Pacaran mereka? Jauh dari kata romantis ala sinetron.
Setiap kencan selalu didampingi oleh supir dari keluarga Hadinata. Tetapi bagi Simon dan Maria, ini adalah keuntungan, karena setidaknya mereka bisa bersama.
Simon membuktikan janjinya pada Briyan: ia tidak pernah mengajak Maria ke tempat yang melanggar batas, dan selalu memastikan Maria fokus pada sekolah.
Simon, yang pintar Matematika dan Fisika, dengan senang hati menjadi guru privat dadakan Maria.
Di meja belajar Maria, buku-buku berserakan.
"Mar, coba lihat soal yang ini," ujar Simon sambil menunjuk deretan angka di buku PR Maria.
"Kamu salah di sini."
Maria mendengus pelan, wajahnya memerah karena malu.
"Aku benci banget sama logaritma! Angka-angka ini bikin pusing!"
Simon menarik buku itu, menatap Maria dengan serius.
"Dengar. Kamu enggak benci logaritma. Kamu cuma takut tantangan."
Maria menunduk. Ia memang merasa canggung jika harus menghadapi hal yang sulit.
Simon melanjutkan, suaranya kini lebih meyakinkan, "Kamu pintar, Mar. Sangat pintar.
Aku tahu itu. Lihat caramu menyelesaikan aljabar tadi; itu bukan cuma hafalan, itu jalan pikiran yang cepat."
Ia menyentuh tangan Maria pelan.
"Aku nggak mau potensi kamu sia-sia. Janji kita ke Om Iyan itu termasuk janji untuk menemukan kemampuan terbaikmu."
Maria menatap Simon, matanya sedikit berbinar.
Tidak ada yang pernah bicara tentang potensi atau jalan pikirannya dengannya, hanya tentang nilai yang harus dicapai.
Simon bukan sekadar pacar; ia adalah orang yang menunjuk satu pintu yang tidak pernah Maria sadari keberadaannya. Ia adalah inspirasi yang membuka matanya.
"Baiklah," Maria menjawab pelan, mengambil kembali bukunya. "Ulang dari awal. Kali ini aku janji nggak akan benci lagi."
Simon tersenyum, senyum yang menunjukkan ia menang.
"Bagus. Aku tunggu."
Hubungan mereka memang lebih terasa seperti partnership akademis yang dibalut romansa malu-malu remaja.
Di ambang pintu, Briyan bersandar. Ia tidak berniat menguping, tetapi ia ingin memastikan bahwa perjanjiannya ditepati.
Ia melihat Simon yang tidak mengomel, tidak memarahi, melainkan memotivasi putrinya dengan kata-kata yang begitu mendalam.
Bibir Briyan sedikit terangkat.
Anak ini memang menjaga janjinya.
Briyan merasa lega. Dia telah mendapatkan bukan hanya pacar, tetapi mentor untuk putri kecilnya. Ia menarik diri perlahan, membiarkan dua remaja itu tenggelam dalam deretan angka yang kini tidak lagi dibenci Maria.
****
Waktu berjalan tanpa kompromi.
Simon kini berada di kelas IX dan kesibukannya sebagai Ketua OSIS angkatan akhir semakin memuncak, terutama menjelang acara-acara besar.
Maria, yang sekarang duduk di kelas VIII, merasakan dampaknya.
Hubungan mereka mulai diuji oleh jarak waktu.
Suatu sore, Maria sudah selesai dengan lesnya. Ia menunggu Simon di lobi sekolah, tepat di samping pot bunga besar.
Dari lantai dua koridor, ia melihat Simon.
Simon sedang berdiri bersama wakil ketua OSIS, seorang gadis cerdas bernama Tania, di depan papan pengumuman.
Mereka tampak akrab. Tawa Tania terdengar nyaring.
Simon tersenyum lebar, gesturnya terasa santai saat mereka berdua menunjuk-nunjuk banner acara yang sama.
Perut Maria tiba-tiba terasa dingin.
Itu bukan cemburu dewasa, tetapi cemburu lugu khas remaja yang merasa haknya sebagai pacar diabaikan.
Kenapa Kak Simon terlihat lebih rileks dan bahagia saat bicara dengannya daripada denganku? batin Maria. Ia selalu takut menjadi penghalang di antara kesibukan Simon.
