Episode 4: Ya Mei

Setelah mengumpulkan dua gulungan ke pos jaga di dalam benteng, kami kembali ke rumah masing-masing. Aku langsung merebahkan tubuhku di atas kasur. Hari ini kami kembali lebih dulu. Memegang rekor bertanding tercepat. 15 jam saja. Paling cepat biasanya sehari, atau 24 jam. Tapi ini rekor baru yang dimiliki suku.

“Kau sungguh jorok sekali langsung merebahkan diri dengan tubuhmu yang kotor itu.” suara perempuan yang laing kukenali di dunia ini. Siapa lagi jika bukan ibuku. Ia berdiri di ambang pintu, bersandar di daun pintunya. Menatapku dengan penuh emosi. Dia masih memakai pakaian gembalanya, baju rajut, jaket kulit domba, celana kulit domba juga. Dia juga masih mengikat rambut coklatnya bagaikan ikal kuda. Walau ibu mantan pasukan elite perempuan dari kerajaan.

“Aah...maaf!! Lagipula aku terlalu lelah.” Uacpku memelas.

Kali ini ibu mendekatiku dengan tatapan marah dan berkacak pinggang di depanku.

“Sebagai pemuda kau harusnya lebih semangat dari ibumu ini. Masa depanmu jauh dari kata cerah jika kau terus begini,”

“B..b..baik,” ucapku malas sambil berdiri dengan rasa enggan.

Melihat perawakan ibu yang masih terlihat muda dan cantik seperti masih berumur 30 tahun, rasanya ibu dulu penuh perjuangan untuk mendapatkan tubuh sebagus itu. Tapi bukan itu yang kumaksud, ibuku dulu pernah menjadi pasukan elite kerajaan terbak dari suku. Namun walaupun dia tidak menjadi prajurit, ia kadang diminta bantuan oleh komandan pasukan patroli untuk membantu mereka berpatroli. Tapi sekarang ia habis dari mengembala kambing di padang rumput.

Aku berjalan malas menuju kamar mandi yang berada di luar rumah, tepatnya berada di halaman belakang rumah. Dengan dinding kayu, begitu juga dengan atapnya. Sebuah sumur besar di depan kamar mandi sebagai sumber airnya yang harus ditimba manual dengan melemparkan bak yang sudah diikat dengan tali, lalu menariknya kembali lagi dan langsung terisi air. Airnya akan dituangkan di bak mandi yang berada di dalam kamar mandi. Bekas air pemakaian di kamar mandi akan terbuang langsung ke lubang kecil yang akan mengalir ke sungai melalui

lubang bawah tanah. Ada lubang lain juga untuk buang air besar, tapi tetap mengalir ke sungai.

Segera aku mandi, sekalian mencuci baju dan sepatuku yang kotor oleh keringat dan debu, juga lumpur saat kembali tadi dari pertandingan. Pakaian dan sepatuku ke jemur di belakang rumah. Selesai mandi aku sebenarnya

ingin langsung tidur saja. Rasa lelah ini tak bisa digantikan. Jadi kuputuskan untuk memeriksa beberapa hal. Kambing-kambing ku seperti tidak baru saja masuk ke kandang. Mereka sudah tidur lama. Kupikir hanya perasaanku saja. Jika kuda memang sudah tidur. Setelah kurasa tak ada yang anaeh, aku kembali masuk ke dalam rumah lewat pintu depan. Begitu terkejut aku melihat ibu terlelap di atas kursi kayu tanpa selimut. Padahal malam ini sangat dingin sekali cuacanya.

Aku masuk ke dalam, mengambil selimut, lalu kembali ke depan menyelimuti ibu. Mungkin malam ini ibu terlalu lelah mengurus semuanya sendirian. Biasanya aku yang mengembala kambing, sekarang ibu yang menggantikannya sementara sampai aku selesai dari pertandingan. Ayah sendiri sibuk dengan urusan suku. Mungkin tidak akan pulang untuk beberapa hari. Mungkin dua sampai empat hari.

Tentang rumah kami, sepenuhnya terbuat dari batu yang dicari di gunung, kecuali kamarku dan kamar mandi di luar rumah. Itu yang membuat rumah  kami tidak sedingin rumah yang lain, terutama saat musim hujan.

Aku melangkah ke tungku perapian yang belum dinyalakan. Terbuat dari tumpukan batu yang disemen, menjadi satu dengan cerobong asapnya. Jelaga hitam menutupi beberapa permukaan batunya. Arang bekas perapian kemarin malam masih ada. Bercampur dengan  abu.

Aku berjongkok, lalu mengambil tiga potong kayu. Memasukannya ke tungku. Abu yang menempel di permukaan tungkunya sedikit berhamburan karena lemparan kayunya. Aku menyusunnya di atas arang. Membuatnya agar tak mudah padam. Tangan kananku terjulur masuk ke tungku sambil menjentikkan jari. Muncul percikan api, namun tidak keluar apinya. Aku mencobanya sekali lagi. Sekarang muncul. Sebuah api kecil di ujung jari telunjukku. Aku menyulutkannya ke arang, lalu mempebesar apinya. Membuat arang terbakar sedikit. Nantinya akan ikut

membakar kayu yang ku tumpuk di atasnya.

Aku kembali berdiri. Menyusuri seuruh ruangan rumah. Ruang tamu, ruang tengah, kamar orang tuaku, dapur, lalu terakhir ke kandang kambing dan kuda, mematikan seluruh lampu minyak yang menyala. Tidak masalah. Itu kebiasaan kami. Lagipula penerangan dari lampu di jalanan cukup untuk menrangi rumah-rumah di tepi jalanan, termasuk rumahku.

Malam ini sudah terlalu larut, ayah tidak akan pulang lagi. Kuharap ia akan pulang besok pagi. Sebenarnya perhitunganku mungkin sampai dua hari atau lebih. Dia selalu pulang sangat larut. Dua hari ia tidak pulang. Memang, sebulan ini ayah sagat sibuk mengurusi keopentingan suku. Takut jika ada penyerangan dari suku lain saat pertandinga kemarin. Untungnya tidak ada masalah dari pihak luar. Entah apa alasannya suku-suku dari perbatasan lain hendak menyerang suku kami, menjadikan pertandingan kali ini rentan diserang

oleh pihak suku lain.

                                                            ---xxx---

Ufuk timur menyiratkan warna biru gelap. Pertanda matahari akan segera terbit. Langit masih gelap, hanya ufuk timur yang telah terang sedikit hingga berwarna biru gelap. Walaupun masih gelap, seluruh orang sudah

beraktifitas.

Kokok ayam pagi bersahut-sahutan. Dipadu dengan embikan kecil dari kambing-kambing tetangga, ringikan kuda-kuda yang keluar dari kandang, gonggongan anjing gembala, semerbak udara pagi yang terbawa angin pagi. Sungguh segar udara pagi. Kuyakin tidak ada tempat senyaman ini di ibu kota.

Kuda milikku sudah bersih. Baru saja ia kumandikan di dekat kamar mandi. Ibu juga masih memasak. Asap dapurnya mengepul di cerobong asap. Tadi ibu marah saat aku tidak membangunkannya. Bukannya aku tak mau, tapi aku tahu kelelahan ibuku, jadi kuputuskan biarkan ia bangun sendiri. Ibu jelas pasti

kelelahan.

Sambil mengelus kudaku pelan, aku melihat seseorang berkuda mendekat ke arahku. Kudanya hitam gagah dan berotot. Itu trermasuk kuda terbaik di perkampungan ini. Tak kalah dengan kudanya, si penunggang juga memiliki

postur tubuh besar dan kekar, rambutnya dipotong pendek hingga nyaris gundul, memakai jubah kulit beruang yang rumornya ia menangkap sendiri beruang putih itu yang menyerangnya saat kembali dari mengembala kambing, di pinggangnya tersemat pedang legendaris; Damase, wajahnya terdapat luka sabetan pedang di

pipi kirinya.

Kudaku tiba-tiba berlari mendekatinya, ia lepas dari sentuhanku. Menyambut si penunggang itu lebih dulu dari aku. Mau tak mau aku berjalan mendekatinya. Pria itu memberikan tali kekangnya padaku. Aku sendiri menarik

kembali tali kudaku yang terlepas. Kudaku langsung menjliat pipi pria itu. Jelas mereka berdua sangat akrab walaupun beda spesies.

“Terlambat lagi, ya?” Tanyaku polos.

“Ya,” ucap ayah sambil mengelus kepalaku. “Hari ini ayah libur. Banyak sekali pekerjaan yang harus diselesaikan.”

“Tapi tetap tak bisa membantuku berlatih?” Wajahku mulai menunjukkan rasa kecewa.

“Maaf, ya, lain kali saja.”

Aku menghela napas panjang. Rasa kecewa ini tidak akan hilang sampai ayah bersedia membantuku berlatih, setidaknya sehari saja.

Sambil berjalan ke rumah, ayah berhenti sebentar, lalu menoleh, “Kau mau mengembala atau berlatih?”

“Kulakukan keduanya.” Jawabku malas.

Ayah mengangguk, lalu tesenyum. “Jadilah hebat.”

Setelah berkata demikian, ayah memasuki rumah dari pinut belakang. Aku menatapnya sampai ia benar-benar masuk ke dalam, lalu aku memasukkan kuda hitam milik ayah ke kandang kuda yang berada di samping kandang kambing. Bersamaan juga aku mengeluarkan seluruh kambing dari dalam kandang, menggiringnya agar merumput sementara di sekitar halaman belakang. Setelah aku mempersiapkan diriku dengan mengambil bekal di dapur dan memakai baju dari bulu wol. Cuaca hari ini sangat buruk untuk keluar rumah tanpa memakai pakaian

tebal.

Aku menaiki kudaku, lalu menggiring belasan kambingku keluar dari benteng perkampungan. Beberapa pengembala juga keluar waktu itu juga. Ini waktu yang baik untuk mulai mengembala, sebelum matahari terbit. Beberapa dari kami saling menyapa, tapi yang unik adalah dengan berteriak satu sama lain agar bisa terdengar satu sama lain. Karena tak mungkin kita hanya bertegur sapa dengan jarak yang jauh dengan seperti berada di dalam rumah.

Kambing-kambingku langsung mengikuti arahanku yang mengomando dari belakang para kambing itu. Kubawa mereka menuju padang rumput di bawah kaki gunung yang memiliki rumput panjang dan banyak pepohonan yang besar dan rindang yang bisa dijadikan sebagai tempat berteduh. Semakin masuk ke dalam gunung, pepohonan semakin banyak dan rimbun. Di sana juga terdapat sebuah sungai besar yang mengalir ke selatan. Aliran sungai itu terus mengalir sampai seluruh wilayah selatan negeri Erangle di bagian selatan. Aliran sungai itu juga

membuat aliran-aliran anak sungai yang mengalir ke wilayah selatan. Hampir seluruh wilayah selatan Erangle teraliri oleh sungai ini. Aliran sungainya yang deras dan tak pernah kering adalah penghidupan bagi seluruh penduduk yang ada di sekitar sungai.

Setengah perjalanan menggiring kumpulan kambing itu menuju pada rumput. Di perjalanan, banyak sekali hewan-hewan liar yang bermigrasi ke daerah itu untuk menghindari musim dingin. Diantaranya; burung pelikan, bangau, zebra, kuda, banteng liar, gajah, rusa, beberapa jenis burung dan kupu-kupu, dan banyak hewan lainnya yang tak bisa kusebutkan saat perjalanan ini. Tempat ini adalah surganya para hewan saat musim dingin tiba. Setidaknya untuk wilayah ini sebagai wilayah yang hangat menurut kawanan hewan itu. Membentuk rantai alam

yang terus terjaga.

