Bentakan sore hari.

Seperti malam-malam sebelumnya.Mas Adit selalu tidur di kamar Raina, tidak lagi keduanya tidur terpisah.Jujur dari hati kecil Raina yang paling dalam ada kehangatan yang melegakan dan menenangkan meski tidak sepenuhnya.

Karena pada bagian hati_nya yang lain, ia bambang dan bingung dengan perubahan sikap mas Adit yang begitu dadakan.Pria yang dulunya tidak pernah menatapnya ketika berbicara, pria yang tidak pernah mau tau keadaanya, dan pria yang hampir tidak pernah pulang ke rumah, baru-baru ini pria itu menjadi lebih ramah dan perhatian, lebih hangat dan romantis.

"Mungkinkah ini balasan dari semua doa-doa di sepertiga malamku? jika iya, terimakasih yang Alloh engkau kabulkan doa-doa itu, meski di waktu yang ku pikir adalah akhir.Semoga ini awal yang baik untuk seterusnya. "

Raina menatap wajah tampan di depannya begitu nyenyak memeluknya.Ia tersenyum mengusap pelan pipi halus pria_nya.Lalu kemudian ikut terlelap menyusulnya dalam mimpi.

Pagi harinya Raina mengantar suaminya sampai ke depan pintu.

"Nanti siang tidak perlu mengantar makanan ke kantor, " ucapnya sebelum pergi.

Raina mengangguk paham, ia juga tidak bertanya alasannya, takut mas Adit kurang nyaman.

"Baiklah hati-hati di jalan, " Raina berinisiatif mengambil punggung tangan suaminya dan menempelkannnya di dahi. (Salim)

Aditya tersenyum tipis, ia mengacak rambut istrinya sebelum benar-benar meninggalkan rumah.

Seperti biasa setiap pagi Raina akan menyirami tanaman bunga_nya.Ia bersenandung kecil dengan selang air di tangannya. Padahal kepala pelayan sudah melarangnya, namun Raina tetap melakukannya.

Raina seketika teringat dengan sang ibu, besok malam adalah tepat empat puluh hari_nya beliau.

Rain hendak menghubungi suaminya namun ia melihat ini masih jam kerja, takut suaminya akan terganggu. Jadi ia memutuskan untuk membicarakannya saat suaminya pulang nanti.

Raina keluar mencari bahan-bahan untuk di bawa pulang besok.Di sana di kampung ibunya masih ada paman, adik dari mendiang sang ibu.Beliau juga yang kemarin membantu proses pemakaman.Sekalian mau memastikan kabar rumah_nya.

Raina membeli banyak sekali kebutuhan pokok seperti beras, minyak goreng, gula, kopi, sarden, mie instan, dll, Ia rencananya mau di berikan kepada pamannya sebagai tanda terimakasih.

Acara belanja sudah selesai.Rain menyempatkan duduk sebentar menikmati ice cream coklat kesukaanya.Tanpa ia sadari sejak tadi seseorang terus memperhatikannya.

Sementara itu Aditya hari ini sudah ada janji dengan seseorang untuk makan bersama di suatu tempat.

Dari kejauhan asisten Dika menghela nafas melihat siapa tamu yang sedang di tunggu kedatangannya oleh tuan_nya.

Larasati..

"Jadi perempuan itu benar-benar kembali, di waktu yang sangat terlambat dan bisa merusak hubungan tuan dan istrinya, semoga saja tuan tidak tertipu lagi, " gumam asisten Dika dari kejauhan sembari mengamati.

Aditya duduk di pojok kafe tua yang terletak di sudut kota, sebuah tempat yang nyaris terlupakan oleh waktu. Lampu kuning temaram menggantung rendah, memantulkan cahaya lembut ke meja kayu yang sudah mulai kusam. Di luar, senja menggantung di ufuk barat, mewarnai langit dengan semburat jingga yang perlahan ditelan gelap. Jari-jarinya memutar cangkir kopi yang sudah mendingin, pikirannya berkelindan antara yang seharusnya dan yang tak terhindarkan. Lalu pintu kafe terbuka, dan masuklah sosok yang dulu ia kira telah benar-benar hilang dari hidupnya: Larasati.

Langkahnya tenang, tapi mata perempuan itu menyimpan ribuan tanya yang belum pernah sempat terjawab. Ia duduk perlahan, di hadapan lelaki yang dulu pernah ia cintai dengan seluruh napas. Tak ada pelukan. Tak ada senyum lebar. Hanya diam yang berat dan mengendap seperti hujan yang tak kunjung jatuh. “Kupikir kamu tidak akan datang,” ucap Larasati akhirnya, suaranya nyaris tenggelam oleh musik jazz yang mengalun pelan di latar.

Aditya mengangguk pelan, nyaris tak terlihat. “Kupikir juga begitu,” katanya, suara seraknya seperti tercipta dari sisa-sisa rindu yang lama dikubur. “Tapi entah kenapa... aku tetap melangkah ke sini.”

Larasati tersenyum tipis, sebuah senyum yang lebih mirip luka daripada bahagia. “Aku lihat kamu sudah berubah,” katanya lirih. “Lebih... manusia.”

“Mungkin karena sekarang aku punya seseorang yang hangat,” jawab Aditya pelan, menyebut nama itu nyaris seperti mantra: Raina. Ia menatap gelas kopinya, seolah takut menatap mata perempuan di hadapannya. Tapi Larasati tak gentar. Ia tahu, di balik semua ketegasan itu, Aditya belum benar-benar pergi dari masa lalu mereka.

“Raina? jadi nama perempuan itu, Raina, _kalau sudah begitu,” bisik Larasati, nadanya getir, “kenapa kamu masih datang? Kenapa kamu masih ingin bertemu aku?”

Hening sejenak. Lalu Aditya mengangkat pandangannya, menembus mata perempuan yang pernah—dan mungkin masih—ia cintai. “Karena sebagian dari diriku,” katanya lirih, “masih tertinggal di masa itu. Masa di mana aku mencintaimu. Dan bagian itu... belum mati.”

Larasati menunduk. Bibirnya bergetar, dan sebutir air mata jatuh, cepat ia seka sebelum sempat mengalir. “maafkan aku karena sudah pergi waktu itu,"

Aditya menarik napas panjang. “Maafmu tak akan merubah apapun terhadap situasi yang telah terjadi sekarang, ” jawabnya. “Waktu itu, aku belum siap untuk jatuh. Kamu terlalu berarti. Dan itu... menakutkan, tapi kamu tetap melakukannya.

Larasati hanya mengangguk. Ia tahu itu. Tapi mendengarnya diucapkan sekarang—terlambat, penuh penyesalan—rasanya seperti membuka kembali luka yang belum sempat sembuh. “Sekarang kamu siap?” bisiknya.

Tatapan mereka bertemu dalam diam. Di mata Aditya, ada jawab yang tak membutuhkan kata: penyesalan, keikhlasan, dan mungkin... cinta yang masih tersisa. “Sekarang... aku terlambat.”

Larasati tersenyum, tipis dan pedih. Ia berdiri, tubuhnya tegak meski jiwanya rapuh. “Aku tidak datang untuk merebutmu kembali,” katanya, suaranya hampir bergetar. “Aku cuma ingin tahu... apakah aku pernah benar-benar dimiliki.”

Aditya menatapnya, dan menjawab dengan suara yang nyaris tak terdengar, “Kamu pernah. Sepenuhnya.”

Lalu Larasati pergi. Melangkah keluar dari kafe itu, dan mungkin juga dari hidup Aditya, untuk kedua kalinya. Dan ketika pintu menutup perlahan di belakangnya, Aditya menutup mata, merasakan dunia yang dulu pernah ia miliki perlahan menjauh, menyisakan ruang kosong di antara detak jantung yang kembali tak teratur.

Sesampainya di rumah Aditya tak langsung mencari Raina.Ia justru memilih menghabiskan waktunya di ruang kerja.

Rain baru turun melihat kepala pelayan hendak mengantar kopi ke ruang kerja.

"Mas Adit sudah pulang bi,? " tanya Raina, Ia baru keluar dari kamar.

"Sudah dari tadi nyonya, "

"Baiklah kalau begitu biar saya yang antarkan kopinya, " Raina mengantar kopi tersebut ke ruangan kerja.

"Permisi mas, aku masuk ya," ucap Raina setelah tiga kali mengetuk pintu tak ada jawaban.

Ketika pintu ruang kerja itu ia dorong perlahan, aroma kopi menggantung di udara, tapi cepat tergantikan oleh sesuatu yang lebih tebal: ketegangan. Aditya duduk di balik meja, wajahnya menegang, mata fokus pada tumpukan berkas di hadapannya. Kemeja putihnya kusut di bagian lengan, rambutnya acak tak rapi seperti biasanya. Tapi yang paling membuat Raina terpaku adalah ekspresinya—lelah, kacau, dan... terluka. Bukan ekspresi yang biasa ia temui dari Aditya, bahkan di masa-masa tersulit sekalipun.

Raina berdiri di ambang pintu, ragu sejenak. Lalu ia melangkah pelan, menaruh cangkir kopi di tepi meja sambil berkata lembut, “Aku bawain kopi, sama cemilan,mas. Kamu belum makan kan?”

Aditya tidak langsung menoleh. Ia hanya mengangguk kecil, nyaris tanpa suara. Tapi saat Raina hendak menarik tangannya mundur, cangkir itu tergeser ujung map—dan dalam sekejap, cairan kopi tumpah membasahi sebagian berkas yang terbuka. Berkas penting, penuh angka dan catatan.

“Oh yang ampun,maaf—mas, aku nggak sengaja—” Raina panik, buru-buru mengambil tisu dari sudut meja. Tangannya gemetar.

Dan untuk pertama kalinya sejak mereka menikah, suara itu keluar dari mulut Aditya. Bukan suara datar atau dingin yang biasa, tapi bentakan—kasar, tinggi, dan menghantam seperti cambuk.

“RAINA! Astaga, bisa nggak sih kamu nggak ganggu! Ini dokumen penting! Kamu pikir ini waktunya main-main?!”

Suara itu membuat Raina membeku. Tisu di tangannya terjatuh. Matanya melebar, seolah ia baru saja ditampar di tempat terbuka. Di antara mereka yang selama ini saling diam dalam jarak dan kesepian, kini kata-kata menjadi peluru pertama yang benar-benar melukai.

Aditya terdiam, seolah menyadari apa yang baru saja ia katakan. Tapi tak ada permintaan maaf. Tidak saat itu. Ia hanya menghela napas kasar, mengusap wajahnya dengan kedua tangan, lalu kembali duduk. “Tolong keluar, Rain. Aku lagi butuh tenang.”

Raina menatap suaminya lama. Hening. Tanpa menangis. Tanpa berkata apa-apa. Lalu ia melangkah mundur, keluar dari ruangan itu dengan dada yang baru saja dipukul dari dalam. Untuk pertama kalinya, ia merasa benar-benar diusir dari hati yang dulu pernah jadi rumahnya.

