Suasana ruang rapat yang tadinya penuh tawa perlahan mereda saat Yuto menautkan jemarinya di atas meja. Tatapannya menyapu seluruh ruangan. Dia terlihat mulai menilai, seakan siap mendengar, siap menyerap.
“Sekarang saya mau tahu, Bapak, Ibu, dan Kakak-kakak,” ucapnya serius, nada bicaranya menjadi lebih fokus. “Akhir-akhir ini lagi ngerjain apa? Ada project baru atau kendala yang lagi dihadapi?”
Pak Andi refleks mengangkat tangan. Kelihatan semangat kali. “Saya dulu ya, Pak.”
Yuto mengangguk dengan senyum tipisnya.
“Minggu ini saya lagi ngatur pengiriman ke Tokyo. Barangnya udah siap di gudang, tapi ada kendala di kontainer...” Pak Andi terus melapor.
“Overloadnya karena cuaca atau mereka memang kekurangan armada, Pak?” tanya Yuto cepat.
“Kurang armada, Pak. Katanya ada penambahan pengiriman dari klien lain, jadi slot kita ditunda.”
Yuto mengangguk pelan. "Oh ya, bukannya kita juga kirim Bumbu Mie Aceh yang basah? Aman pakai kapal?"
“Betul, Pak. Bumbu Mie Aceh yang basah memang kita kirim juga...” dan mereka terus membicarakan itu
“Nanti saya bantu follow up vendor, Pak,” kata Yuto.
“Siap, Pak.”
Lalu Bu Lia bersuara. “Dua hari yang lalu kami temukan beberapa kemasan bermasalah, Pak, terutama untuk produk Sambal Terasi sama Bumbu Mie Aceh...” Lanjut laporan dari Bu Lia.
Yuto mengangguk, lalu bertanya lagi. “Untuk penyegelan, kita bantu di gudang, kan?”
“Betul, Pak. Tapi untuk batch ini, beberapa sudah lolos masuk gudang sebelum dicek ulang. Kami langsung tahan semuanya begitu ditemukan masalah.”
“Bagus. Segera tahan distribusinya...” Yuto memberikan solusi
“Siap, Pak.”
Sisi, yang duduk di sebelah Imah, melanjutkan, “Saya bantu desain label dan materi promosi, Pak...” Sisi juga melapor.
“Good. Tapi jangan lupakan elemen lokal ya, Kak. Produk kita tetap harus punya identitas Indonesia.”
Sisi mengangguk cepat. “Iya, Pak. Kami lagi eksplor musik latar pakai lagu-lagu Aceh, biar ada sentuhan lokalnya. Masih kami cari yang pas sih, Pak.”
Yuto mengangkat alis, terkesan. “Menarik itu, Kak”
Imah juga ikut melapor, "Saya fokus urus invoice, packing list, sama laporan bulanan, Pak..."
Hingga di akhir laporan, Yuto tertawa kecil. “Nanti saya bantu terjemahkan, ya. Kita buat template tetap, jadi bulan depan tinggal pakai.”
“Siap, Pak.”
Akhirnya, Yuto menoleh ke Fara. Nadanya yang semula tegas dan berwibawa, mendadak melembut.
“Kalau kamu, Fara?”
Fara yang sedari tadi mendengarkan, cepat-cepat mengangkat wajah dan menjawab hati-hati.
“Saya bantu konten sama materi promosi digital untuk cabang Tokyo, Pak. Minggu ini lagi bikin storyboard video perkenalan outlet, buat diputar di channel YouTube mereka.”
“Formatnya animasi atau live shoot?” tanya Yuto pelan. Lembut kali suaranya.
“Live shoot, Pak. Kami mau ambil footage dari dapur, etalase, dan pelanggan yang datang. Konsepnya sehari di toko gitu.”
Yuto menyipitkan mata, mencoba mengingat.
“Kamu yang bikin video slow-mo goreng bakwan waktu acara ulang tahun kantor, kan?”
Fara membeku dan berkedip sesaat. “Eh, i-iya, Pak.”
Yuto tersenyum kecil. “Cocok. Sentuhan kamu khas. Nanti tunjukin storyboard-nya ke abang, ya.”
“Oke, Pak.” Fara mengangguk pelan, senyumnya malu-malu, merasa canggung mendengar Yuto menyebut 'Abang'.
Sementara itu, staf lain kembali saling pandang. Ada yang berdeham kecil, ada pula yang pura-pura sibuk mencatat, tapi tentu saja, mereka menyadari itu. Cara Yuto memandang Fara, serta nada bicaranya ketika bicara kepada Fara, jelas berbeda.
“Kalau begitu…”
Yuto akhirnya berdiri, kembali membuat mereka syok saat mendapati ternyata bos mereka cukup tinggi.
Tak hanya itu, tubuhnya juga tampak sangat gagah, sangat menarik. Bisa dipastikan tak lama lagi dirinya akan menjadi idola baru di kantor.
“Ayo tunjukkan di mana ruangan kita. Saya belum tahu di mana soalnya.”
Semua anggota timnya buru-buru berdiri. “Ayo, Pak! Saya tunjukkan! Meja bapak pun saya sendiri yang susun, loh!” kata Pak Andi. Semangat kali bicaranya.
Yuto lekas mengikuti langkah Pak Andi yang sudah lebih dulu melangkah keluar dari ruang rapat. “Pak, gausah panggil saya 'Pak'. Panggil nama saja, nggak apa-apa, kok,” kata Yuto, sudah melangkah di samping Pak Andi.
“Ya nggak boleh lah, Pak. Walaupun saya jauh lebih tua, tapi bapak atasan saya. Harus tetap saya hormati. Santai saja, Pak…” Pak Andi menepuk ramah punggung Yuto. “Wih, bapak ternyata tinggi kali, ya. Kayaknya keluarga bapak tinggi-tinggi semua, ya. Pak Yuki tinggi, Pak Rio pun tinggi. Kemarun itu pernah ke sini juga, katanya ibunya Pak Yuki. Beuh, tinggi juga! Nenek bapak lah ya itu?”
“Nek Ani maksud bapak?”
Pak Andi tampak ragu. “Saya nggak tahu sih namanya. Tapi tinggi kali orangnya. Di bawah bapak dikit.”
Yuto tersenyum bangga. “Nenek saya yang tinggi ya cuma Nek Ani, Pak. Dulu Nek Ani atlet basket. Jago tinju juga, kayak mama saya.”
“Ha… iya, saya pernah dengar itu, Pak! Adik bapak katanya juga pernah jadi atlet tinju, ya?”
Yuto mengangguk, semakin merasa bangga. “Iya, tapi dulu waktu masih sekolah. Sekarang dia udah kuliah, nggak Papa saya kasih lagi.”
“Padahal keren loh, Pak, kalau dilanjutin. Jaman sekarang cewek harus tangguh. Soalnya ada banyak kejahatan. Anak saya saja juga saya suruh latihan silat. Nggak masalah kadang saya yang kena hajar.”
Yuto tertawa geli. Sepertinya ia mulai mengerti, kemungkinan Pak Andi ini memang lawak kali orangnya.
Di belakang mereka, sekitar beberapa langkah saja, Bu Lia, Sisi, Imah, dan Fara menyusul. Mereka melangkah pelan, tetap bisa mendengar obrolan antara bos mereka dan Pak Andi di depan sana.
“Heh, itu Pak Yuto kok gitu kali sama kau, Dek? Katanya nggak dekat kali, tapi cara dia tatap kok kayak lagi lihatin adek sayang?” tanya Bu Lia tiba-tiba, jalannya sudah mepet ke Fara.
Sisi dan Imah mengangguk setuju.
“Iya, Ngomongnya pun lembut kali. Kayak cowokku kalo lagi minta jatah,” gumam Imah, yang kemudian ditepuk kepalanya sama Sisi.
“Berzina kau, ya?!” sembur Sisi.
Imah pun tersadar. Keceplosan dia ternyata. “Ih, *astagfirullah*! Enggak, loh! Salah ngomong aku tadi. Maksudku, kalau cowokku minta dimasakin sesuatu, ngomongnya pasti jadi lembut kek Pak Yuto tadi.”
“Heleh, ngeles pula kau. Jangan kau berzina. Kasihan tetanggamu ikut tanggung dosamu… mending kalian nikah terus. Entah apa pacaran. Mau sampai kapan pacarannya?” Si jomblo sedang menasehati.
“Cih, kau jomblo diam ajalah.”
“Justru aku milih jomblo dari pada pacaran.”
“Heh, diam dulu kalian. Ibu lagi tanya sama Fara.” Bu Lia kembali melirik Fara. “Cepat jawab, kok kayak gitu kali tadi Pak Yuto? Apa saling suka kalian?”
Langsung memerah pipi si Fara. Mungkin bentar lagi keluar asap dari hidungnya.
“Apalah ibu ini. Ya enggak, lah. Pak Yuto itu sepupu sahabat Fara loh, Bu. Tapi memang, dulu, sebelum Pak Yuto kuliah ke Kyoto, ya kami sering ketemu. Soalnya, keluarga mereka suka pergi berenang sama-sama, terus suka ajak Fara. Kadang main ke pantai yang di Idi, ajak Fara juga. Kadang mereka bikin bakar-bakar di rumah orang tuanya Pak Yuto, Fara juga diundang. Gitu… makanya kenal, tapi sebenarnya nggak kenal-kenal kali. Cuma sering ketemu aja.”
Fara melanjutkan, “Mungkin karena Fara dekat sama sepupunya, jadi Pak Yuto anggap kayak adiknya juga. Karena dulu pun Pak Yuto memang kayak gitu kalau bicara sama Fara. Nggak sama Fara saja, ke semua adik sepupunya kayak gitu juga. Memang lembut orangnya.”
Mendengar penjelasannya, Bu Lia, Sisi, dan Imah mengangguk mengerti, tetapi mereka tetap merasa tak sepenuhnya yakin, karena bagi mereka, memang ada yang berbeda dari cara Yuto menatap dan berbicara kepada Fara tadi.
.
.
.
.
.
Continued...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 50 Episodes
Comments
Ibu² kang Halu🤩
ahhh, babang Yuto memang menghanyutkan kali ya, bikin dedek Fara jadi merona pipinya😍😍🤩
2025-04-07
3
magdalenad dewi simarmata
adek Fara cuek kali ya,, macam ruka calon camer
2025-04-07
3
Tita Rosmiati
babang yuto udah bucin yh sama dedek Fara 🤭🤭
2025-04-07
3