Aku menuju ke sebuah pohon yang rindang dan tidak terlalu besar. Aku turun dari kuda, lalu mengikatkan tali kekang pada batang pohon itu. Aku menambahkan tali agar kudaku bisa bergerak luas. Kawanan kambingku bergerak mencari rumput sendiri. Agar kawanan kambing itu tidak pergi terlalu jauh, aku membuat tembok penghalang agar para kambing itu tidak pergi terlalu jauh. Aku membuatnya mengeliling pohon besar yang ada di tengah kami, sekaligus tempatku mengikat kuda milikku.

Matahari semakin meninggi sejak aku datang kemari. Banyak sudah para pengembala dari suku-suku lain berdatangan. Sebagai sesama penduduk Erangle, jelas kami saudara sebangsa. Namun terkadang ada saja permasalahan antar suku yang harus diselesaikan dengan pertarungan individu. Selama hampir lima puluh

tahun, para tetua suku menghapus aturan peperangan antar suku dan menggantinya dengan pertarungan antar individu suku dengan suku lain yang memiliki masalah. Jika tidak, kami akan memutuskan sesuatu dengan berhukum pada kitab kuno, Al-Mushaf.

Para suku yang ada tidak terikat dengan hukum kerajaan, hukum kerajaan hanya berlaku bagi mereka yang tinggal di kota-kota Erangle. Sejauh ini, para tetua suku diberikan kebebasan memilih sumber hukum mereka sendiri.

Banyak suku-suku yang berpatokan pada kitab-kitab kuno, sepert Al-Mushaf dan kitab-kitab yang berisi ucapan sang Utusan.

Jika semakin tinggi matahari, jelas akan semakin panas. Bisa saja akan membuatku lebih malas dari biasanya. Aku harus segera berlatih elemen tanah. Aku mulai dengan pemanasan kecil. Melemaskan sendi-sendi tulang,

melemaskan otot-otot yang kaku. Membiarkan keringat mengalir di kulitku.

Setelah hampir sepuluh menit melakukan pemanasan kecil. Sudah waktunya melatih pengendalian elemen tanahku. Sebenarnya aku selalu mencoba menggunakan elemen api, tapi hanya api kecil saja yang keluar.

Aku menjejak tanah di bawah kakiku. Sebuah bongkahan tanah seukuran kambing melucur ke hadapanku. Aku mengambil kuda-kuda, lalu meninjunya sebelum jatuh kembali ke tanah. Bongkahan tanah itu meluncur deras ke depan. Menabrak dinding batu yang kubuat. Dinding batu itu berlubang. Sedangkan bongkahan tanah itu hancur berkeping-keping. Salah satu guna aku membuat dinding batu itu adalah agar latihanku tidak mengenai orang lain.

Kedua tanganku terangkat. Kaki kananku maju selangkah, bersamaan aku membalik telapak tanganku sambil mengayunkan dari bawah ke atas. Beberapa bongkah tanah seukuran lengan melayang di permukaan. Aku menggenggamkan tangan. Seketika bongkahan tadi rontok, namun bukan rontok kembali menjadi tanah. Tapi

berubah menjadi bentuk prisma segetiga, atau lancip. Kugerakkan tangan kananku ke samping kanan, lalu kehempaskan ke depan. Bongkahan lancip tadi segera meluncur ke dinding batu di samping lubang yang kubuat. Menancap dalam hingga menembus keluar ujungnya.

Tangan kiriku menggerakkan bongkahan batu lainnya. Lebih kecil dariukuran sebelumnya. Menggerakkannya menuju lubang di dinding yang kubuat. Menutupnya sekejap mata. Hingga tak terlihat seperti habis berlubang.

Tangan kiriku terangkat lebih tinggi. Batuan dan tanah berkumpul dan melayang di sekitarku. Aku sedikit kesusahan mengendalikan batuan dan tanah dengan gerakan lambat. Bukan tipeku mengendalikan dengan gerakan cepat. Tapi pertandingan sebelumnya mengajarkanku kalau semuanya bukan soal kecepatan dan kekuatan. Terutama elemen tanah sangat sulit digunakan dalam serangan. Karena keefektifan elemen tanah adalah pertahan, maka aku harus bisa mengubah cara seranganku dengan baik sebagai tipe serangan.

Bongkahan batu masih melayang di sekitarku. Sesekali aku membuat pukulan dengan paduan elemen tanah yang membuat bongkahan yang melayang  ikut terlempar satu persatu setiap pukulan yang kuarahkan pada target. Dengan cara ini aku dan menggerakkan pelan dan lembut, aku pernah membunuh dua serigala gunung yang hampir memangsa kambing-kambingku. Membuat kawanan serigala lain lari ketakutan.

                                                                    ---xxx---

Dua jam sudah aku berlatih. Keringat sudah basah membasahi pakaianku. Terik matahari sangat terik sekali membakar kulitku. Seandainya tadi aku tidak segera berlatih jelas aku akan malas karena begitu panas sengatan

mataharinya.

Kusandarkan punggungku ke batang pohon. Meluruskan kedua kakiku yang berteriak kelelahan. Menarik napas pelan sebagai pelemasan paru-paru yang kugunakan berlebihan. Tanganku juga masih lemas. Tak kuat untuk kuangkat.

Sambil beristirahat, mataku memperhatikan kambing-kambingku yang berlarian ke sana kemari. Mencari rumput yang lain. Saling kejar satu dan yang lain. Selama mereka tidak keluar dari batas tembok yang kubuat tidak masalah. Aku tak mau dimarahi oleh ayah seperti dua bulan lalu karena lupa membuat tembok penghalang. Hasilnya lima kambing gemuk kami hilang bercampur dengan gembalaan tetangga di perkampungan. Lima hari berikutnya, lima kambing yang hilang kembali lagi tanpa kurang apapun. Mungkin mereka baru sadar salah rumah

selama lima hari.

Aku memutuskan keluar tembok. Membiarkan kawanan kambingku tetap di dalam. Kulepas ikatan tali kuda pada pohon, lalu menaikinya keluar tembok dari celah yang aku buat lalu menutupnya kembali setelah aku keluar. Semakin siang semakin ramai pula tempat ini. Semakin banyak pengembala. Aku hanya mengawasi dari sekitar tembok yang kubuat. Tidak berniat pergi terlalu jauh.

Dari kejauhan seseorang melambaikan tangan padaku. Aku menyipitkan mata. Tidak jelas siapa dia. Tapi ia terlihat seorang perempuan. Kupikir ia melambaikan tangan pada orang lain, tapi tak ada orang lain di sekitar tembok tanah yang kubuat. Seperti tidak asing dia di mataku.

Aku memacu kuda mendekatinya. Berharap aku salah kalau ia melambaikan tangan padaku. Setelah mendekat, baru terlihat jelas ketika aku mendekat. Jana? Ia berpakaian tidak seperti biasanya. Maklum saja, ia tak pernah pergi mengembala dan pergi ke padang rumput.

Hari ini aku seperti melihat orang lain. Memakai rok pendek di bawah lutut berwarna hijau daun, memakai jaket bulu domba yang ketat, dan menguncir rambutnya ke belakang.

Aku mengelilinginya sambil berkuda pelan.

Aku menatapnya di bawahku. “Kau tahu aku di sini?” tanyaku pelan.

Jana menggeleng, “Tidak ada orang yang berlatih elemen tanah sebagai serangan kecuali dirimu. Aku merasakannya.”

Aku tertawa sambil menepuk jidat.

Jana mendongak sambil mengernyitkan dahi. “Ada yang lucu?”

“Hanya saja, kenapa kau tahu kebiasaanku.”

Dia tersenyum polos. “Seorang teman harus tahu temannya, bukan?”

Aku hanya nyengir saja.

“Kau sudah sarapan?” tanya Jana tiba-tiba.

“Ehh,” aku tak salah dengar?

Jana berbalik. “Mau ikut makan bersama kami?”

