Hari tes pun tiba. Ayudia berangkat kali ini diantar oleh ayahnya karena entah kenapa teman-temannya tak mengajaknya serta. Mungkin karena tersinggung saat mengajak belajar bersama tetapi ditolak olehnya kala itu.
Sang ayah sudah bersedia menutup bengkelnya hari itu sengaja untuk mengantar putrinya berangkat tes sejak Subuh karena jarak antara rumah mereka bila ditempuh dengan sepeda motor lawas Pak Anwar bisa memakan waktu sekitar tiga jam. Bu Nani tak henti mendoakan snag putri untuk keberhasilannya dalam tes nanti. Beliau sampai membuat bubur untuk dibagikan pagi itu kepada para tetangga dekat untuk mendoakan keberhasilan Ayudia.
Dalam perjalanan, Ayudia tak henti mengulang kembali hapalan rumus serta apa saja yang menurutnya perlu untuk mengerjakan ujian nanti. Ia lupa untuk merapalkan doa dalam hati beserta sholawat kepada Rasulullah, hal mana justru itu yang sangat dibutuhkan dalam memohon pertolongan. Sungguh itu memang tes di mana keberuntungan serta rezeki dari Allah sangat berperan. Ia juga lupa berharap agar diberikan hasil yang terbaik, karena terlalu yakin jika ia pintar, ia mampu meraih nilai sempurna. Ayudia lupa jika ada Allah yang memberikan hasil akhir walaupun usaha begitu maksimal dan rencana begitu matang.
“Aduh, Pak, kok Dia deg-degan sekali, ya? Rasanya sampai keluar keringat dingin begini,” keluh Ayudia saat mereka baru saja turun dari motor di area parkir kampus lokasi tes dilaksanakan.
“Tenangkan diri kamu, Dia. Yakin aja kan kamu sudah giat belajar, Nak. Sekarang tinggal berusaha konsentrasi dan mengerjakan soal sebaik mungkin. Terus jangan berhenti berdoa dan sholawat dalam hati,” pesan Pak Anwar menenangkan sang putri.
Ayudia menganggukkan kepala dengan pasti meskipun tubuhnya terasa sangat tak enak. Rasanya seperti masuk angin, keringat dingin dan sedikit pucat wajahnya. Ia berpamitan kepada ayahnya untuk masuk ke ruang tes yang ditentukan. Berjalan pelan sambil menahan perasaan seperti ingin muntah dan bahkan kepala terasa berkunang-kunang.
Sementara Pak Anwar sibuk mengamati besarnya kampus serta begitu banyaknya lautan siswa lulusan SMA peserta tes tersebut. Itu baru di satu tempat saja. Belum di beberapa kampus lain yang memang dibagi karena saking banyaknya peserta pendaftar. Dalam hati ia sudah menyerahkan kepada Allah soal putrinya akan lolos atau tidak karena saingan yang begitu banyak dari berbagai kota dan pastilah kesemuanya memiliki kemampuan yang tak rendah.
Selama setengah jam pertama dipakai untuk mengisi data diri peserta sambil diberi waktu untuk menenangkan pikiran untuk yang mungkin saja baru sampai dari perjalanan jauh atau butuh waktu untuk memfokuskan konsentrasi setelah mabuk kendaraan.
Ayudia berusaha sebaik mungkin untuk menetralkan perasaan tak enak dalam tubuhnya. Ia meminum teh hangat sebotol yang memang dibawakan juga oleh ibunya selain air putih. Ia juga mengoleskan minyak angin roll on yang ada di tasnya ke perut serta belakang lehernya.
“Dia, kamu kenapa? Nggak enak badan?” tanya teman dari satu sekolahnya yang kebetulan mendapat bangku di belakangnya karena mereka mendaftarnya dapat nomor berdekatan.
“Nggak apa-apa, kayaknya masuk angin dikit nih, tadi aku naik motor sama Bapak,” jawab Ayudia dengan suara sedikit bergetar.
Temannya tampak khawatir dan melihat kepada raut wajah Ayudia yang juga pucat pasi.
