🍂 Diam-diam, di tempat berbeda…
Aditya duduk diam di ruang kerja pribadinya, namun matanya tak lepas dari layar ponsel yang terhubung dengan cctv rumah. Raina, tengah duduk bersama para pelayan, di taman belakang.
Raina terlihat sangat nyaman dan terhibur.Senyum indahnya tak pernah lepas dari setiap ia berbicara.
Entah kenapa, senyum itu justru membuat dadanya terasa penuh. Ada sesuatu yang bergerak di balik kesombongan dan egonya. Sesuatu yang belum ia pahami sepenuhnya—tapi terasa nyata.
Biasanya, Aditya tak pernah peduli. Raina bisa menangis, mengurung diri, atau pergi sekalipun, dan ia tetap akan melanjutkan harinya tanpa gangguan. Tapi hari ini berbeda. Sejak Raina mengatakan ingin bercerai, perasaan tak rela diam-diam menggerogoti hatinya. Ada yang berubah. Ada ruang kosong yang tiba-tiba terasa begitu lebar di dalam dirinya.
Sebuah senyum tipis, tak sengaja terbit di wajah dinginnya. Senyum lega melihat perempuan itu akhirnya....bisa tersenyum lagi. Ternyata, bahagianya Raina bisa membuat hatinya tenang, meski dirinya sendiri belum bisa menjelaskan mengapa.
“Tuan.”
Suara Dika, sang asisten, membuyarkan lamunannya. Aditya sedikit terlonjak, kesal karena kenyamanan batinnya terusik.
“Kau mau cari mati, ya?” dengus Aditya sembari nyaris melempar dokumen di hadapannya.
“Hehe… Tiga kali saya sudah ketuk pintu, Tuan,” bela Dika, senyum kecil terselip di bibirnya.
“Peraturan tetap peraturan. Kau ingin saya kirim ke pedalaman, hah?”
“Siap salah, Tuan. Atasan selalu benar,” ucap Dika patuh, lalu meletakkan dokumen penting di meja.
Setelah membaca dan menandatangani berkas itu, keduanya pun beranjak menuju restoran mewah untuk pertemuan bisnis. Namun hati Aditya tetap tertinggal di rumah—di kamar tempat seorang perempuan yang kini selalu menghantui pikirannya, duduk dengan mata yang tak lagi berbinar karena dirinya.
🌙 Larut malam…
Malam telah larut. Di luar jendela, suara burung malam bersahutan pelan, mengisi kesunyian dengan irama alam yang menenangkan. Detik jarum jam terdengar jelas, mengisi ruang dengan kesepian yang bersahaja.
Aditya melirik arloji di pergelangan tangan—pukul dua belas lewat. Hatinya tergerak. Tiba-tiba saja, ia ingin tahu… apakah istrinya sudah tidur? Apakah matanya sudah terpejam? Atau masih sembab karena air mata yang tak henti mengalir?
Sebuah keinginan diam-diam menyelinap ke dalam dada: ingin memeluk Raina malam ini. Bukan karena nafsu, bukan karena kuasa—tapi karena rindu yang entah sejak kapan bertumbuh tanpa ia sadari.
“Tidak salah, bukan? Toh aku ini suaminya…” gumamnya lirih, seperti membenarkan langkah kakinya yang mulai melangkah keluar dari ruang kerja.
Perlahan, ia membuka pintu kamar Raina tanpa suara. Dan di sanalah ia melihat pemandangan yang membuat langkahnya terhenti.
Raina tertidur pulas, terlelap dalam damainya malam. Wajahnya yang biasanya dipenuhi amarah dan tangis, kini terlihat tenang—rapuh namun indah dalam kesederhanaan tidur. Untuk sesaat, waktu terasa berhenti. Dunia mengecil hanya pada satu titik: sosok perempuan itu.
Dengan pelan, Aditya mendekat. Ia naik ke ranjang, duduk di sisi Raina, lalu menyibak helai rambut yang menutupi wajahnya. Gerakannya begitu lembut, seolah takut membangunkan bulan yang sedang bersembunyi.
Ia lalu masuk ke balik selimut yang sama. Tak ada pelukan, tak ada kata. Hanya diam yang terasa hangat, hanya kebersamaan yang sunyi namun menggetarkan. Di bawah cahaya lampu tidur yang temaram, Aditya menatap langit-langit kamar dengan perasaan yang sulit dijelaskan.
Dan malam itu—untuk pertama kalinya setelah bertahun- tahun insomnia menghantuinya—Aditya bisa kembali tidur nyenyak. Bukan karena lelah. Tapi karena di sisinya, ada seseorang yang diam-diam mulai ia rindukan, mulai ia butuhkan... dan mungkin, mulai ia sukai.
🌅 Adegan Pagi Hari – Kamar Tidur Aditya & Raina
Raina membuka matanya perlahan. Pandangannya masih kabur, tapi ia bisa merasakan hangatnya sesuatu yang ia peluk erat sepanjang malam.
Awalnya ia mengira itu guling...
Namun saat matanya benar-benar terbuka, ia tersentak pelan.
“Astaga…” bisiknya, panik.
Yang ia peluk bukan guling... tapi dada bidang suaminya sendiri—Aditya.
Selama dua tahun menikah, pria itu nyaris tak pernah menyentuh kamarnya. Bahkan sapaan pun lebih sering terdengar seperti perintah. Tapi pagi ini, ia justru mendapati dirinya tidur memeluk lelaki itu… seolah mereka sepasang pengantin baru.
Raina buru-buru membungkam mulutnya sendiri, nyaris saja ia menjerit. Ia menggeliat pelan, berusaha menarik diri, berharap Aditya masih terlelap.
Sayangnya...
“Sudah sadar dari tadi?” suara berat itu terdengar—datar, namun entah kenapa terdengar hangat di telinganya.
Sebelum sempat Raina menjauh, tangan Aditya menarik pinggangnya, membuat tubuhnya kembali jatuh tepat di atas dada pria itu.
Raina (merah padam):
“Mas! Apa-apaan sih! Lepas...”
Aditya (santai, mata masih setengah terpejam):
“Jangan gerak terlalu banyak. Mas belum siap ditendang dari tempat tidur.”
Raina (meronta pelan, panik):
“Mas tidur di sini semalaman?! Kenapa gak bilang? Kan bisa... saya... pindah kamar... atau... ya... Mas yang—”
Aditya (menatapnya dengan satu alis terangkat):
“Kenapa? Takut jatuh cinta?”
Raina (membelalakkan mata):
“Siapa juga yang jatuh cinta? Mimpi!”
Aditya (tersenyum tipis, suaranya pelan):
“Sayang sekali... padahal pelukannya cukup erat. Sampai Mas susah gerak semalaman.”
Raina (menutup wajah dengan tangan):
“Aaaah Mas Adit! Hentikan... jangan dibahas!”
Aditya tertawa pelan. Suara tawanya dalam dan jarang terdengar—hampir asing bagi Raina. Tapi di pagi yang sunyi itu, suara itu justru menenangkan.
Aditya (menarik tangan Raina perlahan):
“Lain kali, kalau mau peluk, bilang saja. Tak perlu pura-pura tidur.”
Raina (cemberut, tapi matanya tak bisa menyembunyikan malu):
“Mas ini... benar-benar… gila!”
Aditya (menatap wajah Raina yang semakin merah):
“Mungkin. Tapi sayangnya, kau menikah dengan orang gila sepertiku.”
Raina (bergegas bangun menuju kamar mandi)
tak ingin mendengar bualan Aditya.
🛁 di Kamar Mandi –
Aroma lavender dan mawar menguar lembut di udara. Raina membiarkan dirinya tenggelam dalam hangatnya air dan wangi aromaterapi yang ia tuangkan ke dalam bak mandi besar itu. Keletihan yang menggerogoti fisik dan jiwanya seolah menguap perlahan. Saking nyamannya, matanya terpejam, dan tanpa sadar—ia tertidur.
Di luar, Aditya berjalan bolak-balik di depan pintu kamar mandi. Sudah lebih dari setengah jam. Sunyi. Tak ada suara air, tak ada suara dari Raina.
"Raina..." panggilnya pelan, tapi tak ada jawaban.
Aditya mulai panik. Di kepalanya berseliweran pikiran buruk. Ia langsung menekan tombol interkom.
"Bawakan kunci cadangan kamar mandi. Sekarang juga!"
Begitu kunci sampai di tangannya, Aditya langsung membukanya tanpa ragu dan masuk.
Pemandangan yang ia lihat membuat dadanya menegang.
Raina tertidur di dalam bathub, nyaris seluruh tubuhnya tenggelam dalam air berbusa dan wewangian. Bahunya terangkat pelan, nafasnya masih ada—tapi posisinya membuat Aditya langsung panik.
"Raina!" pekiknya sambil berjalan cepat dan mengguncang pelan bahu perempuan itu.
Raina terbangun, matanya membesar seketika, dan...
“Aaaaah!!” jeritnya, lalu buru-buru menenggelamkan diri kembali sambil memeluk dada dengan kedua lengan.
“Kamu GILA ya, Mas!? Ngapain masuk sembarangan!?” Raina panik, wajahnya merah padam.
Aditya, yang sudah basah separuh badan, justru berjongkok dengan wajah kesal.
"Kau yang gila! Aku kira kamu pingsan! Kenapa bisa tidur di air seperti itu?! Mau mati, hah!?"
"Ini bathub, Mas! Aku sedang mandi! Mas gak bisa masuk seenaknya!" Raina memelototinya, masih menutupi tubuhnya.
"Ini rumahku. Kamar mandiku. Istriku. Kenapa aku harus minta izin?" balas Aditya tajam, namun sorot matanya menyiratkan lebih dari sekadar kemarahan—ia benar-benar khawatir.
“Rumah ini memang milikmu. Tapi bukan berarti bisa memperlakukanku se mau mas, "
Aditya menghela napas kasar. Matanya tak lepas dari wajah Raina. Air hangat dan aroma bunga tak mampu menyamarkan ketegangan yang ada.
"Raina... kamu tidak mengerti, ya?" suaranya mulai menurun, terdengar lebih dalam, lebih berat.
"Aku tidak butuh alasan untuk ingin kamu.Kalau Aku mau, aku sudah melakukannya!
Raina terdiam.
Aditya menggenggam pinggiran bathub erat, menunduk sejenak, lalu menatapnya lagi—tatapan tajam, namun ada luka yang dalam di sana.
Suasana sejenak hening. Hanya suara air menetes yang terdengar.
Keduanya saling diam, tapi mata mereka bicara lebih keras daripada kata-kata.
Akhirnya, Aditya berdiri. Ia menarik handuk besar, lalu melemparkannya ke arah Raina—tanpa banyak bicara.
"Pakai itu. Mas tunggu di luar. Kita perlu bicara."
Nada suaranya tetap dingin, tapi kini ada kendali—bukan paksaan.
Raina menghela napas, pelan... dan dalam. Dingin Aditya kadang menyakitkan, tapi hari ini... ia melihat sesuatu yang berbeda: perhatian yang tersamar oleh ego.
Raina keluar dari kamar mandi dengan langkah perlahan. Rambutnya masih basah, dan handuk putih membalut tubuh rampingnya hingga lutut. Embun masih menempel di kulitnya, dingin bertemu udara malam.
Aditya masih duduk di tepi ranjang, dengan punggung tegap membelakanginya. Ia tidak berkata apa-apa, tapi kehadirannya begitu terasa. Diamnya lebih berat dari amarah.
Raina buru-buru berjalan ke lemari, menarik pintu geser dengan hati-hati. Ia hendak masuk ke ruang ganti, namun tiba-tiba...
Sebuah lengan kuat melingkar dari belakang, menariknya perlahan—membuat tubuhnya terhenti di tengah langkah.
“Mas, tolong... jangan seperti ini...” suara Raina nyaris berbisik. Ada ketakutan, ada luka yang belum kering, tapi juga ada rasa yang tak bisa ia sangkal.
Aditya tak menjawab. Ia hanya membalikkan tubuh Raina, menatapnya lurus-lurus. Tatapannya tajam, tapi ada badai yang sedang ia sembunyikan di baliknya.
“Lihat aku,” katanya pelan, namun tegas.
Raina menatapnya... dan sejenak, ia lupa.
Sosok pria itu—dingin, angkuh, tapi begitu nyata di depannya—terlalu dekat. Nafasnya, matanya, dan aroma maskulin yang entah kenapa... tak lagi membuatnya ingin menjauh.
Aditya mengangkat dagunya dengan jemari kasar namun hati-hati. Lalu... menciumnya.
Lembut. Tapi menuntut.
“Mas...” bisik Raina di sela-sela ciuman yang membuat lututnya lemas.
“Cukup. Sekali ini saja... jangan menjauh,” ucap Aditya dengan suara rendah yang nyaris terdengar seperti permintaan—bukan perintah.
Raina memejamkan mata. Hatinya gaduh. Logikanya berkata lari, tapi tubuhnya membeku dalam dekap itu.
Namun sebelum semua menjadi terlalu jauh, Raina menyentuh dada Aditya dengan telapak tangannya—menahan, lembut tapi tegas.
“Mas, kita tidak bisa begini... kalau hanya karena emosi. Bukan karena cinta.”
Aditya menatapnya lama. Nafasnya berat. Ia mengangguk—perlahan—dan melepaskan pelukan itu.Namun hanya seperkian detik selanjutnya Ia menariknya kembali.
Aditya berbisik lembut di telinga Raina.
"Aku mau hak_ku, " ucap Aditya serak dengan tangan yang sudah menjalar kemana-mana.
Raina dengn mata terpejam akhirnya pasrah, dan terjadilah yang seharusnya terjadi pagi itu,.
🕰 Satu minggu kemudian…
Aditya nyaris gila sendiri. Fokusnya buyar, pekerjaannya tertunda, dan pikirannya berkeliaran tak tentu arah—semua gara-gara perempuan yang kini duduk santai di rumahnya, menikmati semilir angin di bawah pohon kamboja.
Aditya (menggerutu pelan di ruang kerjanya):
“Bibir itu... senyum itu... kenapa selalu mengganggu pikiranku?”
Ia menghubungi Raina dua kali. Tidak dijawab. Tak lama, ia menekan tombol interkom dan memanggil kepala pelayan.
Aditya (dingin):
“Bawakan ponsel Raina. Sekarang.”
📞 Di taman belakang mansion…
Raina sedang memejamkan mata saat suara langkah kepala pelayan mendekat.
Kepala Pelayan:
“Nyonya, maaf. Tuan muda menelepon. Tampaknya penting.”
Raina menerima ponsel itu, dan langsung mengangkatnya.
Raina (lembut):
“Halo, Mas? Ada apa?”
Aditya (dingin seperti biasa):
“Ponselmu di mana? Dua kali aku telepon, tidak diangkat.”
Raina:
“Maaf… tertinggal di kamar.”
Aditya:
“Aku tunggu makan siang di kantor. Antarkan sendiri.”
Raina (kaget, mengernyit):
“Mas ingin saya bawakan?”
Aditya (serius, suaranya turun satu oktaf):
“Aku tidak sedang meminta, Raina. Aku sedang memerintahkan.”
Raina :
“Baik, Tuan Aditya. Akan saya antar. Tapi Mas yakin bisa makan dengan tenang kalau saya datang?”
Aditya (diam sejenak, lalu pelan):
“Tidak yakin. Tapi dengan melihatmu… setidaknya bisa sedikit meredam kegilaan dalam pikiranku.”
Raina (menahan senyum, hangat di dada):
“Baik, tunggu saya. Saya bawakan rendang dan sayur asam.”
Aditya (mendekatkan ponsel ke telinga, nadanya lebih dalam):
“Dan jangan lupa senyum itu. Karena hari ini... aku butuh alasanku untuk pulang.”
🌹 Notte:
Kadang cinta tidak hadir dalam bentuk kata-kata manis, tapi dalam bentuk perhatian yang membeku dalam keheningan. Dalam perintah yang terdengar dingin, namun di baliknya ada hati yang diam-diam bergetar.
Aditya tak pernah tahu bagaimana harus mencinta. Tapi Raina... sedang mengajarinya perlahan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 28 Episodes
Comments