Oekk...
Di ranjang Seina, tiga bayi mungil bersahutan menangis. Salwa terpaksa cuti untuk membantu mengurus si kembar, terutama karena si sulung dan bungsu sering berebut ASI dari Seina yang kelelahan.
"Ululuuu... bayi yang satu ini anteng banget," ucap Salwa gemas pada si tengah yang diam diberi bedak.
"Tidak seperti si sulung dan si bungsu ya, Sal, hahahaaa..." sambung Seina tertawa, menyusui kedua bayinya yang terkadang saling mencakar.
"Waduh, bedaknya sudah habis nih, Sei. Kamu masih punya cadangan, kan?" tanya Salwa.
"Sepertinya ada pemberian dari tetangga, tapi... duh... isinya juga habis nih," jawab Seina.
"Kak, biar Vara saja yang beli!" seru Vara, mengacungkan tangan. "Kak Salwa bantu Kak Seina di sini saja, biar Vara sendiri yang beli." Vara menyentuh pipi bayi sulung, tapi bayi itu tiba-tiba menangis keras.
"Oeeekkk... oeeekkk..."
"Ihhh, selalu saja begini. Memangnya Vara kelihatan seram?" celetuk Vara cemberut.
"Kalau mau disayang sama bayi laki-laki, kamu pergi saja beli bedaknya cepat," pinta Salwa terbahak-bahak bersama Seina.
"Ihhh padahal kemarin-kemarin Vara rajin buang bekas pipisnya, masa Vara belum disayang juga, Kak," cetus Vara.
"Makanya kamu itu jadi anak gadis harus perawatan biar bayi laki-laki cinta sama kamu," timpal Salwa.
"Iya deh Kakak Vara yang cantik," ujar Vara gemas. Seina menggelengkan kepala.
"Oh ya Vara, kalau kamu mau pergi, coba ajak Gara," kata Seina.
"Tidak usah Kak, Gara orangnya resek!" tolak Vara blak-blakan.
"Ehhh... kau jangan pergi dulu, Ra. Yang dikatakan Seina itu benar, kamu pergi sama Gara. Siapa tahu di jalan kamu dicegat preman," Salwa menahan adiknya. "Apalagi tingkat kejahatan di kota ini lumayan tinggi. Gadis perawan sepertimu harus dijaga baik-baik."
"Oke, terima kasih Kak Salwa, Kak Seina sudah perhatian sama Vara. Vara sayang kalian, love youuuu."
Dua wanita itu kembali tertawa melihat Vara memberi kiss, tapi semuanya terdiam setelah kiss selanjutnya mengarah ke bayi laki-laki sulung yang tiba-tiba menangis.
"Yaelah, dikasih cium saja nangis, dasar cengeng!"
Vara pun pergi mencari Gara, daripada kesal pada si sulung.
Vara menatap punggung lebar Gara di kamar belakang. "Oiii, lagi ngapain nih? Sibuk nggak?" Vara menepuk pundak Gara yang serius.
"Sibuk lah!" sentak Gara ketus.
"Memang lagi ngapain sih?" tanya Vara, duduk di samping Gara, mengamati barang-barang usahanya.
"Ehhh... ternyata kamu yang punya bisnis skincare ini?" Vara terkejut, teringat skincare itu digemari teman-teman sekolahnya.
"Makanya, jangan cuma tahunya main, dodol!"
Vara cemberut. "Dodol... dodol saja terus... bisa tidak sih panggil yang lain kek, aku kan manusia bukan makanan!" protes Vara.
"Oke, kutu kunti!"
Vara makin cemberut. Gara diam-diam melirik wajah Vara, lalu menyodorkan satu skincare-nya. "Tuh, ambil!"
"Loh, buat aku?"
"Iyalah, masa buat kambing tetangga!"
"Kenapa kamu kasih ke aku?"
"Supaya kamu tidak jelek-jelek amat saat kita mendaftar nanti di kampus!"
"Dihh jahat banget ngatain aku jelek!"
"Kalau kamu cantik, sudah dari tahun lalu kamu punya pacar, kutu kunti!"
Gara ingin menjitak Vara, tapi takut gadis itu bertambah bodoh. Vara mendengkus, lalu tersenyum senang diberi skincare.
"Hehe... makasih ya, Kak! Tapi ini gratis, kan? Tidak perlu dibayar, kan?" tanya Vara, mengedipkan mata.
"Ya gratislah, kau kan sudah kuanggap adik selama ini. Sekarang kau pergi sana, jangan ganggu aku!" usir Gara, membuat Vara agak sedih.
"Ck, apa sih yang kamu harapkan dari dia!" batin Vara.
"Loh, kenapa tidak pergi juga?" tanya Gara heran. Vara pun ingat disuruh membeli bedak. Ia mengatakannya pada Gara, dan pemuda itu langsung menarik Vara ke motornya.
Agar usahanya meluas, Gara ingin mengganti kemasan. Ia ingin skincare-nya mendunia dan mengalahkan produk kecantikan mantan iparnya, sebagai bentuk balas dendam.
Sementara itu, Jovan, sang pewaris keluarga Robert, pusing dituntut untuk segera memiliki anak.
