Vanya sampai ke puncak setelah berjalan hampir tiga jam.
Dia bersembunyi di balik batu besar, memerhatikan dengan seksama empat sosok yang muncul di udara. Salah satunya tampak berdiri sendiri menghadapi tiga lainnya yang tampak lebih ganas. Ketegangan jelas terasa di udara, dan meskipun matanya tertuju pada pertarungan, Vanya tidak menyadari bahwa Arka, kakaknya, sudah berdiri di belakangnya, mengamatinya dengan cermat.
"Yang mulia pangeran, lebih baik Anda menyerah daripada bertarung sia-sia," ujar salah satu dari tiga sosok itu, suaranya penuh ancaman.
"Benar," suara lainnya ikut bergema. "Sudah tiga hari Anda bertahan melawan kami. Berlarian saat pagi dan siang, lalu tertangkap saat malam. Bukankah itu memalukan?" Mereka tertawa sinis, seolah meremehkan perjuangan sang pangeran.
Pemimpin dari tiga orang itu bicara dengan serius, "Pangeran, kematian yang mudah lebih baik daripada mati setelah tersiksa."
Pangeran muda yang tampak lelah itu mengangkat wajahnya, menatap dengan mata tajam. "Menyerah? Apa kalian tidak takut murka Ayahanda Maharaja?" Tanyanya dengan nada penuh tantangan.
Mereka tertawa lebih keras lagi. "Yakinlah, Maharaja tidak akan mengetahui apa yang terjadi di sini," jawab mereka dengan penuh keyakinan, seolah keberadaan Maharaja tidak menghalangi mereka.
Pangeran muda itu menggerakkan giginya.
Apakah dia akan berakhir disini...
Dia bahkan belum berbakti pada ibu dan ayah yang melahirkannya.
Bagaimana dia harus menemukan bibinya, adik ayahnya yang mempertaruhkan segalanya untuk membuat ayahnya duduk di tahta.
Ada senyum pahit di wajah pangeran muda.
Sepertinya dia terlalu usil.
Jauh dibawah mereka berdiri diatas tanah, Vanya merasakan ketegangan yang semakin membuncah di udara.
Apa yang sedang terjadi?
Siapa orang-orang ini?
Mengapa mereka terasa begitu berbahaya?
Sepertinya bencana yang menghancurkan Desa Sawentar benar-benar bukan bencana alam biasa.
Sementara itu, di sisi lain, pertarungan kembali dimulai. Pangeran muda berusaha bertahan, meski jelas dia mulai kewalahan.
Kilatan cahaya dari pedang para penjahat membelah kegelapan, menyisakan percikan api yang seolah menerangi niat kejam di wajah mereka. Nafas pangeran muda terengah-engah, luka di lengannya membuat setiap gerakannya terasa seperti disayat pisau. Tapi dia tetap berdiri, matanya penuh tekad, sementara suara tawa dingin dari musuhnya menggema di sekitarnya seperti lonceng kematian
Tiba-tiba, salah satu dari tiga sosok itu menyelinap untuk menyerang, dan pangeran yang disudutkan oleh dua orang tidak menyadarinya. Dia lengah. Dalam sekejap dia jatuh, tubuhnya terjerembab ke arah batu besar tempat Vanya bersembunyi.
Lokasinya jatuh membuat Vanya dan kakaknya terjebak dalam situasi berbahaya. Ketiga Sangkan Paraning itu tidak tinggal diam. Dengan perlahan, mereka menyebarkan aura gelap yang membuat manusia biasa tak mampu berkutik, seperti terperangkap dalam cengkeraman kengerian yang tak terlihat.
"Bagaimana bisa ada dua tikus menyelinap di sini," ujar salah satu dari mereka dengan nada mengejek, senyum dinginnya membuat bulu kuduk berdiri. Pangeran yang terjatuh hanya bisa terperangah melihat Vanya dan Arka berdiri di dekatnya, wajah mereka penuh ketegangan.
Pangeran muda, dengan wajah cemas, menatap mereka. "Kalian... pergi. Lari sekarang juga!" serunya, suaranya gemetar meski mencoba terdengar tegas. Ada kekhawatiran mendalam dalam matanya.
Namun, tubuh Vanya menolak bergerak. Ditekan oleh aura yang pekat seperti kabut hitam, dia merasa seolah-olah tubuhnya dililit rantai tak kasat mata. Keringat dingin mengalir deras di pelipisnya, sementara udara seakan menghilang dari paru-parunya. Rasanya seperti dikepung tembok tinggi yang merapat perlahan, menghancurkan keberaniannya sedikit demi sedikit.
‘Kenapa... aku tidak bisa bergerak?’ pikirnya panik, matanya mulai basah oleh air mata yang menggenang tanpa bisa ditahan. Tubuhnya gemetar, jari-jarinya kaku, bahkan sekadar membuka mulut untuk berbicara terasa seperti tugas mustahil.
Aura itu bukan hanya menekan tubuh, tetapi juga menusuk pikirannya. Gema tawa licik ketiga penjahat itu seperti lonceng kematian yang berdentang di kepalanya.
Pangeran muda melangkah maju, meskipun tertatih oleh luka-lukanya. "Hentikan! Jangan lukai mereka! Mereka tidak ada hubungannya dengan ini!" teriaknya, suaranya penuh ketegasan meski jelas dia tak mampu melawan ketiganya.
Salah satu penjahat meliriknya dengan seringai kejam. "Mereka sudah berdosa hanya dengan berada di sini," katanya dengan nada yang tenang namun mematikan. "Bukankah kamu sangat mencintai rakyatmu? Mari kita lihat bagaimana rasanya melihat mereka mati di depan matamu."
Vanya hanya bisa menatap mereka dengan mata yang penuh rasa takut, tak mampu melawan tekanan yang terus menghancurkan semangatnya. Dalam hatinya, dia ingin melarikan diri, tetapi tubuhnya terasa seperti milik orang lain.
"TIDAAAKKKK!!!" Pangeran muda berteriak keras, suaranya menggema di tengah hutan yang sunyi. Matanya terbuka lebar, penuh ketakutan dan penyesalan yang menusuk hatinya.
Jika saja dia tidak berhenti di gunung ini.
Jika saja dia tidak lengah saat menghadapi mereka.
Jika saja dia lebih kuat!
Perasaan bersalah itu menghantamnya tanpa ampun. Tubuhnya bergetar, namun di tengah keputusasaan itu, gelombang tekad mengalir dalam dirinya. Dia harus melindungi rakyatnya, bagaimanapun caranya.
Tepat saat salah satu dari penjahat itu mengayunkan pedangnya ke arah gadis kecil di hadapannya, pangeran muda mencoba bangkit. Namun, meski dia telah berdiri, gerakannya terlambat. Dia hanya bisa menyaksikan dengan mata terbelalak saat pedang itu meluncur cepat menuju Vanya.
Vanya, yang tubuhnya lemas oleh rasa takut, hanya bisa menutup matanya rapat. Udara dingin dari bilah pedang itu seolah menyayat kulitnya bahkan sebelum menyentuhnya. Dalam detik itu, dunia terasa berhenti. Napasnya tertahan, dan rasa putus asa menyelimutinya.
Ctassh
Sebuah suara keras memecah keheningan. Pedang itu terhenti, tak sampai menebas tubuhnya. Vanya membuka matanya perlahan, air matanya menggenang. Sosok kakaknya berdiri di sampingnya tampak kuat dan dapat diandalkan, tangan kakaknya menggenggam erat pedang itu dengan mudah, seolah senjata mematikan itu hanyalah mainan belaka.
"Seorang Sangkan Rasa tingkat awal, berani menyentuh adikku," ujar Arka dengan suara dingin yang mengintimidasi. Wajahnya tenang, tapi nadanya penuh ancaman mematikan. Tangannya yang menggenggam pedang itu begitu kokoh, seperti gunung yang tak tergoyahkan.
Mata para penjahat melebar, mereka tak percaya dengan apa yang mereka lihat. Hawa dingin yang menusuk tiba-tiba mengalir di sepanjang punggung mereka. Intuisi mereka berteriak keras: Lari! Pergi dari sini sebelum terlambat!
Vanya masih terdiam, air matanya mengalir deras. "Kak...ka...kak Arka?" suaranya gemetar, tubuhnya masih diselimuti rasa takut. Dia menangis, bukan hanya karena ngeri, tapi juga lega.
Arka, yang awalnya berniat hanya memperingatkan para penjahat itu, mengubah pikirannya saat melihat adiknya menangis. Ekspresinya sedikit melunak, tetapi nada suaranya dingin. "Seekor tikus benar-benar berani membuat adikku menangis," katanya sambil mendesah malas. Meski begitu, tatapannya tajam, cukup untuk membuat nyali siapa pun ciut.
"Tuan, kami tidak tahu tingginya gunung, kami tidak bermaksud mengganggu, tolong ampuni kami!" salah satu penjahat memohon, wajahnya pucat pasi. Penjahat lain mulai mundur perlahan, dia tidak lupa mengingatkan temannya dengan matanya untuk segera menarik pedang dan pergi bersama.
Penjahat yang pedangnya dipegang Arka sebenarnya juga ingin pergi, melarikan diri. Tapi bagaimana dia pergi ketika anak muda yang terlihat pemalas dan lesu ini menggenggam pedangnya dengan kuat. Dia sudah berusaha melepaskannya sejak tadi, tapi gagal. Pedang itu tak bergeming seolah telah menyatu dengan tangan Arka.
Dia memiliki pilihan untuk meninggalkan pedang, tapi demi apapun, pedang ini adalah sebuah pusaka keluarga yang dia dapatkan dengan susah payah.
"Oh," gumam Arka, suaranya datar, tapi matanya memancarkan ketidaksabaran. Dia menutup mata Vanya dengan tangannya yang bebas. "Jangan lihat," bisiknya lembut. Lalu dia bersiul dengan tiga nada naik yang cukup merdu.
Namun dalam kegelapan malam, tidak ada burung yang menyahut siulannya.
Tiba-tiba, sebuah bayangan hitam muncul dari balik tubuh Arka. Bayangan itu melesat cepat, melingkupi ketiga penjahat tanpa ampun. Dalam sekejap, mereka menghilang tanpa suara, bahkan tanpa sempat berteriak.
Pangeran muda yang menyaksikan semua itu hanya bisa membeku. Keringat dingin membasahi tubuhnya, kakinya terasa seperti tertancap di tanah. Para penjahat tadi berada di level yang sama dengannya. Selama ini, dia hanya bisa bertahan karena artefak dan jimat pelindungnya. Namun, orang di depannya ini? Dia menghabisi mereka tanpa usaha berarti.
Pergi? Lari?
Apa yang sudah dia katakan pada orang kuat ini.
Akan lebih baik jika mereka bisa mengampuni hidupnya!
Pangeran muda yang tidak pernah mengenal rasa takut atau penyesalan selama hidupnya sekarang merasa penyasalan yang sangat besar!
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 23 Episodes
Comments