Simon sudah resmi menjadi siswa kelas X di SMA Al-Hikmah, Sekolah Islam Internasional milik pamannya.
Namun, tidak ada yang istimewa baginya.
Sejujurnya Ia merasa sangat risih dan tertekan.
Setiap langkahnya di koridor terasa diawasi oleh pasang mata yang berlebihan. Ia masuk sekolah full day, bukan asrama, tetapi aura Simon menarik perhatian seluruh angkatan.
Di sudut kantin yang ramai, sekelompok siswi berjilbab yang mayoritas dari kelas XI berbisik-bisik sambil mencuri pandang ke arah Simon yang baru saja lewat, langkahnya cepat dan pandangannya lurus ke depan.
“Sumpah demi apa, ada cowok seganteng itu masuk sekolah Islami?”
“Gantengnya pas banget, enggak kurang, enggak berlebihan. Adem banget kalau dipandang lama-lama,” balas siswi lainnya.
“Pembawaannya kalem banget. Pasti dia ini hafalannya banyak. Wajahnya bercahaya, enggak pernah lepas wudhu,” timpal yang lain, penuh kekaguman.
Simon sendiri hanya ingin cepat-cepat sampai ke kelas. Di telinganya, bisikan-bisikan itu terasa seperti polusi suara yang mengganggunya fokus—fokus pada janjinya dan fokus pada Maria.
di Ruang TU
"Anak-anak pada heboh ngomongin anak kelas X yang baru itu, Bu. Sampai pusing saya lihatnya,” ucap Pak Haris, Kepala Tata Usaha, pada Bu Siti, salah satu guru senior.
Bu Siti mengernyit. “Oh ya? Siapa memangnya, Pak? Anak pindahan?”
“Dia Simon, Bu. Keponakan langsung Pak David, adiknya Ketua Yayasan kita. Baru masuk Kelas X.”
Mata Bu Siti membesar.
“Keponakan Ketua Yayasan? Aduh, semoga saja sifanya tidak seperti Darren.”
Darren, sepupu Simon, sudah dikenal seantero sekolah. Kelas XII, Ketua Ekskul basket, tampan, berprestasi, tetapi terkenal semau gue dan suka menindas anak-anak dari kelas bawah.
Simon baru saja tiba, tetapi namanya sudah dikaitkan dengan konflik lama.
***
Di Kelas X-A, suasana pemilihan Ketua Kelas terasa tegang.
“Baik anak-anak, kita adakan pemilihan langsung. Keluarkan kertas dan tulis satu nama,” ujar Pak Burhan, wali kelas mereka.
Setelah penghitungan, Pak Burhan menyebut tiga nama: Cintia, Simon, dan Raffi. Mereka bertiga dipanggil ke depan.
“Ini penting, anak-anak,” jelas Pak Burhan.
“Biasakan berdemokrasi. Karena selain Ketua Kelas, nanti akan ada Ketua Angkatan, Ketua OSIS, dan Ketua Ekskul. Silakan sampaikan visi misi. Kita mulai dari Cintia.”
Seorang gadis berjilbab besar melangkah ke depan.
Suaranya lembut namun tegas.
“Assalamualaikum teman-teman. Saya mengundurkan diri. Selama masih ada sosok lelaki yang baik dalam hal kepemimpinan, maka berikanlah kepemimpinan itu kepadanya. Jika diizinkan, saya hanya ingin menjadi Bendahara kelas.”
"Terima kasih, Cintia. Permintaanmu kami pertimbangkan. Selanjutnya Raffi,” jawab Pak Burhan.
Raffi maju dengan malas.
"Assalamualaikum teman-teman. Saya juga tidak berniat jadi Ketua Kelas. Simon sudah jadi Ketua OSIS di SMP-nya, dia pasti lebih tahu. Langsung Simon saja, Pak."
Simon maju. Ia tidak terlihat bangga, tetapi terlihat strategis.
“Assalamualaikum teman-teman. Terima kasih atas kepercayaannya. Namun, ada beberapa hal yang harus kita sepakati di kepemimpinan saya ini,” Simon memulai, nadanya tenang dan berwibawa.
Ia menjelaskan tiga poin singkat:
kedisiplinan (sesuai aturan sekolah), keuangan (kas kelas yang berjalan), dan Kekeluargaan (berprestasi boleh, tapi harus suportif).
Ia kemudian menoleh ke Pak Burhan.
“Untuk Pak Burhan, saya mohon bantuan dalam hal pendisiplinan. Sebelum Bapak menegur langsung teman saya, sampaikan dulu kepada saya. Biarkan saya membereskan permasalahan teman saya secara internal terlebih dahulu.”
Pak Burhan mengangguk, kagum di dalam hati. Anak ini baru kelas X, tetapi kemampuan kepemimpinannya melampaui usianya.
“Baiklah, bagaimana yang lainnya? Setuju?”
“SETUJUUU!”
Prokprok. Suara tepuk tangan menggelegar. Simon kembali duduk. Ia segera mengeluarkan Ipad-nya dan mulai mencatat struktur kepengurusan.
Di belakang, siswi-siswi berbisik kagum. “Udah ganteng, tajir, keren, cool lagi! Calon imam idaman nih!”
***
Sementara Simon mulai menata otoritasnya di lingkungan baru, Maria sedang menjalani masa yang jauh lebih tegang di SMP.
Maria terpilih sebagai satu dari enam anggota tim Indonesia untuk IMO (International Mathematical Olympiad) di Tokyo, Jepang.
Karantina akan dimulai minggu depan. Ini adalah pencapaian luar biasa, tetapi Simon belum mengetahui hal itu.
Komunikasi mereka memang sangat jarang.
Jadwal sekolah Simon yang padat dan disiplin ketat membuatnya sulit memegang ponsel. Maria sendiri terlalu fokus pada seleksi dan pelatihan intensif.
Maria menatap layar ponselnya. Ia akhirnya memberanikan diri. Berita sebesar ini tidak bisa disampaikan lewat chat biasa.
"Ada yang mau Maria sampaikan. Bisa Kak Mon ke rumah hari ini?"
Pesan itu ia kirim kepada kekasihnya, Simon. Ia hanya bisa berharap, di tengah kesibukan dan popularitas barunya, Simon masih punya waktu untuknya.
________________________________________
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments