Adakah Cinta Untukku?
"Mas, anter aku belanja ya hari ini, keperluan dapur sudah habis," Elena berkata dari dapur.
"Aku capek El, kamu pergi sendiri aja deh kan bisa, gak usah manja!" tolak Dylan dengan nada malas.
"Tapi ini hari Minggu Mas, kamu juga libur kan?"
"Sekali aku bilang enggak ya enggak El, ngerti dong! Waktu istirahatku cuma hari Minggu!" jawab Dylan keras. Dia malas meladeni Elena. Setiap hari mereka bertengkar setiap bertemu. Rasanya Elena sangat menyebalkan.
"Aku sudah kerja capek setiap hari buat kamu, apa aku nggak boleh istirahat barang sehari aja? Kalau bukan karena anak itu, aku nggak akan mau menikahi kamu, mikir dong kamu di sini hidup berkecukupan berkat anak itu, kalau gak hamil sudah pasti kamu jadi pegawai Bar lagi bahkan mungkin jadi pelacur!" timpalnya penuh kekesalan.
Elena diam, tak menjawab apapun lagi. Ya, begitulah mereka ketika bertengkar. Ketika Dylan sudah benar-benar marah, Elena akan diam. Entah berapa kali Dylan mengucapkan kata-kata seperti itu setiap bertengkar dan Elena hanya diam. Payah!
Dylan pergi ke kamar untuk tidur kembali. Dia tak ingin diganggu hari ini. Dia ingin hari ini jadi hari istirahatnya sepenuhnya.
Jika diingat lagi, apa yang terjadi beberapa bulan ke belakang membuat Dylan menyesal. Kalian tahu? Dylan menikahi Elena karena dia sudah menodainya. Saat itu Elena memaksanya untuk menikahinya karena dia takut benih yang Dylan tanam di rahimnya tanpa sengaja itu tumbuh.
Elena adalah mantan pacar Dylan dulu sewaktu masih kuliah. Mereka putus karena Elena yang meminta. Orangtua Dylan tak setuju dengan hubungan mereka karena Elena berasal dari keluarga kalangan bawah yang bisa kuliah hanya mengandalkan beasiswa.
Sebenarnya Dylan kagum padanya. Prestasinya bagus di bidang akademik, tapi perekonomian Elena menghalau restu dari orangtua Dylan. Akhirnya mereka putus. Meski Dylan bilang bahwa dia tulus mencintai Elena, tapi Elena tetap kekeuh minta putus.
Jujur saja, selama pacaran Dylan tak pernah melakukan apapun padanya. Jangankan menodainya, memeluknya saja tidak pernah. Mereka mesra hanya sebatas pegangan tangan saja. Dylan pun belum tahu dasar-dasar seks seperti apa.
Berbeda dengan teman-temannya yang sudah tahu dan mengalami seks dengan pacar mereka, mungkin sudah layaknya suami istri. Hmm… bukankah itu sudah bukan hal yang tabu bagi muda-mudi zaman sekarang?
Dylan tak pernah melakukan seks dengan siapapun dan keperjakaannya hilang malam itu tanpa dia sadari.
Dia ingat kejadian hari itu, kejadian yang membawanya ke kehidupan saat ini, yang mungkin akan dia sesali seumur hidupnya.
--flashback--
Dylan terbangun dari tidurnya. Kepalanya terasa sakit serta pusing sekali. Dia menggeleng-gelengkan kepala agar normal kembali.
Terdengar isakan seseorang menangis di seberang tempat tidur. Dylan berusaha membuka matanya, ingin tahu siapa orang itu.
Perlahan dia mulai membuka mata dan menatap ke arah asal suara. Dylan terbelalak ketika melihat seorang gadis tengah terisak menyandarkan kepala ke tembok sambil memegangi selimut menutupi tubuhnya. Tampaknya tubuhnya polos!
Dia melirik ke sekeliling tempat tidur, mendapati pakaian yang berserakan. Hei! Itu pakaiannya!
Segera Dylan melihat dirinya sendiri yang masih menangkup di atas tempat tidur.
"Astaga!!" Tubuhnya polos tanpa sehelai benang pun menutupi. Dia segera bangkit dan mencari sesuatu untuk menutupi bagian vitalnya. Dia mengambil bantal dan menutupinya.