Kami? Siapa yang ia maksud.

“Tidak, terima kasih!” ucapku sungkan.

“Jangan malu-malu! Aku tidak sendiri hari ini. Aku menemani kakakku mengembala. Hari ini ia pulang.”

Mulutku menganga tak percaya. Kakak Jana pulang? Sungguh diluar dugaan. Dua tahun aku tak pernah melihatnya lagi setelah ia pergi ke ibu kota.

“Aku tidak mau jika berdua denganmu.”

“Hei,” Jana memelototiku sambil berkacak pinggang. “Sudah kubilang aku bersama Mei, kakakku.”

Dia marah. Sebenarnya aku dengar ia bicara apa. Namun sebenarnya kau tak mau mengganggu.

“Ayo, ikut saja.” Paksa Jana.

Aku menghela napas panjang, “Baik, aku ikut,”

Aku turun dari kuda, menuntunnya sambil mengikuti langkah kaki Jana. Ia sepertinya berada tak jauh dari sini.

Perempuan itu duduk dengan gagah di atas pelana kuda putihnya.Matanya awas mengamati gerombolan domba miliknya dengan empat ekor anjing penjaga. Para anjing itu berlarian kesana kemari mencegah gerombolan domba agar tak pergi dari gerombolan.

“Kak Mei,” Teriak Jana. “Dia Artras.”

Mei, itu namanya. Ia menoleh begitu dipanggil sambil mengulas senyumannya. Rambut panjangnya berkibaran diterpa angin.

Dia menyentuh bibirnya dengan telunjuknya. Wajahnya menandakan kebingungan.

“Aku benar-benar lupa dengannya,” Ucapnya pelan.

Benar. Dia tidak berubah sedikit pun.

“Bagaimana dengan Atlas?” Kini aku yang bertanya.

“Ya, tentu saja!” Dia mengangguk.

“Aku adiknya, Ya Mei.” Aku menggerutu pelan.

Dia menepuk dahinya, tak percaya. “Kau Artras? Ya ampun, tak bisa kupercaya ini dirimu.” Dia tertawa pelan.

Ya Mei turun dari kudanya. “Ternyata kau tambah tinggi juga, ya.” Ia mengukur kepalanya dengan kepalaku dengan tangannya. Hasilnya aku yang lebih tinggi. Sedikit. “Kau juga tambah besar. Kau sering latihan, ya?”

Aku menggaruk kepalaku. Malu karena ia terlalu melebihkan.“Aku hanya mampu beladiri. Jika kau bandingkan aku dengan Jana, jelas ia lebih hebat di bidang elemen.” Aku sedikit merendah.

Ya Mei memuji. “Tak apa-apa! Selama kau rajin berlatih, kau bisa hebat dari siapapun.”

“Artras,” Jana memanggilku.

Aku menoleh.

“Beladiri apa yang kau pelajari?” Tanya Jana.

“Kuharap kalian tidak terkejut.”

“Cepat! Apa itu?” Desak Jana. Dia penasaran.

“Silo...Silo Pance.” Jawabku.

Mata dua saudari itu terbelalak kaget. Mulut mereka menganga lebar. Seperti tak percaya dengan apa yang aku katakan.

“Tunggu, darimana kau belajar itu?” Tanya Mei sambil menunjuk ke arahku dengan nada sedikit marah-marah.

Aku sedikit terkejut dengan pertanyaannya yang spontan sambil marah-marah.

“Sebuah buku kuno di perpustakaan.” Jawabku enteng.

Ya Mei memegang kepalanya dengan dua tangan. Tanda ia sedang kesal. “Kenapa ada anak sepolos dirimu yang mau mempelajarinya.”

“Aku hanya belajar untuk mengimbangi kemapuanku yang terbatas itu. Memangnya salah?”Aku protes.

“Baiklah, lupakan! Sebaiknya kita segera makan.” Jana menengahi.

Terpopuler

Comments

Star Kesha

Star Kesha

author, kamu keren banget! 👍

2024-02-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!