“Kenapa saling mendorong? Kalau jatuh bagaimana?” Tanya Agra kepada santriwati di depannya ini.
“E-eh, ustadz maaf,” lirih mereka sambil menunduk.
“Ada keperluan apa?” Tanya Bima. Menatap heran dengan keempat santriwati ini, bukannya kembali ke asrama malah saling mendorong.
Adira memberi kode kepada Ayyara agar dia saja yang berbicara, dia sedikit takut dengan tatapan tajam milik ustadz Agra yang sedari tadi menatap kearahnya.
“Ka-mi m-a-mau menghadap ustadz,” cicit Ayyara memeluk erat buku pengajiannya. Dalam hati mengomel kesal kepada Adira.
Bima dan Abraham saling menatap, sedangkan Agra dan Abyan sudah mengetahui tujuan santriwati ini datang menghadap mereka. Agra dan Abyan menunggu sampai santriwati itu masuk masjid tadi dan petugas kamtib itu mendatangi mereka.
“Untuk? Maksud saya mau setoran hafalan? Bukannya tadi sudah, ya?” Tanya Abraham. Masih belum mengetahui tujuan para santriwati ini.
Agra memberi kode dengan tangannya agar keempatnya duduk, rasanya tidak elok berbicara yang satu berdiri dan satunya lagi duduk.
“Duduklah, tidak capek berdiri terus?” Tanya Agra.
“Mereka tadi terlambat dan mereka datang untuk menghadap kekita,” jelasnya kepada Abraham dan Bima.
Abraham dan Bima mengangguk paham. “Owhhh.”
Mereka menurut, duduk dengan Adira di sisi kira dan Aruna di sisi kanan, dan Ayyara di dekat Adira serta Almaira di dekat Aruna.
Jadi posisi mereka seperti tengah mendiskusikan sesuatu di mana Agra duduk di depan Adira, lalu ada Abyan yang duduk di depan Ayyara, ada Abraham yang duduk di depan Aruna dan Bima yang duduk di depan Almaira.
Jarak mereka juga cukup jauh kok, mereka masih ingat batasan.
“Baiklah, mari kita lihat hukuman apa yang bagus untuk kalian ini,” kata Bima. Sepertinya dia sedikit menyukai suasana ini.
“Mampus kita,” cicit Ayyara. “Takut wee…,”
Adira mendengarnya, kemudian. “Sama, mana tatapannya tajam banget pula.”
Huutttfff
“Kalian sudah tahu kesalahan kalian apa?” Tanya Abraham mewakili teman-temannya.
“Tau ustadz,” jawabnya dengan kompak. Agra dkk mengangguk dan saling menatap.
“Kenapa bisa terlambat? Tidak lelah dihukum terus?” Lanjut Abyan bertanya. Menghela napasnya pelan.
“Maaf ustadz, k-kami tadi telat kembali ke asrama,” jawab Aruna pelan. Dia sangat menyesal karena telah teledor hingga mereka harus berakhir di sini.
Semua mata tertuju kepada Aruna, membuat Aruna semakin menunduk dalam dan banyak-banyak berdo’a agar hukumannya tidak berat.
“Kenapa bisa? Atau kalian memang sengaja terlambat?” Tanya Bima. Mereka juga tahu kalau mereka ini duduk bermalas-malasan di pelataran masjid tadi sore.
Mereka sontak menggeleng pelan, mana mungkin mereka sengaja walau mereka suka melanggar namun mereka hari ini tiba-tiba lemas dan sepertinya tenaga mereka habis sebab hari ini adalah hari senin.
“Tidak ustadz, k-kami tidak sengaja. Hanya saja kami…,” Adira menggantung ucapannya. Mana mungkin dia mengatakan jika waktu mereka habis saat mereka mandi dan juga pergerakan mereka yang lelet.
“Apa?” Kompak para ustadz muda itu.
“Afwan ustadz, ini semua salah ana karena teledor menaruh barang sampai akhirnya terlambat,” papar Aruna. Dia salah, dan merasa tidak enak kepada teman-temannya.
Agra dkk saling pandang, lalu bersama menghela napas panjang. Heran dengan kelakuan santriwati ini, entah kejutan seperti apa lagi yang akan menyambut kedatangan mereka di pondok ini.
“Mau memberi mereka hukuman apa?” Bisik Abyan kepada Agra. Kebetulan dia duduk di dekat sahabatnya itu.
Agra berfikir sebentar, lalu mengeluarkan ponselnya dari dalam saku baju kokoh putihnya. Dia sepertinya mengetik pesan, dan tak berselang lama ketiga temannya menatap kearah Agra lalu mereka saling mengangguk.
“Mereka bakalan kasih hukuman apa sih?” Tanya Aruna pelan. “Takut banget berhadapan sama mereka,” bisiknya lagi.
Almaira menatap Aruna, lalu menggeleng pelan. “Mana aku tahu,” balasnya.
“Kalian…,” Agra menatap santriwati di depannya secara bergantian. “Kami kasih hukuman hafalan surah Al-Waqi’ah,” lanjutnya dengan tenang dan wajahnya yang tiba-tiba saja datar.
“HA?”
“Astagfirullah ustadz,” syok Aruna.
“Ustadz yang benar aja.” Wajah tak terima Almaira. Dia adalah salah satu anak manusia yang sangat malas menghafal.
“Jahatnya ustadz,” lirih Ayyara.
“Kejam,” delik Adira.
Agra dkk kaget dengan suara kompak mereka serta tatapan tajam milik Adira dkk yang kompak melihat kearah mereka.
“Memangnya ada masalah? Kalian merasa keberatan dengan hukumannya?” Tanya Bima.
Adira dkk menggeleng dengan cepat, mereka tidak keberatan sama sekali TIDAK KEBERATAN. Sumpah demi apapun mereka tidak keberatan, sampai rasanya sangat ingin mencakar dan mencabik-cabik wajah-wajah di depan ini namun sayang mereka tentu tidak memiliki keberanian.
“Bagus, batas waktunya besok. Setorkan setelah shalat magrib, tidak ada alasan,” jelas Abraham dengan tegas.
“Na’am ustadz,” jawabnya dengan kompak.
“Sekarang kembali ke asrama,” lanjut Agra dengan nada tegasnya dan suara basnya.
“Na’am ustadz.” jawab mereka lagi dengan pelan. Mereka kemudian mundur dengan pelan dan bangkit berdiri dengan tubuh yang terkulai lemas. Efek hukuman itu pasti.
“Assalamu’alaikum ustadz,” salam mereka. Lalu berlalu pergi dari hadapan Agra dkk.
Agra dkk hanya bisa menggeleng melihat mereka berjalan keluar dari masjid dengan lemas seperti tak memiliki gairah hidup.
“Astaga.”
xxx
“Aaaakkhhh, jahat banget sih mereka ya Allah!” Pekik Aruna menenggelamkan wajahnya pada bantal tidurnya.
“Baru juga ketemu, mereka enteng banget langsung kasih yang berat-berat,” decak Almaira.
Mereka tengah berada didalam kamar yang beranggotakan empat putri yaitu merka saja.
Plak
“Bangun, duduk di bawah,” ucap Ayyara setelah memukul pelan punggung Aruna. Lalu duduk di lantai bersama ketiga temannya.
Aruna kemudian bangun dan duduk melingkar bersama yang lainnya, wajahnya masih terlihat kesal. Kesal dengan keteledorannya, kesal dengan hukumannya dan kesal melihat wajah para ustadz mudah itu juga. Adira, Ayyara dan Almaira terkekeh melihat wajah itu.
“Sabar, toh juga salah kamu sendiri,” kata Ayyara.
“Dinikmati sayang,” lanjutnya dengan wajah jahilnya. Aruna hanya berdecak malas, sungguh dia benar-benar seperti sudah menyimpan dendam pada para ustadz itu.
“Gimana kalau kita buat mereka capek dengan kita? Maksudnya kita buat mereka lelah sama sifat kita? Gimana?” Tanya Adira. Otaknya sudah merencanakan sesuatu.
“Maksudnya biar mereka balikin tanggung jawab ini ke kiyai Aldan,” timpal Ayyara melihat kebingungan Aruna dan Almaira.
“Owhhh.”
“Boleh tuh.”
xxx
“Mereka ini memangnya tidak capek melanggar terus? Ana aja yang baru lihat mereka tadi dah merasa risau,” papar Abraham.
“Ente risau kenapa dah?” Tanya Bima. Sesekali memainkan rubik kecil yang dipinjam dari salah satu santri putra tadi.
“Risau bakalan ngak mampu hadapi mereka,” jawab Abraham terkekeh pelan. Agra dan Abyan menggeleng setelah mendengar jawaban Abraham.
“Halla, gaya mu toh mas,” ejek Bima.
“Kita lihat saja nanti, kita yang menyerah atau mereka yang menyerah.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 75 Episodes
Comments