkan tubuhnya.

"Ha hantu!!"

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!