"Hei! Siapa kamu?!" tanyanya pada gadis itu. Rambutnya tampak acak-acakan menutupi wajahnya yang masih terisak.
"Apa yang terjadi?!" tanyanya lagi. Gadis itu tetap menangis.
Dylan kesal. Langsung saja dia turun dari tempat tidur dan mengenakan celananya. Sekilas matanya melihat pakaian perempuan serta dalamannya tercecer di sana. Bajunya robek di bagian leher ke dada.
"Astaga, apa yang aku lakukan semalam?" gumamnya dalam hati.
Dia menghampiri gadis itu dan bertanya lagi.
"Hei! Jawablah! Jangan diam saja!" tanyanya agak meninggikan suara karena dia ingin tahu apa yang terjadi.
Gadis itu mundur, seperti ketakutan.
"Tolong jangan mendekat!" pintanya lirih.
"Ayolah bicara, aku tak sabar menunggu jawaban darimu!" pinta Dylan lebih tak sabar.
"Kamu sudah menodaiku!" Jawaban itu membuat Dylan tercekat.
"Kamu memperkosaku semalam, padahal aku hanya pegawai di sini bukan pelacur!" jelasnya masih menangis sesenggukan.
Dylan menggeleng tak percaya, tapi dia pun lupa apa yang terjadi semalam. Dia benar-benar mabuk berat dikarenakan sedang frustasi, jadi dia minum-minum di bar itu entah habis berapa botol.
"Bohong! Aku tak mungkin melakukan itu! Kamu berusaha membohongiku kan?!" sergahnya berusaha menyangkal.
"Tidak, semalam kamu datang dengan teman-temanmu, lalu kamu minum dua botol wiski. Kamu mabuk berat. Teman-temanmu memintaku untuk membawa kamu ke kamar bar ini agar tidur di kamar karena mereka tidak bisa membawa kamu pulang. Jadi aku membawamu ke kamar ini. Sewaktu aku hendak melepaskan sepatumu, tiba-tiba kamu menarikku dan melecehkan aku. Aku berusaha menjelaskan tapi kamu tetap melakukan itu. Itu sangat menyakitkan!" jeritnya pilu.
Dylan mundur dan terduduk. "Oh Tuhan, apa yang telah aku lakukan?" gumamnya tak percaya.
Dia bangkit dari duduk dan menatap ke arah tempat tidur. Matanya tertuju pada sprei berwarna putih itu. Dylan membulatkan mata melihat bercak darah di sana.
Oh tidak! Itu pasti... darah keperawanan yang sering teman-temannya bilang dan jujur, ini adalah yang pertama untuknya.
"Jadi apa maumu?" tanyanya.
"Nikahi aku!" pintanya.
"Tidak! Aku bisa membayar berapa pun yang kamu mau!"
"Aku bukan pelacur, Dylan!" Dia mendekat. Wajahnya kini nampak jelas.
"Elena!" ucap Dylan kaget.
"Ya, ini aku Dylan!" Matanya sembab dan terdapat memar di pipi serta bibirnya mengeluarkan sedikit darah mengering.
"Bukan hanya memperkosaku, kamu juga menampar dan memukul wajahku, ini buktinya!" Elena menunjukkan luka-luka lebam itu padanya. Dylan menggeleng tak percaya.
"Tidak mungkin! Aku tidak pernah kasar dengan perempuan!" kilahnya.
"Tapi kamu mabuk Dylan, kamu di luar kendali. Aku bahkan gak bisa melawan kamu. Kalau kamu gak percaya, aku siap di visum!" tantangnya lantang.
Dylan menelan ludah kasar. Tenggorokannya rasanya kering. Dia tak bisa mengelak lagi. Mungkin memang dia melakukannya semalam karena pengaruh alkohol.
"Aku kotor Dylan, siapa yang mau menikahi aku nanti?" ucapnya terisak. Elena pasti sangat sakit, bukan hanya fisik tapi mentalnya juga.
