Malaikat penolongku

“Kepala juga minta di pijit, Mas,” ucapku sok manja

“Ya udah sini.” Mas Deden, langsung memijat kepalaku. Setiap sentuhannya terasa menenangkan, seolah jemarinya tahu titik-titik sakit yang sejak tadi aku rasakan.

“Bahu nya juga minta di pijit rupanya, Mas,”

“Itu mah maunya kamu, Fira.” emas Deden memukul pelan pipi ku. Aku terbahak.

“Ya sudah sini dipijit juga.” Mas Deden memijit tengkuk serta bahuku dengan lembut. Mas Deden sesekali menggelitik pinggangku, menjadikan aku terpingkal kegelian.

Sudah lama kami tidak bercanda seperti ini. Kecelakaan itu merenggut banyak hal. Selain kesehatan suamiku, dia juga merenggut senyum dan tingkah konyolnya. Berganti menjadi seorang Deden yang pendiam, pemarah dan emosian.

“Mas!” pekikku seraya memukul lengan Mas Deden.

“Napa toh, Fira?” Mas Deden tampak kesal.

“Itu loh, Mas. Si Nana, Nana mana?, dari tadi tidak kelihatan ini.” Aku segera bangkit, hendak mencari keberadaan gadis kecilku.

Ku telusuri ruang tengah hingga ruang tamu. Tak ku temukan keberadaan. Jantungku mulai berpacu hebat.

Ku ayunkan langkah kaki menuju dapur. Di sudut dapur, kulihat Nana tengah sibuk memainkan sesuatu.

“Nana sedang apa, Nak?” Bocah itu terkesiap melihat kedatanganku.

"Ini duit, Ma, buat bayar kaca rumah Bibi Marni" Nana mengulirkan beberapa uang ke arahku.

Pandanganku ter arah, ke lantai, sebuah pemandangan menyedihkan berhasil menyentil ulu hati. Nana baru saja memecahkan celengan ayam miliknya.

Aku memang sejak lama mengajarkan Nana untuk menabung, walaupun yang mengisi celengan itu aku sendiri. Agar Nana giat menabung, aku selalu mengatakan bahwa uang itu miliknya. Setiap kali ada sisaan belanja di warung, Nana akan selalu meminta agar uang itu di masukan ke celengan.

Tanpa ku sadari, luruh sudah air mata ini. Langsung ku peluk tubuh mungil anak semata wayangku ini.

“Uang ini kan tabungan Nana, masalah jendela Bi Marni, biar mama saja yang pikirkan,” ucapku sesenggukan

"Tidak apa, Ma, kan duit Mama sudah di ambil Nenek semua." Ucap Nana dengan suara bergetar. Bahunya berguncang hebat.

Tak Ku sangka bocah sekecil Nana, punya pemikiran sejauh ini. Aku tahu, bukan Nana yang berbuat, tetapi mengapa dia begitu bertanggung jawab untuk perbuatan yang tidak dia perbuat.

🍉🍉🍉

Sudah berkali- kali aku cek notifikasi di ponsel jadul milikku. Yang ku tunggu belum juga memberi kabar . jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Sudah lewat satu jam setengah dari yang di janjikan.

Kembali ku kirim pesan kepada kontak yang ku beri nama Bi Yanti.

‘maaf sebelumnya, pesanannya jadi di ambil Bi?’ kira – kira begitulah isi pesan yang ku kirim centang dua, kulihat Bi Yanti tengah daring. tetapi, pesanku tak kunjung di baca.

Waktu terus bergulir, Bi Yanti tak kunjung membalas pesanku. Aku mulai khawatir , takut – takut es kul – kul tak jadi di ambil. Padahal semua modalku sudah tenggelam di dalamnya. Tidak ada lagi sisa uang yang aku punya hasil berjualan sudah di ambil oleh ibu mertua.

Padahal aku berharap uang dari penjualan es kul kul itu akan aku belikan beras dan telur nantinya.

‘Bu pesanannya jadi di ambilkan?’ kembali ku kirim pesan kepada nomor BI Yanti. Masih belum juga di balas. Padahal kontaknya tengah daring.

