“Hanya itu uang yang aku punya Mbak , sudah tidak ada lagi. Itupun celengan Nana yang menjadi korban”
“Ya harus begitu, toh kan Nana yang bersalah!”
Aku hanya diam.
“Baiklah, Karena sedang baik hati, walaupun kurang lima ribu, aku ikhlas. Dan, ku anggap hutangmu lunas!”
Aku tersenyum getir rupanya hidup dengan bermain – main denganku. Uang yang semalam Bi Hasna kasih sudah ku belikan beras dan kebutuhan lainnya.
Mbak Marni melenggang begitu saja, meninggalkan aku dengan perasaan hancur. Aku sudah tak sanggup melanjutkan kegiatan menyapu ku. Ku seret langkah menuju teras , ku rubuhkan diri ini di salah satu kursi.
Aku di kagetkan oleh sebuah tepukan di bahuku. Ku donga kan kepala rupanya bapak mertua yang datang.
“kamu ada masalah, Fir?” Tanya bapak mertua.
“mm…. Fira tidak ada masalah apa – apa kok, Pak, sahutku ragu – ragu.
“kamu jangan bohong, buktinya kamu dari tadi melamun, sampai – sampai Bapak datang kamu tidak tahu.”
“Oh eh, pak, ta -tdi Fira memang sedang melamun. Lagi mikir mau masak apa nanti siang.” Ku garuk tengkuk yang tak gatal. Aku jadi salah tingkat, sebab bapak mertua menatapku penuh selidik.
“kamu sedang ada masalahkan, Fir ? jangan bohong sama Bapak. Kalau sedang ada masalah itu cerita, jangan hanya di pendam.”
Aku tersenyum kecut. Meremang rasanya sekujur tubuh mendengar semua penuturan bapak. Tanpa bisa ku komando, air mata luruh tanpa permisi.
Aku menangis sesenggukan, sesak rasanya dada ini. Bapak menepuk pelan berkali – kali bahu ini. Bapak tak bersuara, seolah memberi ruang untukku mengeluarkan semua sesak.
Beberapa menit kemudian, tangis ku mulai reda. Setelah menangis, dadaku rasanya plong tidak sesak seperti tadi. Ku usap kasar wajah yang sudah basah.
“setelah menangis, rasanya lebih plong kan?” Tanya bapak mertua.
Aku mengangguk samar.
Kulihat Bapak tersenyum tipis.
“Menangis memang tidak bisa menyelesaikan masalah, tetapi dengan menangis kita bisa meluapkan emosi yang selama ini terpendam. Tidak masalah, menangis bukan berarti kita lemah.” Lagi bapak mertua menepuk bahuku.
“Bapak minta maaf atas nama Ibu, mungkin selama ini perilaku Ibu mertua mu tidak pernah baik, Dan, ini uang untukmu, kamu pasti sangat membutuhkan nya.” Bapak mengulurkan beberapa lembar uang seratus ribuan.
Ku arahkan tatapan sepenuhnya pada Bapak, semua tampak kabur. Rupanya cairan hangat lagi – lagi mengenang di pelupuk mata.
“Ambillah, Fir, mungkin ini tidak seberapa dengan apa yang sudah kamu korbankan selama ini. Terlebih, semenjak Deden, tak bisa lagi menafkahi. maaf, Bapak tidak bisa sering- sering membantu.”
Ku raih uang itu dengan tangan yang gemetar, Ya Allah, ampuni aku yang sempat mengeluh merutuki keadaan. Pertolongan memang selalu ada di waktu yang tepat.
“terima kasih banyak, Pak.” Ku raih tangan bapak, ku cium takzim. Lama sekali aku dalam situasi seperti itu. Beliau sudah seperi Bapak sendiri bagiku. Sikapnya yang selalu manis, memperlakukan aku bak anak sendiri.
Hanya saja, dia tak bisa sering – sering menolongku. Ibu mertua akan selalu mengawasi, dan akan marah – marah bila tahu Bapak memberi bantuan apalagi uang kepadaku.
“bagaimana dengan Ibu, Pak ?”
“Ibu sedang ke pasar, dia tidak tahu kalau bapak datang ke sini. Juga tentang uang itu kamu rahasiakan, ya”
“Sekali lagi, terima kasih banyak, Pak.”
“Sudah menjadi kewajiban Bapak memberi bantuan di saat kamu mengalami kesulitan. Kamu ingat ya, Fira, kamu sudah Bapak anggap seperti anak sendiri. Jangan sungkan – sungkan meminta bantuan, asal jangan sampai ibumu tahu.”
Bapak tersenyum kecut. “ Bapak memang lemah, Fir. Terlalu takut pada istri. tetapi, mau bagaimana lagi, kesuksesan Bapak juga atas campur tangan ibu.
Ya, aku tahu itu, Bapak sekarang sudah mapan, memiliki lahan sawit yang lumayan luas, dengan penghasilan yang lumayan setiap bulannya. Hal itu tidak lepas dari bantuan ibu mertua. Semua modal ibi yang punya, sementara bapak hanya mengelola.
Bapak mertua pamit pulang. Beliau tak bisa mampir berlama-lama, takut ibu mertua mencarinya. Bahkan bapak tak sempat menemui Nana, sebab Nana masih terlelap.
Aku masuk ke dalam rumah, hendak menghitung uang pemberian dari Bapak mertua.
Ada enam lembar, uang seratusan ribuan. Ya Allah, ini bahkan jauh lebih besar dari uang yang sudah aku keluarkan. Lagi – lagi aku memohon ampun untuk diri ini yang sempat mengeluh, juga merutuki keadaan.
Dari kejadian beberapa hari ini, aku banyak belajar tentang Ikhlas, sesuatu yang sudah terlepas, jika itu masih menjadi rezeki kita, maka akan tetap kembali engan caranya sendiri. Yang terpenting tetaplah tanamkan rasa ikhlas dalam hati ini.
“terima kasih banyak, Ya Allah, dengan uang ini aku masih bisa tetap berjualan hari ini.” Gumam ku, seraya mencium uang itu berkali- kali.
“Ah Fir, ternyata begitu mudah untuk membahagiakan mu. Di hadiahi,uang merah itu saja, kau seolah sudah lupa daratan.
Meskipun, sudah bisa di pastikan separuh dari uang itu juga akan kembali di minta oleh Ibu mertua, untuk menutupi kekurangan uang sewa kontrakan.
Pernah terlintas niat ingin pindah saja dari kontrakan ini, mencari kontrakan lain yang tentunya lebih murah, dan pemiliknya pun tidak akan asal menagih sewaan.
Namun, urung ku lakukan. Jika aku pindah, itu sama saja aku menciptakan jurang pemisah yang makin jauh antara aku dan Ibu mertua.
Sekarang saja, Ibu mertua sikapnya begitu kasar dan terkesan semena – mena kepadaku. Bagaimana jika akau Pindah, mungkin aku tak akan lagi diakui menantu, atau bisa saja melakukan hal yang tak di sangka – sangka.
Aku bertahan pun, Karena ingin menghargai Bapak mertua. Beliau sudah menganggap ku seperti anak sendiri begitu juga sebaliknya.
Biarlah ku jalani saja hidup seperti ini, bukankah roda itu selalu berputar, begitulah kehidupan.
. “Fira…”Mendengar panggilan dari emas Deden, aku bergegas melipat lembaran itu, memasukan ke saku daster.
“Iya Mas, ada apa?”
“Mas seperti mendengar suara Bapak, Fir, Apa Mas hanya bermimpi?”
“Bukan mimpi, Mas, beneran ada Bapak. tetapi, sudah pulang. Bapak tidak bisa mampir lama – lama.”
“Ada perlu apa bapak ke sini ?”
Ku rogoh saku daster, ku pamerkan lembaran uang itu ke arah emas Deden. “ngantar rezeki”
“kok bisa Fira. memang di bolehin sama ibu?”
“kata bapak diam – diam saja, Mas, jangan sampai Ibu tahu. Lagian uang ibu juga akan kembali kepada ibu nantinya.” Aku terkekeh pelan.
“Iya juga ya.” Mas Deden nyengir, memamerkan deret giginya.
“Alhamdulilah, Mas. Hari ini Fira masih bisa berjualan, padahal tadi niatnya mau libur dahulu, soalnya sudah tidak ada modal”
“Kamu yang sabar ya, Fira. Mas janji nakan segera sembuh, jika emas sudah pulih nantinya, kamu tidak akan bekerja keras seperti ini lagi. Biarkan Mas yang berjuang dan bekerja untuk membahagiakan kamu dan anak kita.”
Aku tersenyum mendengar penuturan Mas Deden,. Sepertinya, semangat sembuhnya sudah kembali membara. Senang rasanya, suamiku kembali bangkit dan tak banyak murung.
“Fira yakin Mas Deden, pasti akan sembuh seperti sediakala. Yang terpenting, yakin saja dahulu, dan jangan pernah putus berdoa. Fira janji, sampai ajal menjemput sekalipun Fira, akan tetap bersama emas Deden.”
Mas Deden menepuk kasur di sebelahnya. Aku mendekat, lantas duduk di sana. Di sentuhnya lembut jemari ini. Di ciumnya berkali – kali. Duh jadi malu.
Kini jemarinya beralih ke wajahku, di rangkulnya dengan kedua tangan. Lama netra kami saling beradu.
“Ternyata istri Deden ini cantik sekali ya,” lirihnya.
Aku tersenyum mendengar penuturan Mas Deden. Sepertinya, semangat untuk sembuhnya sudah kembali membara. Senang rasanya, suamiku perlahan bangkit dan tak lagi banyak murung.
“Fira yakin, Mas Deden pasti akan sembuh seperti sediakala. Yang terpenting, yakin saja dahulu, dana jangan pernah putus berdoa. Fira janji, sampai ajal menjemput sekalipun, Fira akan menemani emas Deden.
Bersambung….
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments