Alea melangkah ke dalam ruang kelas pertama dengan langkah ragu, matanya masih memandang sekitar. Pagi ini, kampus terasa lebih sepi daripada biasanya. Angin yang masuk melalui jendela berderit pelan, mengusik ketenangan ruang kelas yang besar dan kuno. Tembok-tembok yang dipenuhi dengan poster acara kampus, peta perpustakaan, dan daftar jadwal mata kuliah, tampak seperti saksi bisu dari banyak kejadian yang sudah terlupakan.
Alea Dwi Salsabila
(dalam hati) Kenapa aku merasa seperti ada yang mengawasi?
Dia duduk di bangku paling belakang, jauh dari jendela besar yang menghadap ke halaman. Sudah beberapa menit, dan meskipun ruang kelas itu cukup penuh dengan mahasiswa lain, Alea merasa seperti ia berada di ruang yang terisolasi. Ada ketegangan yang menggantung di udara, sesuatu yang hampir tak bisa dijelaskan.
Dosen masuk, seorang pria berambut pendek dengan kacamata tebal, memperkenalkan diri sebagai Pak Hendra. Suaranya yang monoton mulai mengisi ruang kelas, namun Alea merasa tidak bisa fokus. Matanya terus melirik ke sekitar, mencoba untuk mengusir rasa cemas yang menggelayuti dirinya.
Pak Hendra
Baik, kita mulai perkenalan ya. Silakan, sebutkan nama kalian dan jurusan.
Seorang mahasiswa di depan mulai berdiri dan memperkenalkan dirinya. Satu per satu, semua mahasiswa di kelas mengikuti, hingga tiba giliran Alea.
Alea Dwi Salsabila
(berdiri, agak canggung) Alea, dari jurusan Sastra.
Pak Hendra
(mengangguk) Selamat datang, Alea. Semoga kalian betah di sini.
Alea kembali duduk dan melipat tangannya di meja. Matanya masih tidak bisa lepas dari sudut ruangan yang agak gelap. Di situ, ada sebuah lemari tua yang tampaknya tidak pernah dibersihkan. Beberapa buku berserakan di atas meja, namun tak ada yang benar-benar menarik perhatian Alea selain bayangan yang baru saja melintas.
Alea Dwi Salsabila
(berbisik pada dirinya sendiri) Apa itu tadi?
Ia terdiam, mencoba meyakinkan dirinya bahwa itu hanya halusinasi. Namun, saat ia menoleh, bayangan itu kembali melintas di sudut pandang matanya, kali ini lebih jelas. Bayangan hitam itu bergerak dengan cepat di belakang lemari, seolah menghindari cahaya.
Alea Dwi Salsabila
(mencoba berpikir rasional) Mungkin hanya bayangan dari pohon di luar jendela...
Namun, rasa itu tak hilang. Suasana kelas yang tampaknya biasa saja mulai terasa mencekam. Bahkan suara Pak Hendra seakan semakin jauh terdengar, seolah Alea berada di dunia yang terpisah dari kenyataan.
Tiba-tiba, sebuah suara bisikan terdengar begitu jelas di telinga Alea, seolah datang dari dalam ruang kelas, namun tak ada siapa-siapa yang berbicara.
Suara Bisikan: "Jangan lupakan aku."
Alea terkejut, hampir melompat dari tempat duduknya. Ia memalingkan kepala dengan cepat, mencari sumber suara itu, namun ruangan itu tetap sunyi. Semua mahasiswa lain tampak sibuk dengan tugas mereka, tidak menyadari apa yang baru saja terjadi.
Alea Dwi Salsabila
(berbisik) Apa yang aku dengar?
Nara, yang duduk beberapa kursi di depannya, menoleh dan tersenyum.
Nara Pramudya Putri
Alea, kamu oke?
Alea Dwi Salsabila
(tersenyum canggung) Iya, cuma sedikit pusing.
Nara Pramudya Putri
(mengernyitkan dahi) Pusing? Kamu nggak demam, kan?
Alea menggelengkan kepala, berusaha menenangkan diri. Mungkin itu hanya kelelahan karena perjalanan jauh, atau bisa jadi hanya imajinasinya yang bekerja terlalu keras. Namun, ada sesuatu yang terus mengganggu pikirannya.
