Dylan membuka mata pelan. Terasa berat, tapi dia berusaha kembali membuka kelopak itu.
Matanya terbuka, menatap langit-langit kamarnya. Masih agak samar. Ia mengerjapkan matanya beberapa kali agar penglihatannya lebih jelas. Ia mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarnya. Sepi.
Dylan berusaha bangkit dari posisi tidurnya, tapi—
“Arghhhh...” erangnya. Seluruh tubuhnya sakit. Kepalanya pun berat. Ia tak sanggup bangun dan akhirnya terkapar kembali.
“Ya Tuhan... aku kenapa?” gumamnya, berbicara pada dirinya sendiri.
“Elena... kamu sudah bangun?!” suara panik itu muncul dari arah pintu. Elena segera masuk menghampirinya.
“Ahhh... sakit, El...” rintih Dylan sambil memegang kepalanya.
“Jelas sakit, Mas. Kepala kamu terbentur gagang setir. Ditambah lagi kamu mabuk semalam, jadi mungkin sakit disertai pusingnya berbarengan,” jawab Elena sambil membantu Dylan bangkit dan menyandarkan tubuhnya di tumpukan bantal yang ia susun agar Dylan bisa duduk tegak.
“Semalam aku mau bawa kamu ke rumah sakit, tapi kamu menolak. Ya sudah, aku obati kamu sebisa aku saja,” Elena memeriksa luka Dylan yang tak seberapa, tapi tetap saja terasa sakit.
“Lagian aku gak apa-apa, El. Aku cuma ngantuk aja. Aku minum juga cuma dua gelas kecil,” Dylan mencoba membela diri.
Elena mendengus kesal. Wajahnya berubah datar. Dylan tahu dia menyebalkan. Elena pun berlalu pergi meninggalkan kamar.
Tak lama kemudian, dia kembali membawa sepiring makanan dan segelas air putih.
“Kamu makan dulu ya, Mas. Setelah itu minum obat,” pinta Elena, duduk di samping Dylan.
“Semalam karena kamu gak mau dibawa ke rumah sakit, aku menelepon dokter untuk memeriksa kamu. Aku takut salah mengobati. Jadi kamu ditangani dokter semalam dan dikasih beberapa jenis obat,” ceritanya.
Elena mulai menyuapkan makanan ke mulut Dylan. Ia menerimanya tanpa banyak bicara.
Suapan demi suapan diberikan, hingga piring itu bersih tak bersisa. Jujur, Dylan selalu suka dengan masakan Elena.
Setelahnya, Elena memberikan beberapa butir obat. Dylan meminumnya dengan bantuan air putih yang disodorkan Elena.
Usai menyuapi dan memberinya obat, Elena bangkit hendak pergi, tapi Dylan menahan tangannya.
“Temani aku di sini, El,” pintanya, menuntun tangan Elena agar duduk kembali.
Elena menurut, duduk kembali di samping Dylan, meski tak menghadap padanya.
Dylan memandangi dari samping. Bingung memulai percakapan.
Matanya melirik ke arah perut Elena yang mulai membesar. Usia kandungannya mungkin memasuki lima bulan.
Tangannya perlahan terangkat, menempel di perut itu. Lalu mulai mengelus lembut.
Elena terperangah, tak percaya atas apa yang dilakukan Dylan.
Selama ini, jangankan mengelus perutnya. Melirik saja tidak. Apalagi peduli.
“Sayang... kamu lagi apa?” bisik Dylan pada janin yang ada di dalam perut Elena. Ia mendekatkan telinganya, mencoba mendengar detak jantung kecil itu.
Tiba-tiba, sebuah gerakan terasa di telapak tangannya. Seperti tendangan kecil. Mungkinkah itu bayinya?
Dylan mendongak, menatap Elena. Ingin tahu penjelasannya.
“Dia menendang, Mas... mungkin dia senang,” jelas Elena sambil mengelus kepala Dylan. Namun tak ada senyum di wajahnya.
Ya, sejak hari di mana Dylan melukai Elena dengan kata-kata, senyuman itu hilang. Dulu, meski marah, Elena tetap berusaha tersenyum. Tapi sekarang, tidak.
Gurat wajahnya selalu datar. Dylan tahu itu salahnya. Ia harus bisa menerima. Tidak mudah memaafkan orang yang pernah menyakiti, bukan?
“Baik-baik di sana ya... Papa tunggu kamu lahir supaya kita bisa main bareng,” bisik Dylan ke perut Elena. Lalu ia mencium perut itu — seperti yang dilakukan banyak suami terhadap istrinya yang tengah hamil.
Sepertinya, Dylan mulai merasa nyaman kembali dengan Elena. Seperti dulu.
*****
Hampir seminggu Dylan tergeletak di tempat tidur karena kecelakaan kecil itu. Kini tubuhnya mulai ringan. Luka di kepalanya pun membaik. Ia harus masuk kantor. Banyak pekerjaan tertunda.
Setiap hari, Sheryl menelepon menanyakan kabar, bilang rindu. Dylan hanya menjawab jika Elena tidak berada di dekatnya. Ia harus menjaga perasaan Elena — apalagi ia sudah mulai menunjukkan sikap baik padanya.
Di sisi lain, Dylan mencintai Sheryl. Tapi di sisi lain pula, ia mulai ingin memiliki Elena seutuhnya. Dilema.
