Nana Di Rumah Saja

“Bagaimana kalau Nana di rumah saja?” Pandangan Mas Deden beralih kepada Hana. Ya, putri kami bernama Hana, karena dia belum fasih menyebutkan namanya sendiri, jadilah dia menyematkan panggilan sebagai Nana.

Nana cepat menggeleng, lantas bersembunyi di balik tubuhku. Semenjak kecelakaan itu, hubungan Nana dan emas Deden memang merenggang. emas Deden tak mau lagi mengajak Nana bermain atau sekadar mengobrol.

Sepanjang hari, hanya di habiskan dengan melamun dan melamun. Sering marah – marah hanya karena Hal sepele. Menjadikan putri semata wayang kami takut kepadanya dan lebih dekat kepadaku.

“Nana biar ikut dengan Fira saja, emas. Lagian nanti emas repot kalau Nana mau minta makan atau buang air.

“lelaki itu hanya mengangguk samar. Ada raut kesedihan yang terpancar di wajahnya. Mungkin dia, baru menyadari, betapa nana sudah sangat jauh dari dirinya. Bukan salah Nana toh emas Deden sendiri yang menciptakan jarak.

🍉🍉🍉

Sepuluh menit berkendara, aku dan Nana akhirnya tiba di tepi danau. Sudah ramai

 pengunjung. Perlahan sudut bibirku terangkat.

kulihat anak – anak muda sudah duduk di kursi kayu. Ada yang datang bersama rekan sejawat, ada yang bersama pasangan, ada pula sebuah keluarga kecil. Di tepi danau, banyak sekal pohon – [pohon besar yang tumbuh, di bawahnya memang di sediakan kursi kayu.

Di sana juga ada tempat bermain anak - anak, hingga Nana tidak akan bosan bila harus menunggu aku berjualan. Di sana juga di sediakan kolam pancing. Hampir setiap hari, di penuhi oleh para bapak – bapak yang hobi memancing.

Aku gegas mengambil meja kecil, yang sengaja ku simpan di sebuah saung kecil. Di sana kami para pedagang, biasanya menyimpan alat- alat kebutuhan untuk berjualan.

“mari bu, neng, adek adek beli es kul-kul nya. Harga murah, rasa di jamin enak.” Aku mulai menawarkan daganganku. Namun orang orang hanya tersenyum tanpa memilih singgah di lapak ku.

Ya allah, jangan sampai hari hari kemarin terulang lagi. Banyak utang yang harus ku bayar. Jendela yang pecah, sewa kontrakan, ah semua seolah menari nari di benakku.

“es kul – kul dua, Bu, yang harga lima ribuan.”

“saya juga dua, Bu, lima ribuan”

“saya satu, Mbak yang dua ribuan”

“Es kul – kul satu Neng, lima ribuan.”

Satu per satu pembeli mampir di lapakku. Ku layani setiap yang datang dengan senyum serta sapaan hangat.

Bukankah rezeki akan mudah datang pada orang yang senantiasa berbahagia?

Jangan banyak mengeluh, Maka Nikmat dan rezeki akan senantiasa datang tanpa di sangka - sangka.

Begitulah nasihat Bapak yang dulunya selalu dia dengarkan kepada kami anak – anaknya.

Magrib sudah menjelang, sang surya perlahan tenggelam. Gegas ku kemasi barang jualanku. Dari dua puluh tiga bungkus Es kul – kul yang ku bawa tersisa tiga bungkus harga lima ribuan . Syukurlah meski masih ada sisa, setidaknya aku mendapatkan uang hari ini.

🍌🍌🍌

Saat tiba di rumah, kulihat ibu mertua sudah menunggu di teras. Ternyata dia tak main – main dengan ucapnya tadi siang. Sudah pasti dia ingin menagih uang kontrakan.

“Assalamualaikum, Bu, mari masuk…”

“Tidak perlu basa basi mana uangnya?”

“Maaf bu Fira belum ada uangnya.”

“Jangan bohong kamu! Kamu kan baru pulang jualan, masa dia gak dapet duit.”

“Sungguh bu uang ini untuk moda jualan besok”

Tanpa ba- bi-bu, Ibu mertua langsung merebut paksa tas kecil di tanganku. Diambilnya beberapa lembar uang di dalamnya.

“Lho kok cuman ada seratus rib, kurang ini., Fira!” ucap ibu usai menghitung uang lembaran di tangannya.

“Fira hanya punya uang segitu, Bu. Belum lagi Fira harus ganti rugi jendela rumah Mbak Marni.”

“Lho mengapa”

“Nana di tuduh memecahkan jendela Bu.”

“Ibu sama anak sama saja bodoh mangkanya kamu ajarin anak kamu biar gak bandel “

“ Bukan Nana pelakunya, Bu, Nana di fitnah.” Aku tidak terima, anakku di katai begitu, meski oleh neneknya sendiri.

“Ah terserah! Uang ini Ibu ambil, sisanya harus kamu bayar secepatnya!” Ibu melempar kasar tas itu ke arahku.

“Jangan di ambil semua, Bu, uang itu untuk modal jualan besok .”

Aku berusaha menahan langkah ibu mertua yang hendak akan berlalu.

“Ini saja masih kurang banyak masih untung kamu tidak saya usir,minggir sana !” Ibu mertua mendorong tubuhku, aku terhuyung hampir saja terjerembah.

”Fira mohon Bu, jangan ambil semua. Jika Ibu tak kasian pada Fira tolong kasihanilah emas Deden, dia anak kandung ibu. Atau bahkan Nana, dia cucu Ibu.” Aku tah hentinya mengiba dan memohon kepada Ibu mertua. Harap, dia masih punya belas kasihan.

“Untuk apa aku peduli pada orang lain timpalnya, ketus.

“Mungkin Fira hanya orang lain di mata Ibu meskipun status Fira adalah menantu, bagian dari keluarga ibu juga. tetapi, Mas Deden, bukan orang lain, Bu, dia darah daging ibu, anak kandung Ibu. Tolong Jangan lakukan ini pada kami, Bu.”

“baik kamu ataupun Deden, sama – sama orang lain bagiku! Sudahlah minggir sana aku muak lihat wajah bod*h mu itu.

“Ini apa? Sini! Ibu mertua turut merampas kantung yang berisi sisa ceker mercon dari tanganku.

Sama – sama orang lain ? apa maksud kata – kata ibu mertua barusan?Ah entahlah, kepalaku terasa berdenyut hebat. Semua tampak menghitam, dengan langkah sempoyongan aku berjalan mauk ke dalam rumah.

Saat di dalam rumah, aku kembali di kagetkan dengan keberadaan Mas Deden yang sudah berada di lantai. Lelaki itu susah payah menyeret diri dengan mengesot. Gegas ku hampiri dia, meski kepalaku berdenyut tak karuan.

“Ya Allah, Mas Deden mau ke mana, mengapa tidak memanggil Fira, kalau perlu apa – apa panggil saja Fira emas, jangan menyusahkan diri sendiri seperti ini.”

“Mas mau menemui Ibu, Fir.”

“Ibu sudah pulang.” Ku bantu suamiku untuk berdiri, menuntunnya kembali masuk ke dalam kamar. Saat ingin merebahkan di kasur, tiba-tiba aku hilang keseimbangan.

Bruk ! kami jatuh bersamaan. Salah satu tanganku tertimpa Mas Deden, sakit sekali. Sepertinya tanganku terkilir. Melihat aku meringis kesakitan , Mas Deden susah payah mengalihkan tubuhnya dariku.

“kamu tidak apa-apa,Fira?” Mas Deden meraih tanganku memijatnya dengan pelan. “ayo luruskan tangan mu Fira”

Mas Deden dengan telaten mengurut tanganku, sementara aku masih meringis menikmati setiap rasa sakit yang kian menjalar. Sudahlah sejak tadi kepala berdenyut- denyut, sekarang tanganku justru terkilir, lengkap sudah.

“masih sakit, Fir” Tanya Mas Deden beberapa menit kemudian. Aku menggeleng. Sakit di tanganku berangsur hilang, meski masih terasa ngilu, namun bisa ku tahan.

Bersambung

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!