"Dan satu hal yang paling aku takutkan, aku takut benih yang kamu tanam di rahimku tumbuh. Aku yatim piatu, aku hanya punya bibi dan paman. Kalau aku hamil tanpa suami bagaimana nasibku? Tolong nikahi aku Dylan!" pintanya memohon penuh harap. Tangisannya sangat pilu sambil bersimpuh di kakinya.
Oh Tuhan, Dylan tak kuat mendengarnya.
Betapa jahatnya dia. Dia yang sudah menodainya dan malah Elena yang memohon padanya.
Dylan meraih bahunya dan membantunya berdiri.
"Baiklah, aku akan menikahi kamu. Tapi... jangan bilang apapun pada orangtuaku tentang alasan kita menikah!" pintanya. Dia tidak ingin orangtuanya tahu masalah ini. Mereka bisa sangat murka padanya.
"Tapi, gimana cara meyakinkan orangtuamu? Mamamu gak suka aku dari dulu." Elena menunduk.
"Aku akan meyakinkan Mama, aku janji kita akan menikah, aku akan bertanggung jawab!" jawabnya yakin.
"Tolong jangan laporkan ini pada polisi. Aku benar-benar gak sengaja, itu pengaruh alkohol. Sebagai gantinya aku akan menikahi kamu. Setuju?!" Dylan mengajukan perjanjian.
Elena menatapnya seperti mencari ketulusan, lalu menunduk kembali.
"Baiklah, aku setuju! Lamar aku secepatnya. Aku ingin menikah dengan terhormat meski hanya di mata orang. Aku gak mau membuat bibi dan paman malu," pintanya lagi.
"Baiklah, kita sepakat!" Dylan mengulurkan tangan untuk berjabat tangan.
"Ya!" Elena menerima uluran tangannya dan menjabatnya. Wajahnya mulai menenang.
*****
Hari itu Dylan meyakinkan orangtuanya untuk merestui pernikahannya dengan Elena. Sangat sulit sekali meyakinkan mereka, tapi Dylan berusaha sebisanya. Dia punya tanggungan beban yang berat saat ini. Jika tak bisa menikahi Elena, dia akan dipenjara. Itulah masalahnya.
"Dia gadis yatim piatu yang tidak pantas bersanding denganmu Dylan! Kamu kan tahu Mama sangat membenci dia dari dulu, kenapa kamu tiba-tiba minta restu menikahi dia padahal kalian sudah putus lama?" Veronica masih tetap pada pendiriannya. Tidak suka dengan Elena hanya karena dia bukan wanita kalangan atas.
"Aku mencintai dia, Ma!" Dylan berbohong. Sebetulnya dia memang masih menyukai Elena, tapi bukan cinta.
"Dylan! Apa yang kamu suka dari dia? Dia kampungan, miskin, masuk kuliah pun cuma karena beasiswa. Kamu kan bisa menikahi Sheryl teman kantormu itu yang cantik, modis, elegan dan tentunya kasta kita sama!" bentak Veronica yang malah membandingkan Elena dengan Sheryl, teman kantor yang juga asisten pribadi Dylan.
"Aku hanya mau Elena, Ma. Titik!"
"Kalau Mama tidak mau merestui kami, biar aku pergi dan gak akan pulang lagi!" ancamnya.
Dylan yakin Veronica akan takut dengan ancamannya karena dia anak tunggal penerus keluarga Hartanto.
Veronica membulatkan kedua matanya tak percaya dengan ucapannya. Dylan hendak pergi, tapi Veronica menahannya.
"Baiklah... kamu boleh menikahi dia. Mama merestui kalian, tapi jangan pernah tinggalkan Mama," ucap Veronica menggenggam tangan Dylan erat. Ahhh, Dylan tahu Veronica sangat takut kehilangan dirinya. Kata almarhum Papanya, Dylan adalah anak yang sangat dinantikan selama 15 tahun pernikahan mereka. Jadi wajar jika Veronica takut kehilangan dia.
"Kalau begitu, besok kita lamar dia ke rumah bibi dan pamannya ya Ma," pintanya.
Veronica menjawab dengan malas, "Baiklah," lalu membuang napas kasar.
"Terima kasih, Ma!" ucap Dylan sambil mencium punggung tangannya yang lembut. Dia menyunggingkan senyum puas.
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 25 Episodes
Comments