Terpopuler

Comments

erinatan

erinatan

kok aku jd pengen ikutan nangis😭😭😭

2025-06-22

1

nissa

nissa

makan tu berkas

2025-06-18

1

lihat semua
Episodes
1 Mari bercerai, mas!
2 Kontrak perjanjian.
3 Yang seharusnya terjadi.
4 MAKAN SIANG BERSAMA
5 Bentakan sore hari.
6 Kemalangan Raina.
7 Pesan Racun
8 Bertemu teman Lama.
9 Pulang tapi tidak benar-benar kembali.
10 kembali dingin
11 Raina dan Pantai.
12 Draft
13 Draft
14 Sebatas pasal di atas kertas kontrak.
15 Draft
16 Tentang Senja.
17 Bertemu Larasati.
18 Sisi lain Raina.
19 Aku mencintaimu.
20 Bertemu Ayah
21 Draft
22 SEBUAH ALASAN
23 Chapter 23
24 Chapter 24
25 Chapter 25
26 Chapter Pasar malam
27 Chapter 27
28 Chapter 28
29 Chapter 29
30 Chapter 30
31 Chapter 31
32 Chapter 32
33 Chapter 33
34 Draft
35 Chapter 35
36 Draft
37 Draft
38 Draft
39 Chapter 39
40 Chapter 40
41 Draft
42 Chapter 41
43 Draft
44 Draft 44
45 Chapter 45
46 Chapter 46
47 Draft
48 Chapter 48
49 Draft
50 Chapter 50
51 chapter 51
52 Draft
53 Draft 53
54 Chapter 54
55 Draft
56 Chater 56
57 Draft
58 Draft
59 Draft 59
60 Part 60
61 Chapter 61
62 Chapter 62
63 Part 63
64 Chapter 64
65 Chapter 65
66 Chapter 66
67 chapter 67
68 Draft
69 Part 69
70 Chapter 70
71 Draft
72 Draft
73 Chapter 73
74 Chappter 74
75 Chapter 75
76 chapter 76
77 Chapter 77
78 Draft
79 Chapter 79
80 Draft
81 chapter 81
82 Chapter 82
83 Chapter 83
84 chapter 84
85 Chaptwr 85
86 Draft
87 Chapter 87
88 Chapter 88
89 Tamat
Episodes

Updated 89 Episodes

1
Mari bercerai, mas!
2
Kontrak perjanjian.
3
Yang seharusnya terjadi.
4
MAKAN SIANG BERSAMA
5
Bentakan sore hari.
6
Kemalangan Raina.
7
Pesan Racun
8
Bertemu teman Lama.
9
Pulang tapi tidak benar-benar kembali.
10
kembali dingin
11
Raina dan Pantai.
12
Draft
13
Draft
14
Sebatas pasal di atas kertas kontrak.
15
Draft
16
Tentang Senja.
17
Bertemu Larasati.
18
Sisi lain Raina.
19
Aku mencintaimu.
20
Bertemu Ayah
21
Draft
22
SEBUAH ALASAN
23
Chapter 23
24
Chapter 24
25
Chapter 25
26
Chapter Pasar malam
27
Chapter 27
28
Chapter 28
29
Chapter 29
30
Chapter 30
31
Chapter 31
32
Chapter 32
33
Chapter 33
34
Draft
35
Chapter 35
36
Draft
37
Draft
38
Draft
39
Chapter 39
40
Chapter 40
41
Draft
42
Chapter 41
43
Draft
44
Draft 44
45
Chapter 45
46
Chapter 46
47
Draft
48
Chapter 48
49
Draft
50
Chapter 50
51
chapter 51
52
Draft
53
Draft 53
54
Chapter 54
55
Draft
56
Chater 56
57
Draft
58
Draft
59
Draft 59
60
Part 60
61
Chapter 61
62
Chapter 62
63
Part 63
64
Chapter 64
65
Chapter 65
66
Chapter 66
67
chapter 67
68
Draft
69
Part 69
70
Chapter 70
71
Draft
72
Draft
73
Chapter 73
74
Chappter 74
75
Chapter 75
76
chapter 76
77
Chapter 77
78
Draft
79
Chapter 79
80
Draft
81
chapter 81
82
Chapter 82
83
Chapter 83
84
chapter 84
85
Chaptwr 85
86
Draft
87
Chapter 87
88
Chapter 88
89
Tamat

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!