Ron meneguk teh yang disediakan Sofia. Tangan Lia, ibu Simon, menggenggam tangan putranya yang sedari tadi menunduk di sofa.
Udara di ruang tamu Hadinata masih terasa berat.
“Aku juga tidak menyangka dia benar-benar akan datang padamu dan meminta putrimu menjadi pacarnya,” ujar Ron, mencoba mencairkan suasana.
Simon merasakan panas menjalar di punggungnya. Ia benar-benar gugup, tetapi rasa gugup itu bercampur dengan kekesalan kecil. Ia sudah jujur pada sang ayah bahwa ia menyukai Maria, dan sang ayah yang memintanya untuk mengungkapkan perasaan, dan kini, mengapa ia malah disuruh meminta izin yang terasa seperti sebuah persidangan?
“Sudahlah, Yan. Izinkan saja mereka. Bukankah Maria juga menyukai Simon? Mereka saling menyukai,” Ron meyakinkan Briyan.
Briyan menghela napas. “Aku tahu. Maria sudah bercerita. Anakmu juga baik. Hanya saja aku takut mereka tidak fokus belajar dan malah fokus pacaran. Aku ingin Maria berprestasi seperti ibunya dulu.”
Ron menatap putranya, pandangannya tegas namun mendukung.
“Simon, bisakah Papa minta komitmenmu dalam hal ini?” Ron berhenti sejenak.
“Angkat kepalamu. Jangan rendahkan harga dirimu. Tunjukkan bahwa kau layak untuk menjaga putri satu-satunya mereka.”
Seketika, Simon menegakkan bahunya. Ia mengangkat kepalanya, menatap lurus ke arah Briyan.
Kekesalan kecilnya berubah menjadi tekad.
“Iya Om,” jawab Simon lantang.
“Saya janji akan selalu menjaga Maria, dan akan tetap fokus belajar walau kami berpacaran. Di depan Papa, Mama, Om, dan Tante, saya janji dan kalian bisa memegang janji saya.” Simon menatap penuh keyakinan, suaranya mengandung janji seorang remaja yang sedang jatuh cinta.
Briyan kagum. Keberanian dan ketegasan bocah 13 tahun ini adalah hal yang langka. Sebenarnya, sejak Simon memutuskan datang ke rumah ini, Briyan sudah sadar bocah ini istimewa. Keputusan untuk memanggil Ron tadi hanyalah reaksi kaget seorang ayah, namun setelah berpikir jernih, ia tak mau melewatkan calon menantu yang begitu berani dan lugas ini.
“Baiklah, Om izinkan,” ungkap Briyan akhirnya. Matanya beralih dari Simon ke Ron. “Tapi Ron, aku ingin kau memberikan edukasi dan batasan kepada anakmu, apa yang boleh dan tidak boleh dilakukan oleh anak remaja seusia mereka. Kau urus anakmu, dan aku urus anakku. Dengan begitu, kita bisa sama-sama menjaga mereka. Kau mengerti maksudku, kan?”
Ron mengangguk, mengerti sepenuhnya. “Aku mengerti. Tentu saja aku juga tidak mau terjadi hal buruk pada anak-anak kita. Kita akan sama-sama menjaga mereka.”
Simon mengembuskan napas lega.
Ketegangan yang mencekiknya selama seminggu terakhir—bertemu Maria diam-diam, mengobrol sembunyi-sembunyi—langsung terlepas. Kini, ia bisa dengan leluasa mengajak Maria jalan, walau hanya ditemani supir.
Esoknya di sekolah
“Jadi, semalam Kak Simon ke rumah lo dan minta izin buat pacaran sama lo?” Prita terkejut, matanya membulat.
Maria mengangguk senang. “Iya. Terus dia juga bawa orang tuanya. Akhirnya Papa setuju!”
Saat itulah, bayangan sosok tinggi muncul di depan pintu kelas. Simon, dengan jaket OSIS yang rapi, berjalan menghampiri mereka.
Di tangannya, ada dua botol minuman dingin yang tampak menggiurkan.
Maria merasakan pipinya langsung menghangat. Walau sudah resmi, jantungnya selalu berdebar tak karuan setiap Simon muncul. Inilah salah satu alasan ia malu-malu—ia takut Simon mendengar detak jantungnya.
“Hai, Mar,” sapa Simon. Senyumnya lebih lebar dan rileks dari biasanya.
Ia memberikan salah satu minuman itu pada Maria. “Aku bawain kamu minuman. Kamu udah makan?”
Maria menerimanya. Jari-jari mereka sempat bersentuhan, membuat Maria segera menarik tangannya.
“Thank Kak. Aku udah makan, kok. Kakak sendiri?”
“Aku juga sudah,” jawab Simon. Ia lalu membungkuk sedikit, suaranya merendah. “Kata Om Iyan, nanti siang kamu ada jadwal les Matematika. Boleh ku antar?”
Maria terkejut.
“Eh, Papa bilang gitu?” Ia menoleh ke Prita, matanya memancarkan rasa tidak percaya dan sedikit takut.
Simon tersenyum simpul. “Iya. Mulai hari ini aku boleh mengantar jemput kamu. Masih pakai supir, sih.”
“Emang Kakak enggak ada jadwal latihan atau kumpul OSIS?” tanya Maria, mencoba menyembunyikan kebahagiaannya.
“Enggak, hari ini free kok. Justru aku mau manfaatin waktu izin yang susah payah kudapatkan ini,” gurau Simon.
“Oh, baiklah,” Maria akhirnya tersenyum. “Setelah les, aku harus membeli beberapa buku di toko depan. Kakak bisa temani juga, kan?”
Simon mengangguk. “Tentu. Apapun untuk pacarku.” Ia mengulurkan tangan kanannya, mengacak pelan puncak kepala Maria.
Maria terdiam, merasakan kehangatan di ubun-ubunnya. Ia hanya mampu tersenyum kecil—senyum yang penuh rasa syukur dan kelegaan karena impian pacaran yang lugu, manis, dan resmi di mata orang tua, kini menjadi kenyataan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 169 Episodes
Comments
Roxy-chan gacha club uwu
Cepat update dong, seru banget ni ceritanya! 🤩
2024-12-29
1