Ku putuskan untuk menelpon. Berdering. tetapi, tetap tidak di angkat. Hingga panggilan ketiga tetap tidak di angkat.

Aku pasrah lagi – lagi es kul kul buatanku berakhir menyedihkan. Kalau tidak serius memesan, sebaiknya di batalkan kan saja dari awal. Tidak tahukah dia. Kalau usahaku ini bermodalkan recehan. Aku tidaklah mencari untung banyak, dapat untuk makan saja sudah bersyukur.

“Mama mengapa sedih?" Pertanyaan Nana berhasil membuyarkan lamunanku.

Tanpa sadar, rupanya netra ini sudah banjir air mata. Aku begitulah lemah, rasanya hidup tengah bermain – main denganku.

Semalam, kala aku menerima pesanan dari Bi Yanti, aku begitu antusias dan senang. Namun, kenyataan lagi – lagi menamparku demikian kuat.

Usai mendirikan kewajiban empat rakaat, aku menengadahkan tangan ini ke langit, memohon ampun atas segala dosa dan khilaf. Memohon kepada sang pemilik alam semesta. Agar kembali menguatkan hati dan juga bahu ku. Kuat menerima cobaan serta ujian yang tak kenal antre.

Dalam khususnya berdoa, terdengar suara ketukan pintu. Gegas ku tutup doa ku. Melepas mukena, lantas meraih hijab instan milikku.

“Assalamualaikum..”

“walaikumsaalam”

“Maaf Fira, lagi lagi saya datang di waktu malam begini”

“Oh tidak apa - apa, Bi, mari masuk” Rupanya yang datang Bi hasna. Entah ada keperluan apalagi, wanita paruh baya itu kembali menyambangi rumahku malam begini.

“Di sini saja,, Fira, saya tidak lama kok.”

“Ada keperluan apa ya, Bi?”

“Jadi begini Fira, cucu saya sedang datang main ke rumah, dia mau makan es kul kul buatan kamu lagi, dua hari yang lalu saat saya membeli es kul kul untuk teman teman, kuliah anak saya. Dia ikut mencicipi dan sekarang sedang berkunjung ke sini minta lagi, kamu bisa tolong buatkan Es kul – kul, bisa. Fira?”

Mendengar penjelasan Bi Hasna, seketika pikiranku melayang pada es kul – kul yang berada di dalam kulkas.

“tidak bisa ya, Fira, iya sih saya datangnya mendadak begini.” Bi Hasna menatap ku tidak nyaman.

“Sebenarnya di dapur sudah ada sepuluh bungkus es kul kul harga lima ribu Bi”

“Wah yang benar, Fir, buat Bibi saja, ya..”

“Tetapi… itu pesanan Bu Yanti Bi. Janjinya di ambil jam empat sore, tetapi sudah jam segini belum di ambil. Sudah saya chat tidak dib alas, bahkan saya telepon juga tidak di angkat.”

“Si Yanti memang begitu, Fira, tidak bertanggung jawab orangnya. Ya sudah, biar Bibi saja yang ambil.”

“tetapi, Fira takut, Bi. Nanti Bu Yanti datang kemari es kul -kul tidak ada.”

“Tenang saja, biar Bibi yang kasih tahu nantinya, kan sekalian lewat depan rumah dia. Es kul-kul nya untuk Bibi saja ya.” Bi Hasna menatapku memelas.

Akhirnya, ku putuskan untuk memberikan sepuluh bungkus es kul kul itu pada bi Hasna, daripada aku menunggu yang tidak pasti. Bi Yanti juga tak kunjung memberi kabar.

“Terima kasih, ya, Fira. Ini uangnya.” Sekantung besar es kul kul dengan aneka toping itu sudah berpindah tangan ke Bi Hasna, wanita itu lantas dua lembar seratus ribu dan dua puluh ribu.

“Totalnya hanya seratus ribu Bi”

“Sisanya untuk Nana, buat beli susu” ucap Bi Hasna.

ah lagi lagi BI Hasna, Jadi Malaikat penolong ku, mungkin Allah menitipkan rejekiku lewat wanita paruh baya itu.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!