“Kamu mau roti? Ini aku bawa lebih,” kata Heni, temannya tadi masih menawari bantuan karena merasa Ayudia tampak tak baik-baik saja seperti yang ia bilang barusan.
Ayudia menggeleng pelan. Perutnya bergolak tak enak. Kalau ia memaksa makan roti itu pasti akan muntah sepertinya. “Aku nggak laper, kok. Tadi udah sarapan banyak,” jawabnya berbohong.
Tadi Subuh Ayudia memang sarapan di rumah tapi sedikit sekali saking nervousnya. Tapi ia sudah menggantinya dengan minum susu di tengah perjalanan saat beristirahat dengan Pak Anwar di warung pinggir jalan tadi. Ia menyesal tadi menolak keras saat disuruh ayahnya untuk memesan nasi saja dengan beralasan perutnya masih kenyang.
“Kenapa tidak naik bis aja, Dia? Kami tadi naik bis. Kamu tidak datang di saat kami janjian naik bis jadi tidak tahu ya?” tanya Heni lagi merasa tak enak hati meninggalkan Ayudia sendiri.
“Kupikir kalian marah karena aku nggak mau ikut belajar bareng makanya nggak mau ajak aku berangkat bareng lagi,” kata Ayudia dengan suara semakin lirih. Matanya semakin mengeglap rasanya tapi ia berusaha tetap tampak biasa.
Percakapan berhenti sebab soal sudah mulai dibagikan oleh pengawas. Suasana di ruangan besar itu seketika senyap dan hanya terdengar kemeresek kertas bergesek di meja. Debaran di dada Ayudia semakin berdentam gugup. Ini adalah waktu yang sudah lama dipersiapkan dan ditunggu-tunggu olehnya. Tidak mungkin ia akan mengalah dan pergi ke klinik kampus untuk beristirahat saja. Ia harus tetap melaksanakan tes tersebut.
Dengan pening dan perut mual ia tetap mengerjakan soal demi soal yang berjumlah 180 tersebut. Soal yang terkenal sangat sulit dan menuntut logika serta konsentrasi tinggi itu dilaluinya dengan sangat tak nyaman. Namun dalam hatinya yang congkak malah yakin kalau sebagian besar jawabannya pastilah benar. Sampai saat terasa tubuhnya benar-benar tak bisa dikendalikan, setengah kesadarannya sudah hilang dan mendadak ia jatuh pingsan dari bangkunya.
Semua soal sudah buru-buru dikerjakannya sebelum benar-benar pingsan tadi. Sisa waktu yang masih panjang karena memang sesungguhnya tiap soal butuh untuk dipikirkan dengan matang. Bahkan penilaiannya saja kalau tidak diisi akan dapat skor nol, kalau salah akan dapat minus poin. Sehingga pertimbangan matang serta keyakinan salah atau benarnya harus benar-benar dipikirkan panjang.
Terjadi sedikit keributan di ruangan tersebut saat tubuh Ayudia jatuh dari kursinya dan Heni memeking kaget. Heni gegas bangkit dari kursinya dan membantu dengan petugas pengawas di sana untuk membawa Ayudia ke klinik kampus tersebut. “Silakan Adik kembali ke ruangan. Biar petugas klinik yang urus,” kata pengawas yang berkepala botak dengan kacamata tersebut.
“Sebentar, Pak, Saya izin mencarikan ayahnya dulu, ya. Saya lihat tadi ada di aula,” pinta Heni kepada sang pengawas yang lantas diizinkan.
Heni kemudian bergegas mencari-cari di mana ayah Ayudia di sekitar aula tengah di mana kebanyakan para keluarga atau penunggu para peserta berada di sana. Sebenarnya ia juga belum selesai mengerjakan soalnya sendiri, tetapi kasihan kalau sampai Ayudia tidak ditunggui ayahnya di klinik nanti. Beruntung sekali ia bisa segera menemukan sosok Pak Anwar di tengah lautan manusia itu. Astaga1 Bukan hanya peserta tes rupanya, penunggunya juga banyak sekali di sana.
“Pak! Pak Anwar! Ayudia ada di klinik sebelah sana, Pak. Dia tadi pingsan saat mengerjakan soal,” ucapnya ketika telah berada di hadapan pria itu.
Debgan wajah kaget, Pak Anwar langsung bergegas ke klinik yang ditunjuk setelah mengucapkan terima kasih kepada teman anaknya di sekolah itu.
Usai mengabari Pak Anwar, Heni kembali dengan berlarian ke ruangan yang terletak di lantai dua itu. Untung saja masih tersisa cukup waktu untuknya menyelesaikan soal yang belum dikerjakan. Entah bagaimana, oa merasa semakin mudah mengerjakan soal setelah berlarian dan berpacu dengana drenalin barusan. Mungkin karena syarafnya sedang menegang saat di awal tes dan mkini telah melonggar.
Sementara di klinik, Ayudia beberapa saat baru sadar setelah diberikan minyak angin di hidungnya dan dilonggari juga sabuk yang melingkar di celana jeansnya oleh si Mbak perawat.
“Anak saya nggak apa-apa, Sus?” tanya Pak Anwartampak cemas.
“Nggak apa-apa, Pak. Sepertinya cuma masuk angin aja ini,” katanya seraya menepukkan tangannya di perut Ayudia hingga menimbulkan suara seperti kembung itu.
“Nah, kan, kembung memang. Apa tadi pagi nggak sarapan, Pak?” tanya sang perawat menyelidik.
“Sudah tapi memang hanya sedikit, Sus.”
“Apakah rumahnya jauh dari sini?” lanjut sang suster mencari tahu sebab pingsan pasiennya tersebut.
“Iya jauh, Sus. Setengah jam di jalan tadi. Kami naik motor pula, meskipun pakai jaket mungkin dia masuk angin,” jelas Pak Anwar sambil mengelus kepala putrinya iba.
Saat sadar, Ayudia langsung menangkap sosok Pak Anwar.
“Hai?” sapa sang ayah mencandai putrinya karena tak ingin anaknya merasa tegang.
“Pak? Dia pingsan ya?” tanyanya langsung mengingat potongan-potongan kejadian sebelumnya tadi sebelum tak sadarkan diri.
“Iya, Dia. Sekarang gimana? Udah baikan? Yuk, ini udah Bapak belikan nasi bungkus, cepet di makan,” ujar Pak Anwar yang menyodorkan nasi bungkus di atas piring yang ia pinjam dari kantin kampus tersebut. Dengan cekatan pria itu menyiapkan makan untuk putrinya. Ternyata isinya nasi rawon dengan kuah yang masih menguar panas. Perut Ayudia spontan bergemerucuk pertanda lapar.
“Ya ampun, Dia. Kenapa kalau lapar tadi nolak nggak mau sarapan di jalan? Kan begini jadinya,” kata Pak Anwar dengan sabar tanpa nada menyalahkan. Ia cemas dengan kondisi putri yang disayanginya itu. Kasihan juga karena di saat yang sepenting itu malah pingsan di tengah tes berlangsung.
“Habisnya nervous, Pak. ..Kalau tegang perut nggak enak diajak makan,” jawab Ayudia merasa bersalah.
“Mau Bapak suapi?” tawar Pak Anwar yang ditolak oleh Ayudia. Ia pun mulai makan dengan lahapnya khas anak yang sedang kelaparan.
Namun Ayudia justru merasakan khawatir selama mengisi perutnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
sitimusthoharoh
kan dia sih gk mau sarapan dulu kasihan badanekan mana harus konsen m tes lagi.
lanjut
2023-06-05
0
Esti Restianti
kalau nervous jangankan makan,mikir aja ga bisa kayanya,pengennya minum trs Krn rasanya tenggorokan sllu kering yang akhirnya jadi bolak balik ke kamar mandi hihi🤭
2023-06-04
0
Susi Lawati
masuk angin itu kayak sakit biasa, tapi efeknya luar biasa,
2023-06-03
0