Elena masih sangat mempedulikannya, meski wajahnya selalu datar. Hanya berubah saat dia khawatir. Tak ada senyuman lagi. Dylan sempat mengira Elena akan berhenti peduli, tapi ternyata tidak. Elena tetap menomorsatukan kebutuhannya.
Hari ini Dylan siap berangkat ke kantor. Ia tak ingin pekerjaan semakin menumpuk.
“El, aku pergi dulu,” pamit Dylan pada Elena yang sedang membuat nasi goreng. Elena menoleh, lalu menghampiri.
“Kamu masih sakit, Mas. Sebaiknya jangan ke kantor dulu,” ucap Elena penuh kekhawatiran.
“Aku sudah sehat, El. Lihat?” Dylan mencoba meyakinkan.
Elena menarik napas pelan dan menghembuskannya.
“Tapi kamu belum sarapan.”
“Nanti di kantor saja, El. Aku telat,” Dylan melirik arlojinya.
“Aku harus cepat. Banyak kerjaan yang aku tinggalkan, El. Nanti malah semakin menumpuk. Aku harus masuk hari ini. Aku sudah sehat kok. Aku sarapan di kantor saja nanti!” tegas Dylan.
“Oke. Tunggu!”
Elena berlari kecil ke arah meja makan, mengambil dua lembar roti dan mengolesinya dengan selai nanas — favorit Dylan. Ia kembali menghampirinya.
“Aaaaaaaa dulu,” pintanya sambil membuka mulutnya, menyuruh Dylan membuka mulut juga.
Potongan demi potongan sandwich itu disuapkan hingga habis. Lalu Elena memberinya minum.
“Silakan pergi,” ucapnya lega.
“Kamu hanya boleh pergi setelah perutmu terisi,” tambahnya.
Dylan menatap wajah Elena. Betapa pedulinya perempuan itu. Dia takut Dylan lupa makan.
Dylan tersenyum senang — tanpa Elena tahu.
“Aku pergi dulu,” pamit Dylan sambil mengecup keningnya. Elena melongo. Ini sudah kesekian kalinya Dylan mencium keningnya tiba-tiba.
Dylan tak peduli pada ekspresi bingung itu. Ia pergi sambil menahan tawa. Wajah Elena benar-benar lucu.
Sesampainya di kantor, para karyawan menyambutnya dengan hormat. Mereka sempat menanyakan plester luka yang menempel di keningnya. Dylan hanya bilang itu karena terbentur. Ia sudah mewanti-wanti Elena agar tak bilang pada siapa pun soal kecelakaan itu — termasuk Mama Veronica. Ia tak mau orang-orang tahu kalau itu akibat pengaruh alkohol. Reputasinya bisa hancur.
Dylan masuk ke ruangannya. Sheryl langsung memeluk erat. Dylan pun membalas. Mereka melepas rindu setelah hampir seminggu tak bertemu. Sheryl tak tahu apa-apa soal kecelakaan. Dylan bilang hanya demam.
“Aku kangen...” rengek Sheryl dengan tangan masih melingkar di leher Dylan, manja.
“Aku juga,” jawab Dylan, tersenyum sambil melingkarkan tangan di pinggang rampingnya.
“Kamu sudah baikan?”
“Ya, aku sudah sehat,” jawab Dylan.
“Ini kenapa?” tanyanya sambil menunjuk plester di atas kening Dylan.
“Ah, bukan apa-apa. Cuma terbentur sedikit,” Dylan tetap bohong.
“Ceroboh!” protes Sheryl.
“Iya, maaf,” Dylan nyengir.
Mereka melepaskan pelukan dan kembali ke tempat duduk masing-masing. Mulai sibuk dengan pekerjaan.
Jam makan siang tiba. Sheryl mengajak Dylan makan. Tapi ia menolak karena pekerjaannya masih banyak. Fokus. Sheryl menawarkan untuk membawakannya makan, Dylan menolak juga. Ia memang tak lapar. Sheryl akhirnya pergi sambil membanting pintu. Mungkin marah.
Ponsel Dylan terus berbunyi. Banyak chat masuk. Ia meng-scroll layar ponselnya, melihat satu per satu pesan. Matanya tertuju pada satu nama — Elena. Chat dari tiga bulan lalu yang belum pernah ia buka.
Selama ini, Dylan memang tak pernah mau membaca chat dari Elena. Baginya, tak penting.
Tapi entah kenapa, hari ini, jarinya menekan chat itu. Ia membaca satu per satu isinya. Dari atas. Sejak awal pernikahan.
Semua isinya hampir sama...
“Jangan lupa makan ya, Mas!”
Kata itu dikirim setiap hari.
Di chat lain, Elena menceritakan hasil pemeriksaan dokter, aktivitas hariannya, hal-hal lucu. Dan yang terakhir — foto hasil USG tiga bulan lalu dengan caption:
“Anak kita sehat, Mas. Dokter bilang aku cuma kecapekan saja. Aku harus sering periksa dan mengurangi pekerjaan di rumah. Bulan depan kamu antar aku ya periksa, biar kamu tahu kondisi anak kita.”
Astaga...
Begitu tidak pedulinya Dylan. Sampai-sampai chat dari Elena pun tak pernah ia baca. Ia selalu menganggap Elena tidak penting.
Dadanya sesak. Matanya mulai berembun. Tanpa sadar, air matanya menetes.
Dylan menangis pelan.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments