Air mata Elena

Dylan sampai di rumah sekitar pukul 23:33 — terlalu malam. Ia terlalu asyik mengobrol dengan Sheryl tadi di dalam mobil hingga lupa waktu. Ia membuka pintu dengan kunci cadangan yang selalu dibawanya, karena kunci utama dipegang oleh Elena. Tujuannya memang agar ia bisa masuk dengan mudah ketika Elena sudah tertidur.

Sesampainya di kamar, Dylan melihat Elena sudah tidur pulas. Ia membersihkan diri, lalu masuk ke dalam selimut, bersiap tidur. Tiba-tiba ponselnya berbunyi — sebuah chat masuk.

Dylan mengambil ponsel dan membuka isi chat itu.

“Kamu sudah tidur?” pesan dari Sheryl.

“Belum,” balas Dylan.

“Aku rindu,” balasan tiba-tiba yang langsung membuat Dylan bangkit dari posisi tidurnya menjadi duduk.

Apa maksudnya?

“Dylan, aku rindu kamu!” tulis Sheryl lagi.

Dylan bingung harus membalas apa. Sesungguhnya, dia juga merindukan Sheryl. Padahal seharian di kantor mereka bertemu, tapi entah mengapa, ia merasa nyaman dan ingin terus bersama Sheryl.

Mungkin Dylan jatuh cinta padanya.

“Kenapa belum tidur?” tanya Dylan lewat chat.

“Aku memikirkan kamu,” balas Sheryl. Jawaban itu membuat pikiran Dylan melayang.

Benarkah Sheryl memikirkan dia? Apakah dia juga menyukainya?

“Yang benar?” balas Dylan ingin memastikan.

“Iya, aku menyukai kamu sejak lama, tapi aku gak berani ungkapin. Aku takut kamu gak suka aku,” lanjut Sheryl dengan emoticon sedih.

“Sekarang kamu milik orang lain, tapi aku masih menyukai kamu Dylan!”

“I love you,” balasan berikutnya menyertakan emoticon love.

Jantung Dylan berdebar-debar. Ia merasa melayang. Seperti jatuh cinta lagi.

“I love you too” balas Dylan akhirnya.

Sejenak ia melupakan statusnya sebagai suami. Ia berpikir bahwa ia juga berhak mencintai wanita lain. Toh kewajiban menikahi Elena sudah ia tunaikan. Apa salahnya mencintai Sheryl? Bukankah Dylan juga berhak bahagia?

Mungkin inilah saatnya mencari cinta sejati.

*****

Pagi menyapa. Seperti biasa, Dylan melakukan rutinitas sebelum ke kantor. Hari itu, ia tak melihat Elena lagi. Entah ke mana wanita itu pergi. Dylan tak mau ambil pusing. Biarlah Elena melakukan apapun sesuka hati. Mungkin dia masih ngambek!

Tanpa berpikir panjang, Dylan pergi ke kantor. Ingin segera bertemu Sheryl.

Hari itu, Sheryl tampak sangat cantik dengan rok mini dan cardigan berwarna merah darah — sangat cocok dengan kulit putih mulusnya. Dylan terpesona, sungguh.

Sheryl mendekatinya dan tersenyum penuh arti.

“Pagi Sayang!” sapanya.

“Sayang?” Dylan terlihat heran.

“Iya Sayang, kan semalam kita jadian,” katanya.

“Benarkah?”

“Iya, kan kamu bilang I Love You Too juga. Masa lupa ihhh!” jawab Sheryl sambil melipatkan kedua tangannya di dada, bibirnya cemberut. Dia ngambek.

Dylan terkekeh. Lucu juga Sheryl saat ngambek begitu.

“Kamu cemberut pun cantik!” pujinya sambil memandangnya.

Sheryl menoleh, tersipu malu.

“Maaf, tadi aku bercanda!” Dylan tersenyum dan menggenggam tangan Sheryl.

“Jahat!” Sheryl memukul dada Dylan pelan.

“Oke, oke maaf ya Nyonya,” ucap Dylan sambil mencolek dagu lancip Sheryl.

Sheryl memeluknya erat dan berkata pelan di telinganya:

“Aku mencintaimu.”

“Aku juga,” jawab Dylan yakin.

Mereka berpelukan erat di dalam ruang kerja Dylan. Ia tidak khawatir ada yang melihat, karena ruangan itu adalah wilayah kekuasaannya — siapapun harus mendapat izin darinya untuk masuk.

Mulai hari itu, mereka resmi berpacaran. Dylan mencintainya dan Sheryl mencintainya. Tak ada yang salah.

________

Hari itu setelah resmi jadian, Dylan dan Sheryl menghabiskan waktu kerja mereka dengan senyum yang sulit disembunyikan. Bahkan rekan-rekan kantor sempat melirik mereka curiga karena aura kedekatan keduanya begitu nyata. Namun Dylan tak peduli. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, ia merasa hatinya tenang. Damai. Senang.

Menjelang pukul enam sore, Sheryl menghampiri Dylan yang sedang merapikan berkas-berkas di mejanya.

“Makan malam yuk? Aku tahu tempat yang cozy, makanannya enak,” ucap Sheryl sambil memainkan ujung rambutnya.

“Boleh. Aku juga lapar banget,” jawab Dylan sambil berdiri.

Mereka pun keluar kantor bersama. Tak seperti biasanya, Dylan dengan santai menggandeng tangan Sheryl di area parkir. Meski hanya sebentar, cukup membuat dada Sheryl berdebar dan wajahnya memerah.

Tempat makan yang mereka tuju adalah sebuah restoran kecil bergaya rustic di kawasan pusat kota. Pencahayaan temaram, aroma kayu bakar, dan musik jazz mengalun pelan — suasana sempurna untuk dua orang yang sedang jatuh cinta.

Sheryl memilih duduk di sisi jendela, Dylan duduk di seberangnya. Mereka memesan makanan tanpa banyak pertimbangan. Waktu yang mereka nikmati bukan soal rasa makanan, melainkan kehadiran satu sama lain.

“Kamu tahu enggak?” kata Sheryl tiba-tiba, memecah keheningan lembut di antara mereka.

“Apa?”

“Aku pikir aku nggak akan pernah bisa bilang perasaanku ke kamu,” ucapnya pelan, matanya menatap jemarinya sendiri yang bermain-main di atas meja.

Dylan tersenyum, menyandarkan punggung ke kursi. “Tapi kamu bilang juga akhirnya.”

“Dan kamu nggak nolak...” gumamnya lirih.

“Karena aku juga ngerasa hal yang sama,” sahut Dylan cepat. “Aku nyaman sama kamu, Sher. Lebih dari sekadar nyaman sebenarnya.”

Mata mereka bertemu. Tatapan yang tak perlu dijelaskan, karena keduanya tahu, mereka ada dalam frekuensi yang sama.

Setelah makan malam, mereka tidak langsung pulang. Sheryl mengusulkan untuk jalan-jalan sebentar, mengitari taman kota yang tak jauh dari restoran. Malam itu cukup sejuk, langit bersih, dan bintang-bintang menggantung di atas kepala.

Mereka berjalan pelan, beriringan, kadang bersentuhan tangan, lalu genggaman yang tak sadar terjalin.

Sheryl bersandar sebentar di pundak Dylan ketika mereka duduk di bangku taman.

“Aku senang malam ini,” katanya pelan.

“Aku juga,” balas Dylan, menoleh menatap wajah Sheryl yang bersinar dalam remang lampu taman.

Tanpa kata, Dylan mencium keningnya.

Malam itu ditutup dengan damai, seolah dunia berhenti sejenak hanya untuk mereka berdua. Namun dalam diam, jauh di dalam benaknya, Dylan tak sepenuhnya tenang. Ada satu sosok yang terus mengendap di pikirannya.

Elena.

Dan pulang akan selalu berarti kembali pada kenyataan.

*****

1 Bulan Kemudian...

Akhir-akhir ini Dylan tak pernah berjumpa dengan Elena. Lebih tepatnya, tak pernah melihat wajahnya lagi. Setiap hari saat pulang, Elena sudah tidur pulas.

Entah apa yang terjadi padanya. Pagi-pagi pun Elena tak tampak di dapur atau ruangan lain seperti biasanya. Seperti hantu. Itu sudah terjadi satu bulan lamanya. Dylan tak ingin bertanya, tak ingin peduli. Bukankah lebih baik begini? Tak ada pertengkaran lagi.

Hari itu hari Minggu. Dylan punya janji dengan Sheryl untuk nonton film. Ia membuka laci dan melihat amplop berwarna cokelat berisi uang — ia lupa memberikan jatah belanja bulanan untuk Elena. Wanita itu pasti harus belanja kebutuhan rumah dan dapur.

Dylan turun dari tangga untuk mencari Elena, yang sejak pagi tak tampak. Ternyata Elena ada di dapur, sedang memasak makan siang.

Dylan menghampirinya dan menyodorkan amplop cokelat itu.

“Ini jatah bulanan kamu, aku lupa memberikannya,” katanya.

Elena tak menoleh, apalagi menjawab. Hanya berkata,

“Gak usah Mas, aku masih ada uang kok.”

Jawabannya singkat, tanpa melihat ke arah Dylan.

Dylan heran. Biasanya Elena akan menerimanya, meski sedang marah. Kenapa kali ini dia menolak?

“Tapi ini jatah bulan ini. Jatah bulan lalu bisa kamu simpan atau tabung.”

“Simpan saja!” jawab Elena lagi, tetap singkat.

Dylan yang mulai kesal menarik tangan Elena agar menghadap ke arahnya. Tapi Elena hanya menunduk.

“Kenapa? Sudah gak butuh nafkah dari aku? Kamu banyak uang sekarang? Kamu ke mana setiap hari, pagi pergi, malam pulang? Ke mana saja kamu?!”

“Jangan-jangan kamu sering ketemu laki-laki yang meniduri kamu, setelah aku yang sebenarnya benihnya tumbuh di rahim kamu sekarang itu?!”

PLAKKKKK!

Sebuah tamparan mendarat di pipi kiri Dylan. Elena menamparnya.

“Cukup Mas! Belum puaskah kamu menghinaku? Belum puas kamu menghujaniku dengan kata-kata menyakitkan setiap kita bertengkar? Kamu tahu? Setiap kata yang kamu ucapkan selalu menyakitkan, dan aku selalu berusaha menahan rasa sakit itu.”

“Aku tahu kamu nggak pernah bisa mencintaiku seperti dulu. Kamu gak mau menerima bayi yang aku kandung, bahkan menyuruhku menggugurkannya. Tapi tolong, jangan pernah bilang seperti itu.”

“Demi Tuhan, hanya kamu laki-laki yang pernah meniduriku. Aku nggak pernah tidur dengan laki-laki manapun selain kamu. Jika kamu menuduh aku menemui laki-laki seperti yang kamu maksud, kamu salah besar Mas.”

“Aku setiap hari kerja dari pagi sampai malam menjaga toko kacamata di dekat salon itu. Aku berusaha mencari uang untuk mencukupi kebutuhanku. Aku gak mau merepotkan kamu lagi. Aku sudah janji. Aku pikir aku masih bisa mencari pekerjaan sebelum perutku semakin membesar.”

“Jika kamu gak mau menerima kehadiranku dan bayi ini, gak apa-apa Mas. Kamu boleh ceraikan aku. Aku yakin aku bisa menjadi orangtua tunggal buat dia. Maaf karena aku memaksamu menikahiku. Tolong jangan pernah sakiti aku lagi Mas. Aku lelah!”

Elena menangis tersedu, menelungkupkan dua tangannya memohon pada Dylan.

Ya Tuhan… apa selama ini Dylan memang selalu menyakitinya?

Kenapa Dylan tak pernah sadar bahwa ucapannya begitu menyakitkan? Ia hanya mengatakan apa yang ia pikirkan, tanpa mempertimbangkan perasaan Elena.

“Aku lelah Mas… tolong ceraikan aku saja…”

Suara tangis Elena pilu. Baru sekarang Dylan sadar betapa dalam luka hati wanita itu.

Tangis Elena semakin keras dan menyayat. Dylan berdiri mematung. Matanya mulai berkaca-kaca. Ia menyesali setiap kata buruk yang pernah ia lontarkan.

Betapa kejamnya ia selama ini.

Ia meraih tubuh Elena dan memeluknya — untuk pertama kali setelah lima bulan menikah. Selama ini Dylan memang tak pernah menyentuh Elena. Tidur pun selalu dengan sekat bantal guling di antara mereka. Hingga dua minggu setelah menikah, saat Elena benar-benar hamil, Dylan makin ingin menjauh.

Entah apa yang merasukinya dulu.

Kini ia memeluk tubuh Elena erat. Wanita itu menangis keras di pelukannya.

“Maafkan aku, El… aku gak pernah menyadari kesalahanku. Aku egois, aku cuma pikirin diriku sendiri…” ucap Dylan dengan penuh penyesalan.

“Tolong maafkan aku El… aku janji akan memperbaiki semuanya. Maafkan aku…”

Mereka berdua menangis sesenggukan sambil berpelukan.

Tangis Elena mulai mereda. Suaranya merendah. Dylan merenggangkan pelukannya. Elena mendongak dan menatap wajah Dylan — untuk pertama kalinya juga setelah mereka menikah.

Jari jemari Elena mengusap air mata Dylan. Dylan menggenggam tangan Elena erat dan menciumnya.

“Aku gak maksa kamu untuk menerima aku Mas… aku ikhlas kalau kamu ceraikan aku. Percuma juga kita terusin hubungan ini, hanya akan menyiksa kita,” ucap Elena lirih.

“Nggak… kamu gak maksa aku. Aku yang sadar bahwa aku memang harus menerima kamu sejak awal,” jawab Dylan, tak mau melepaskan genggaman tangan istrinya.

Dylan kembali memeluk Elena erat. Enggan melepaskan.

Bersambung...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!