Ketika Simon akhirnya turun dan menghampirinya, wajahnya terlihat lelah namun penuh semangat kerja.
"Maaf ya, Sayang. Lama banget. Banyak banget yang harus diselesaikan untuk Class Meeting,"
Simon berujar sambil mengacak rambut Maria.
Maria hanya mengangguk pelan.
Ia tidak mau menatap Simon.
"Iya, nggak apa-apa."
"Kamu kenapa? Ada masalah sama Fisika lagi?" tanya Simon, mencoba bercanda.
Maria menarik napas.
Ia seorang introvert, tapi Simon telah membuatnya berani. Protes ini harus keluar.
"Kakak terlalu sibuk." Ia berbicara dengan nada rendah, namun terdengar menusuk.
"Kakak selalu bareng Kak Tania. Aku di sini cuma jadi pajangan yang Kakak antar jemput, ya?"
Simon terkejut.
Ia tahu Maria tidak akan pernah berdebat tanpa alasan yang kuat. Ia tahu Maria tidak cerewet.
Ia meraih kedua tangan Maria.
"Astaga, Maria. Aku sama Tania cuma bahas budget dan perlengkapan, Mar. Dia cuma rekan kerja, partner OSIS. Kamu tahu kan, aku cuma sayang sama kamu."
Ia menatap mata Maria, tatapan yang selalu jujur.
"Jangan cemburu sama hal yang nggak penting. Tugas kamu sekarang adalah fokus di seleksi tim, dan percaya sama aku, ya?" Simon meyakinkan.
Maria terdiam. Ia merasa malu, menyadari protesnya didasari rasa cemburu kekanak-kanakan. Namun, ia juga merasa lega. Simon tidak marah, Simon mengerti.
Ia mengangguk.
"Aku percaya, Kak."
Konflik pertama itu berakhir dengan janji dan kepercayaan yang lebih kuat. Mereka berhasil melewatinya dengan kedewasaan yang melebihi usia mereka.
Simon baru saja menyelesaikan Ujian Nasional dan berhasil masuk SMA. Maria kini duduk di Kelas IX, menghadapi tahun terakhirnya di SMP.
Di taman kota, di kursi yang tersembunyi—kencan terakhir mereka sebelum tahun ajaran baru dimulai—Simon dan Maria berbagi es krim. Suasana terasa sunyi dan berat. Simon akan masuk Sekolah Islam Internasional milik pamannya, David, sebuah sekolah full day dengan disiplin yang ketat, meski ia tidak mengambil asrama.
"Kakak benar-benar akan ke sekolah Islam yang Om David itu?" tanya Maria pelan.
Ia sudah tahu jawabannya, tapi ia perlu mendengar Simon mengucapkannya.
"Iya, Sayang. SMA Al-Hikmah namanya. Sekolahnya sangat fokus pada kurikulum Islami dan Internasional," jawab Simon.
"Aku harus lebih disiplin di sana. Aku akan lebih jarang pegang ponsel."
Maria menatap tangannya yang memegang es krim. Ini adalah ketakutan terbesarnya: Simon akan berubah.
"Aku pasti usahakan masuk SMA yang sama tahun depan," kata Maria, suaranya tercekat.
"Tapi... nanti di SMA, Kakak pasti ketemu banyak cewek baru. Yang lebih pintar, yang lebih rajin ibadahnya, yang lebih seru dari aku. Aku takut, Kak." Maria akhirnya menyuarakan rasa takutnya yang paling mendasar.
Simon memajukan tubuhnya, meraih kedua tangan Maria di atas meja.
"Dengarkan aku, Maria Anastasya." Ia menggunakan nama lengkap Maria hanya saat ia sangat serius.
"Lingkunganku akan berubah. Tapi hatiku tidak. Aku ke sana bukan untuk mencari yang lain, tapi untuk menjaga janji yang aku buat di depan Ayahmu. Janji itu bukan hanya soal nilai, tapi soal menjadi pribadi yang lebih baik dan pantas menjagamu."
Ia menatap Maria dalam-dalam.
"Aku akan menunggumu di SMA Al-Hikmah, ya? Satu tahun itu sebentar, kalau kita sama-sama percaya."
Maria mengangguk, senyum tulusnya muncul di tengah kecemasannya.
Di bawah pohon rindang itu, janji mereka menjadi tumpuan bagi satu tahun penantian yang akan segera dimulai.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments