Setelah pertemuan yang penuh kehangatan di pasar, Heri tidak bisa mengusir bayangan Rina dari pikirannya. Setiap malam, wajah Rina yang ramah dan senyumnya yang lembut selalu hadir di benaknya. Meski hatinya terasa hangat, ada pula rasa gelisah yang muncul. Heri sadar bahwa Rina berasal dari keluarga terpandang di desa, sementara dirinya hanyalah seorang pemuda biasa dengan kehidupan yang sederhana.
Di pagi hari, Heri kembali bekerja di sawah bersama ayahnya. Meskipun pekerjaan di sawah sudah menjadi rutinitas sehari-harinya, kali ini pikirannya melayang, memikirkan perbedaan status antara dirinya dan Rina. Ayahnya, Pak Sumarno, melihat perubahan pada putranya.
pak Sumarno
"Heri, kamu kenapa dari tadi melamun terus? Apa ada sesuatu yang mengganggu pikiranmu?"
Herry
Terkesiap dari lamunannya "Ah, nggak ada, Pak. Cuma... cuma lagi kepikiran beberapa hal."
Pak Sumarno memperhatikan ekspresi wajah anaknya dengan tatapan penuh perhatian. Sebagai seorang ayah, ia tahu ada sesuatu yang berbeda.
pak Sumarno
"Kalau memang ada yang ingin kamu bicarakan, nggak usah sungkan, Heri. Ayah ini kan juga teman kamu."
Herry
Tersenyum kecil "Iya, Pak. Hanya saja, kadang saya merasa… apa saya ini bisa melakukan sesuatu yang lebih besar untuk keluarga?"
Pak Sumarno terdiam sejenak, paham bahwa ada ambisi dan keinginan kuat dalam hati anaknya. Heri adalah pemuda yang bersemangat, dan ia ingin memastikan bahwa semangat itu tidak padam.
pak Sumarno
"Heri, kita memang hidup sederhana, tapi yang terpenting adalah kamu berusaha dan jujur pada diri sendiri. Apa pun impianmu, Ayah akan selalu mendukung."
Perkataan ayahnya membuat Heri sedikit tenang, tetapi bayangan tentang perbedaan statusnya dengan Rina masih menghantui. Ia bertanya-tanya, apakah mungkin seorang gadis seperti Rina benar-benar bisa menerima seorang pemuda sederhana sepertinya?
Di tempat lain, Rina juga tidak bisa mengabaikan pertemuannya dengan Heri. Sore itu, ia duduk di beranda rumahnya, termenung. Ibunya, Bu Retno, menyadari bahwa putrinya lebih pendiam dari biasanya dan menghampirinya.
Bu Retno
"Rina, Ibu perhatikan akhir-akhir ini kamu sering melamun. Apa ada yang terjadi?"
Rinna
Tersenyum lemah "Nggak ada, Bu. Cuma lagi banyak pikiran saja."
Bu Retno
"Kalau ada yang ingin kamu ceritakan, Ibu selalu ada untukmu, nak."
Rina hanya mengangguk, tetapi ia masih ragu untuk menceritakan tentang pertemuannya dengan Heri. Ia merasa bahwa perasaan yang tumbuh di hatinya adalah sesuatu yang baru dan asing, sesuatu yang belum siap ia bagi dengan orang lain, bahkan dengan ibunya.
Episode ini menggambarkan keraguan dan rasa takut dalam diri Heri mengenai perbedaan status antara dirinya dan Rina. Di sisi lain, Rina juga merasakan hal yang sama, namun masih belum bisa terbuka tentang perasaannya. Mereka berdua mulai merasakan kebingungan akan perasaan baru ini, yang mungkin akan berkembang menjadi sesuatu yang lebih dalam.
Comments