"Jovan, setahun berlalu, keluarga Papa terus memaksa Papa menentukan pewaris berikutnya. Apa kau punya solusi, Nak?" kata Tuan Robert.
"Sebaiknya Papa dan Mama bikin anak yang lain saja. Jovan tidak mau menikah dengan wanita lain lagi. Bagiku, tidak masalah kalau kami tidak punya anak asalkan Ghina tetap hidup bersamaku," jelas Jovan serius. Namun, dalam hatinya, Jovan mendambakan tangisan bayi.
Tuan Robert menarik napas lalu tersenyum. "Jovan, Papa dan Mama sudah tua. Untuk menghasilkan anak sudah tidak bisa," kata Tuan Robert berbohong, tidak ingin istrinya sakit lagi.
"Kalau begitu, jangan paksa Jovan menikah lagi!" kesal Jovan, berdiri lalu keluar dari ruang pribadi ayahnya. Jovan berpapasan dengan ibunya, Renata, namun mereka tak bicara. Permusuhan terlihat jelas akibat tuduhan Jovan.
Sebelum ke perusahaan, Jovan mengunjungi istrinya. Ia mendengar Ghina mengamuk di dalam kamar, "Lepaskan aku... lepaskan aku...! Biarkan aku bertemu anakku...! Mas Jovan... di mana kau, Mas...!"
Jovan menarik kembali tangannya. Ia tak jadi masuk. Dari sampingnya, Renata tertawa.
"Haha... melihatmu sekarang, Mama jadi kasihan padamu, Jovan. Tapi Mama lebih kasihan sama dia," maki Renata, jengkel melihat putranya masih ingin hidup dengan Ghina yang mengalami gangguan jiwa.
"Pulangkan dia, Nak," mohon Renata, tapi Jovan hanya membuang muka dan berlalu.
"Ck, tanpa kau sadari, kau hanya menyiksa dia, Jovan." Renata menatap kesal ke pintu kamar menantunya.
"Asisten Lu, di mana kau sekarang?" tanya Jovan yang sudah tiba di kantornya.
"Saya lagi di luar, Tuan," jawab Asisten Lu.
"Memangnya kenapa Anda mencari saya?" Asisten Lu baru keluar dari rumah sakit setelah mengantar seorang nenek.
Jovan diam. Ia ragu menanyakan sesuatu karena Asisten Lu pasti akan tertawa.
"Apa mungkin Anda ingin tanyakan soal Nona Seina?" tebak Asisten Lu, membuat Jovan tersentak. Ia menjawab iya, teringat Seina pernah mengatakan ada bayi dalam perutnya.
"Mengapa Anda menanyakannya?"
"Apakah Anda ingin dia kembali, Tuan?" Asisten Lu sedikit menggoda Jovan, tapi jawaban Jovan mematahkan harapannya.
"Tidak, saya ingin mengambil anaknya. Dia pasti sekarang sudah melahirkan anak itu," jawab Jovan, berniat merebut hak asuhnya.
"Tetapi, bukankah dulu Anda bilang anak dalam perutnya adalah hasil hubungan jin? Mengapa Anda tiba-tiba berubah pikiran sekarang, Tuan?" tanya Asisten Lu.
"Asisten Lu, zaman sudah modern, untuk memastikannya kita hanya perlu melakukan tes DNA. Jika anak itu terbukti darah dagingku, sebagai ayahnya saya punya hak untuk mengambilnya!"
"Mengapa Anda ingin mengambilnya?" tanya Asisten Lu, membuat Jovan marah.
"Saya sudah bilang, saya ayahnya, Asisten Lu! Apakah saya harus mengatakannya seribu kali agar kau paham...?!!!"
Asisten Lu tersenyum kecut, ia tahu alasan itu bukan jawaban yang sebenarnya. Ia menduga Jovan ingin menghadiahkan anak itu pada Ghina sebagai pengganti anaknya yang tiada.
"Maaf Tuan Jovan, tapi saya tidak tahu ada di mana Nona Seina sekarang. Adik laki-lakinya juga tidak pernah kelihatan," tutur Asisten Lu.
"Arghhh... jangan bilang dia istri saya! Dia sudah bukan lagi istri saya, Asisten Lu."
"Sayangnya, Anda belum resmi bercerai, Tuan. Surat cerai yang Anda serahkan ke Nona Seina malam itu sudah dirobek terlebih dahulu sebelum ditandatangani," ucap Asisten Lu.
"Ck, aku tidak peduli."
Tuttt...
Asisten Lu menarik napas. Kepribadian Jovan makin sombong.
Saat Asisten Lu hendak masuk ke mobilnya, ia melihat seorang pemuda keluar dari rumah sakit. Asisten Lu terkejut setelah mengenali pemuda tampan itu.
"Gara?"
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 64 Episodes
Comments
Misaza Sumiati
bingung namanya istri Jovan , ghina ganti Ayana ganti lagi ghina yang betul yang mana ?
2024-11-22
0
C2nunik987
😅😅😅😅 jadi Ghina gilaaaa karma dr Seina dibayar tunai kan Jovan 😡😡😡
2024-12-25
0
Aty
yg. benar Ayana apa Gina istri kedua jovan. suka ganti2 namanya.. 😠😠😠
2024-09-28
0