Waktu mundur menuju lima tahun lalu.
Aku berdiri di depan sebuah batu besar di dalam sebuah goa. Cahaya matahari merambat masuk dari pintu masuknya dan sela-sela dinding bebatuan goa yang retak. Aku menatap batu besar itu. Sambil mengepalkan tanganku yang dilapisi bebatuan terakota.
Aku memakai baju berwarna hitam yang ditenun manual oleh alat tenun. Celanaku hanya terbuat dari kulit domba. Tanpa memakai alas kaki apapun. Tak ada kehidupan dengan mesin. Suku kami lebih menyukai kehidupan tradisional, tidak seperti suku sebelah yang lebih cerdas yang mampu menciptakan sebuah alat-alat hebat yang tidak bisa dilakukan oleh kaki tangan manusia.
Pakaianku telah basah oleh air keringatku yang bercucuran. Kakiku sampai berdarah bercampur debu, juga dengan keringat. Telapak kakiku sampai retak-retak karena latihan-latihan berat selama
ini.
“Sudah sembilan puluh sembilan kali aku melakukannya. Yang ke seratus kali aku harus bisa.”
Kakiku membentuk kuda-kuda dengan kaki kiri di depan. Batu besar itu seperti tak tergoyahkan. Selama ini, serangan ku hanya membentuk retakan-retakan kecil. Sebuah batu dengan ukuran diameter tiga meter dan tebal kurang lebih dua setengah meter. Setiap seminggu sekali aku kemari, memberikan serangan terkuat ku selama latihan dalam seminggu. Tepat pada hari ketujuh aku kemari untuk memberikan serangan besar pada benda tak bergerak ini.
Kaki kanan depanku maju dengan menggeser pelan di atas tanah. Aku melompat dengan diawali lompatan kaki kiri yang berada di belakang. Loncatan Ku setinggi satu meter ke arah batu besar itu. Tangan kananku menghantam batu itu. Ketika aku mendarat kembali ke tanah. Batu itu hanya retak saja, walaupun retak, itu sudah cukup besar dari retakan-retakan yang kesembilan puluh sembilan kali lebih kecil dari serangan ku ke seratus ini. Batu itu tak bergerak sama sekali. Tetap seperti dulu.
Aku langsung tumbang begitu aku mendarat. Kakiku sudah lemas. Tanganku meraih bambu berisi air minum yang badannya kuberi tali dari rotan. Dengan tangan gemetaran aku meraih bambu berisi air minum itu. Aku meneguk separuh isinya. Lalu meletakkan kembali bambu berisi air itu ke tanah.
“Aku butuh waktu lama menghancurkan batu itu. Sangat sulit menggunakan elemen yang sama untuk mengalahkan benda yang menggunakan elemen itu.”
Aku berdiri setelah agak lama beristirahat dalam gua. Ku selempangkan bambu berisi air itu pinggangku. Lalu aku keluar dari goa, sambil mengangkat tumpukan kayu bakar yang ku letakkan di mulut goa. Aku mengikatnya dengan tali rotan. Rumah-rumah di suku kami membutuhkan kayu bakar sebagai bahan bakar rumah tangga. Walaupun juga ada minyak untuk bahan pembakaran. Tapi sulit untuk mendapatkannya, walaupun ada itu hanya untuk acara tertentu yang sangat penting. Dan untuk penerangan, bukan untuk keperluan memasak.
Kakiku melangkah dari gua. Sinarnya mulai menyengat kulitku. Bau keringat dan matahari bersatu. Lapisan-lapisan batu terakota yang lupa ku hancurkan saat di goa tadi, aku meluruhkannya dari tanganku saat keluar berjalan dari goa.
Aku berjalan menuruni lembah, memasuki hutan dan keluar hutan. Melewati semak-semak belukar, melewati akar-akar pohon yang besarnya sama seperti ranting pohonnya. Sinar matahari tak tampak lagi terhalangi rimbunnya dedaunan. Hanya bayang-bayang hutan yang tampak.
Setelah menyusuri jalur hutan yang jarang dilewati banyak orang, aku sampai di jalan bebatuan tanah sebagai jalan setapak, juga sebagai jalan kendaraan pengangkut yang ditarik kuda atau kerbau.
Suara langkah kaki terdengar di belakangku. Langkah kaki yang berat dan kasar. Gerak kakinya berat dengan tapak demi tapak mendekatiku. Lebih dekat lagi aku seperti mengenal pemilik langkah
kaki itu, apalagi terdapat dua pasang kaki.
“Artas!!” Panggil seorang dari mereka.
Menolehkan kepalaku ke pemilik suara. Itu Zanas yang memanggilku dan kakaknya Yundan, si pangeran dingin. Itu sebutan Yundan. Walau mereka kembar, mereka punya dua sifat yang berbeda. Meski
begitu, mereka dua saudara yang baik dan setia pada kawan. Tidak membeda-bedakan kawan, termasuk aku sebagai anak dengan kekuatan pengendali paling lemah.
“Seperti biasa, kau selalu membawa kayu lebih banyak dari kami.” Puji Zanas.
Yundan berjalan lebih dulu daripada kami.
“Hei, Yundan, mau berlomba? Kalau aku menang kalian ikut jadi bagian kelompokku di pertandingan selanjutnya.”
“Kau selalu menang dari kami, bodoh.” Ucap Yundan malas.
Zanas menepuk bahu Yundan. “Ayolah, kakak, aku tidak akan kalah lagi darinya. ” Zanas menatapku. “Kau pasti akan keberatan menuruni lembah dengan beban berat di punggungmu.”
“Ayolah,” Aku tersenyum, “Kau pasti tahu aku selalu menuruni lembah hampir tidak pernah berjalan. Aku selalu berlari menuruni lembah.”
Zanas tertawa. Dia berpikir kali ini dia yang akan menang. Ayolah, aku pengendali elemen tanah terbaik yang pernah dimiliki akademi.
“1...2...3...” Kami menghitung bersama dan melesat bersama juga, meninggalkan Yundan sendirian di belakang.
“Ya ampun, aku ditinggal lagi.” Yundan menepuk jidatnya. Mau tak mau ia ikut berlari mengejar kami.
---xx---
Obor-obor sudah dinyalakan sepanjang jalan desa. Menerangi seluruh perkampungan setelah matahari terbenam di ujung barat sana. Diikuti semerbak indahnya bulan dan gemerlapnya bintang di ufuk timur. Puluhan pengembala kembali ke ke dalam perkampungan sebelum malam menjemput. Termasuk diriku tadi setelah kembali mencari kayu bakar, aku kembali ke luar perkampungan suku untuk menggembala kambing.
Jika bukan ada acara penting hari ini, tidak akan kepala suku menghabiskan persediaan minyak tanah untuk menghidupkan obor-obor sepanjang jalanan. Sebenarnya aku terbiasa pulang malam-malam. Namun karena hari ini ada acara penting, seluruh penduduk desa harus kembali ke pedesaan sebelum malam tiba. Aku juga punya janji dengan tiga orang.
Segera aku memasuki kandang tanpa ada seorang pun yang tahu dari ayah dan ibuku. Setelah aku pastikan dua puluh ekor kambingku masuk ke tempatnya masing-masing. Aku segera menaiki kudaku, memacunya menuju ke lapangan di akademi. Aku tidak berpamitan pada orang di rumah, pasti juga tidak ada orang di rumah. Ayah pasti sedang memimpin rapat sebelum acaranya dimulai. Ibu pasti juga sedang di akademi belum pulang. Ia pasti mempersiapkan untuk pertandingan beberapa hari lagi.
Aku memacu kudaku menuju lapangan akademi di tengah kota. Tiga orang sudah menungguku di sana. Timku. Tiga kuda besar dan penunggangnya duduk tegap di punggungnya. Aku ikut merapat ke antara mereka.
“Kau terlambat lagi, Artras!” Ujar Jana. Satu-satunya perempuan di tim kami dan juga yang paling perhatian.
Napas Ku terengah-engah. “Aku minta maaf, sungguh!” Ucapku menyesal. “Aku baru saja pulang dari menggembala.”
“Kuharap kau tidak terlambat lagi saat pertandingan dimulai.” Ucap Yundan ketus. Dia orang yang dingin.
BUKK!!
Zanas mengepak punggung Yundan, kakaknya, pelan. “Ayolah, bisakah kau melupakan kejadian tahun lalu.” Ujar Zanas kesal dengan perkataan kakaknya.
“Itu benar!” Yundan menatap Zanas tajam. “Jika aku tidak menjemputnya di tepian sungai, kita pasti sudah ditetapkan jadi kalah.”
“Tapi kau melupakan jika ia juga bertarung sendirian tanpa bantuan selama hampir dua jam?!” Bentak Zanas. Ia mengepalkan tangannya, seperti ingin mengajak bertarung kakaknya.
Perdebatan kedua saudara kembar terdengar nyaring sampai jelas jika mereka akan bertarung, hingga tiba-tiba...
BLAAMMM!!!
Ringikan kuda-kuda yang terkejut sambil mengangkat kedua kaki depannya terdengar jelas karena kaget. Itu ulah Jana, ia membuat dinding pemisah antara dua saudara kembar itu. jika tidak, mereka akan bertarung. Seketika mereka berhenti bicara.
“Bisakah kalian kesampingkan hal semacam ini? Jangan gunakan emosi kalian untuk hal yang jelas seperti ini.” Jana memberi nasehat. “Biarlah yang lalu itu berlalu. Kita akan memulai hal baru lagi. Tapi kita gunakan yang lalu itu sebagai pelajaran.” Mata Jana menatap kami satu persatu. Memberi peringatan.
Jana jika sudah marah tak ada yang berani bicara. Ia bagaikan seorang ibu yang memarahi anak-anaknya yang tak kunjung pulang. Itu juga sebab tak ada seorangpun di akademi mau menjadi kekasihnya. Itu bukan aku. Bisa aku katakan secara umum.
Dia juga menatapku dengan mata merah padam. Aku takut jika ia tiba-tiba menyerang dengan elemen tanahnya, aku tidak akan bisa menahannya. Elemen tanahnya yang terkuat ke tiga di akademi. Aku yang kedua. Walau begitu ia selangkah lebih dekat ke arahku.
Jana menatapku. Membuatku gugup.
“Ada...apa?” Tanyaku gugup.
Jana memicingkan mata. “Kau kenapa?”
Aku menggeleng cepat. “Tidak apa-apa!” Aku memalingkan tatapanku dari matanya.
Jana mengalihkan matanya ke Yundan. “Yundan, beritahu kami apa yang kau temukan.” Desak Jana hingga membuat Yundan kaget dengan bentakannya.
"Sebentar, ibu-ibu!” Yundan mengomel sambil mendekat.
“Apa katamu?” Mata Jana kembali memerah marah menatap Yundan.
Dengan cepat Zanas yang jelas paham akan hal itu dan pasti Jana akan mengajak berkelahi dan itu juga akan membuat waktu terbuang sia-sia. “Aah...lupakan! Lupakanlah itu!” Zanas melambaikan tangannya di depan wajah Jana sambil memasang wajah lucu untuk menenangkan Jana.
Jana mengepalkan tangannya. Tapi lagi-lagi Zanas menenangkan Jana. Untuk akhirnya Jana kembali tenang, tapi jelas Jana masih menyimpan emosinya. Lagipula, kenapa pula Yundan memancing emosi Jana saat ia selesai marah. Ia bisa menghantam kami dan bisa membuat kami masuk rumah sakit di kota saat dua tahun lalu.
“Baik, langsung saja kenapa kita berkumpul di sini.” Zanas langsung memulai inti pembicaraan sebelum Yundan bicara. “Kali ini kita akan menghadapi beberapa lawan yang sulit daripada beberapa tahun lalu.”
“Mereka ada kelompok perempuan, Taike. Kelompok Yacob yang menang empat kali berturut-turut. Lalu kelompok Zoya yang paling berbahaya.” Yundan menambahi.
“Hanya itu?” Tanyaku tak percaya.
“’Hanya itu?’ Kau bilang? Hei, lawanmu Taike adalah pengguna elemen angin terbaik di akademi. Zoya adalah kelompok paling menakutkan yang selalu mengalahkan lawannya dengan jebakan-jebakan yang tidak masuk akal.” Yundan menghardik.
Zanas turun dari kudanya. “Kita harus cari dari mereka siapa yang paling mudah dikalahkan,”
Aku menggaruk kepalaku. “Taike?” Aku berusaha memberikan jawaban, walaupun hanya mengasal.
“Kau gila?” Hardik Zanas. “Mereka ahli elemen angin yang membuat mereka bergerak cepat.”
Aku menggeleng, “Bukan itu, justru itulah. Kau sendiri apa tak pernah membaca biografi mereka? Taike lebih hebat dalam pertarungan jarak jauh. Itulah kelemahan mereka.”
“Kau memang ahli strategi terbaik, Artras.” Puji Jana.
“Tapi lemah dalam elemen,” Sindir Yundan, matanya melirik ke arahku.
Tangan Jana mengepal dilapisi batuan keras karena Yundan selalu membuat kami kesal. Jana bersiap menghajar Yundan, tapi aku menghentikannya. “Sudahlah, tak perlu begitu, Jana.” Aku menatap mata Jana. Ia seperti kesal aku menahannya. Entah kenapa saat aku berbicara padanya, ia bisa mudah tenang. Bahkan Zanas perlu meyakinkan Jana lebih keras. “Aku bisa jadi lebih baik walaupun hanya dengan elemen tanah dan api yang yang tak sempurna. Aku bisa jadi lebih hebat dari siapapun.”
“Hebat?!” Yundan tersenyum sinis. “Kau sudah ditakdirkan seperti itu.”
Yundan melaingkan wajahnya padaku. Mungkin ia menyesal karena ia kalah dalam perlombaan lari dengan ku. Jelas ia tidak suka bergabung denganku, walaupun kita saling mengenal sejak kita masih kecil, tapi Yundan hampir selalu menyudutkan ku sejak dulu. Berbeda dengan Zanas, walaupun dia orang yang mudah marah, dia selalu baik padaku sebagai seorang yang punya masalah serius dalam masalah elemen. Zanas sendiri selalu suka jika ia bekerjasama denganku, apalagi dalam hal strategi, aku bisa jadi yang paling diandalkan.
“Sudah cukup, kakak!” Bentak Zanas pada Yundan.
“Sebaiknya kita tak bersikap bermusuhan sebagai sesama kawan,” Jana menyindir Yundan.
“Aku hanya berharap kita bisa bekerjasama di pertandingan nanti.” Aku menimpali.
Memang dalam pertempuran nanti, kita bisa bekerjasama. Namun, sekarang kita sudah berselisih paham. Apalagi aku yang selalu jadi bahan pembuat masalah. Zanas sendiri pasti akan mengikuti langkah kakaknya. Tapi mereka tidak akan ingkar janji, mereka tetap akan bertanding bersamaku. Walaupun mungkin kita bisa gagal nanti. Tapi setidaknya kita sudah berusaha hingga akhir pertandingan. Kita nantinya kan jadi pedang tajam yang melukai diri sendiri.
“Kita bertemu di pertandingan nanti.” Ujar Zanas.
Zanas menaiki kudanya mengikuti langkah kuda kakaknya. Mereka berdua berlalu pergi meninggalkan kami berdua. Mereka masih sedikit berdebat saat berjalan. Sayup-sayup suara mereka masih terdengar sampai ke kami. Entah apa yang mereka debatkan, tapi jelas mereka saudara kembar yang selalu berselisih paham.
Jana berlalu setelah dua saudara itu pergi. Aku mengikuti Jana dari belakang. Aku mempercepat langkah kudaku hingga menyamakan langkah kuda kami. Langkah kuda kita pelan. Sedikit santai pulang ke perkampungan. Kami searah perjalanan.
Aku mendekati Jana.
“Aku hanya tak suka dengan sikap Yundan yang selalu menyudutkan dirimu. Mentang-mentang ia punya kemampuan yang hebat dari angkatan kita di akademi. Tapi setidaknya ia punya etika yang baik, berbanding terbalik dengan kehebatannya.” Jana menyindir Yundan. Ia tambah kesal. Sebenarnya aku yang mau memulai permbicaraan, tapi ia yang memulai lebih dulu.
Aku nyengir saja mendengar pembicaraannya. “Aku yang terlemah di akademi,”
Jana tertawa pelan. “Kau terlalu polos, Artras.”
. Aku balas tertawa. “Itu tidak lucu. Lagipula, itu memang benar, kan? Meski aku lebih hebat dalam kemampuan fisik.” Aku lanjut tertawa pelan.
Jana kembali tertawa kecil. Hal yang tak pernah kulihat dari Jana. Hampir tak pernah. Ia bisa tersenyum dan tertawa adalah hal yang langka. Dia selalu terlihat marah sehingga membuat kami rekan setimnya merasa ketakutan, kadang juga merasa jengkel. Dia memang pemarah, tapi itu jika benar-benar hal yang salah.
“Sampai bertemu di pertandingan, Artras!!” Jana memacu kudanya sambil melambaikan tangannya padaku sambil mengulas senyum ramah padaku. Aku juga membalas senyumnya lalu memacu kuda dengan cepat kembali ke perkampungan setelah Jana terlihat jauh dari pandangan mata karena terhalang gelapnya malam.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 37 Episodes
Comments