Ketika kelas berlanjut, Alea semakin merasa tidak nyaman. Setiap kali ia mencoba fokus pada penjelasan Pak Hendra, matanya selalu tertarik pada sudut gelap di ruangan itu, tempat bayangan tadi melintas. Dan setiap kali ia melihatnya, bayangan itu semakin nyata.
Tak lama setelah itu, bel tanda waktu istirahat berbunyi. Semua mahasiswa mulai beranjak keluar dari ruang kelas, dan suasana menjadi lebih riuh. Nara mendekat pada Alea dengan ekspresi penuh perhatian.
Nara Pramudya Putri
Alea, kamu nggak apa-apa? Sepertinya kamu kelihatan nggak enak.
Alea Dwi Salsabila
(mencoba tersenyum) Aku... aku nggak tahu. Ada yang aneh di sini.
Nara Pramudya Putri
(heran) Aneh? Maksud kamu gimana?
Alea Dwi Salsabila
(menatap dengan khawatir) Bayangan... aku melihat bayangan bergerak, tapi nggak ada siapa-siapa di sana.
Nara Pramudya Putri
(tertawa, meskipun sedikit cemas) Ah, itu pasti cuma pikiranmu aja. Kampus ini memang terkenal angker, tapi jangan terlalu dipikirin. Banyak yang udah ngerasain kayak gitu.
Alea Dwi Salsabila
Tapi... rasanya nyata, Nara. Bayangannya begitu jelas.
Nara Pramudya Putri
(diam, lalu menepuk bahu Alea) Yah, kalau kamu merasa nggak nyaman, mungkin kita bisa jalan-jalan di luar kampus sebentar. Tadi aku lihat ada kafe bagus, kita bisa ngobrol di sana.
Alea mengangguk, mencoba mengalihkan pikirannya dari hal yang mengganggu. Namun, seiring mereka berjalan keluar kelas, perasaan aneh itu kembali menghampirinya. Ada sesuatu di luar sana yang belum ia pahami, dan ia merasa semakin dekat dengan jawaban yang menakutkan.
---
Di luar kelas, di sepanjang koridor kampus yang sepi, Alea dan Nara berjalan menuju pintu keluar.
Alea Dwi Salsabila
(memperhatikan setiap sudut koridor dengan hati-hati) Nara, kamu yakin tempat ini aman?
Nara Pramudya Putri
Kenapa? Tadi nggak ada yang aneh, kan?
Alea Dwi Salsabila
Aku nggak tahu. Rasanya ada yang mengawasi.
Nara Pramudya Putri
(berhenti sejenak dan menoleh ke Alea) Yah, mungkin kamu cuma merasa kesepian. Semua orang di sini udah biasa, kok.
Namun, saat mereka melangkah lebih jauh, Alea merasa ada sesuatu yang mengikuti mereka. Bayangan yang bergerak lebih cepat daripada mereka, menyusuri dinding, melintas di ujung koridor. Saat Alea berbalik, ia hanya melihat lorong yang kosong.
Alea Dwi Salsabila
Nara, aku—
Tiba-tiba, Nara berhenti berjalan dan menatap ke depan dengan ekspresi bingung.
Nara Pramudya Putri
Apa itu?
Alea mengikuti arah pandang Nara dan melihat sebuah lukisan besar di ujung koridor. Lukisan itu menggambarkan seseorang yang tampak sedang duduk di kursi, menatap lurus ke depan dengan mata yang kosong. Tapi, ada yang salah. Matanya tampak bergerak, mengikuti mereka.
Alea Dwi Salsabila
(berbisik) Ini... nggak mungkin.
Nara Pramudya Putri
(terkejut) Lukisan itu... nggak pernah bergerak sebelumnya.
Alea Dwi Salsabila
(menatap Nara dengan cemas) Apa maksudnya?
Nara Pramudya Putri
Aku nggak tahu. Tapi kita harus keluar dari sini sekarang juga.
Namun, sebelum mereka bisa berbalik, sebuah suara bisikan kembali terdengar jelas di telinga Alea.
Suara Bisikan: "Kau tidak akan pernah pergi."
Alea Dwi Salsabila
(berteriak pelan) Apa itu?! Nara, kita harus pergi!
Nara hanya terdiam, wajahnya pucat. Mereka berdua berlari menuju pintu keluar, namun perasaan aneh itu semakin kuat. Bayangan itu semakin nyata, semakin dekat, dan Alea tahu... ada sesuatu yang sangat gelap dan terlarang di kampus ini.
Comments