Siswa kelas 3 SMA setelah ujian memang sudah tidak ada kegiatan di sekolah. Mereka hanya akan datang bila ada jadwal foto ijazah atau mengembalikan diktat pinjaman dari perpustakaan sekolah, atau mengurusi administrasi. Terkadang ada juga kegiatan ekskul yang berkumpul sekedar mengisi waktu luang sambil menunggu ijazah keluar serta juga para anggota pengurus OSIS yang sibuk mengkoordinir acara perpisahan.
Hari itu Ayudia dan Elvira serta David sengaja berangkat ke sekolah karena ada urusan acara perpisahan. Ketiganya di pilih sebagai panitia. Bahkan, Ayudia nanti kebagian sebagai pembicara wakil dari kelas 3. Tapi hari itu ia ingin menyerahkan tugas itu untuk yang lain saja. Sungguh, ia tak akan siap berbicara di depan semua orang sementara dia belum tahu akan kuliah di mana.
Awalnya ia menerima tugas itu karena ia yakin sekali akan bisa menyombongkan prestasinya yang terjaring di beasiswa penuh universitas incarannya. Tapi apa daya, karena semua itu belum jadi terlaksana, ia pun tak lagi berminat untuk menjadi sang pembicara. Sungguh malang hati Ayudia yang selalu merasa bangga ketika mendapatkan banyak pujian dari orang.
“Aku mundur aja, ya. Kalian tolong cariin penggantiku,” kata Ayudia kala itu yang langsung saja membuat gempar seisi ruang OSIS. Persiapan sudah hampir oke dan akan mengubah beberapa susunan acara kalau Ayudia mundur sekarang.
“Tapi, Kak. Ini terlalu mepet kalau mau mundur. Siapa yang akan gantiin nih?” Sang ketua yang bernama Hilda anak kelas dua itu memprotes keras keputusan Ayudia.
“Banyak, kok. Itu Elvira aja juga bisa,” kata Ayudia seenaknya yang juga langsung mendpaat pelototan dari Elvira.
“Kenapa emangnya, Dia? Kan awalnya kamu semangat banget mau ngisi bagian itu,” tanya Elvira keheranan atas keputusan sepihak yang mendadak dari sahabatnya.
“Maaf, El. Tapi kamu ngerti kan, aku udah nggak semangat lagi sejak tau aku nggak lolos. Aku juga kayaknya nggak akan hadir di acara perpisahan. Jadi percuma aja kalian maksa, aku nggak akan berangkat.” Usai berkata begitu, Ayudia langsung bergegas pergi dari ruangan tanpa mau berkompromi lagi.
“Loh, Dia! Dia tunggu!” Elvira dan David mengikuti sambil berlari kecil, meninggalkan anak-anak kelas 2 pengurus inti OSIS yang jadi kelabakan mencari pengganti Ayudia.
Ayudia sudah jauh berlari ke luar sekolah. Ia langsung naik angkot untuk pulang tanpa menghiraukan seruan memanggil dari David dan Elvira. Sungguh, ia tak kuasa menahan lelehan air mata di pipinya. Ia bahkan harus menahan malu di depan David yang sebenarnya menempati tempat di sudut hatinya. Meski ia menyimpan perasaan itu begitu rapatnya hingga tak ada seorang pun yang tahu soal hal itu.
“Kenapa ya Dia?” David bertanya kepada Elvira yang menggelengkan kepalanya tak paham juga.
“Kasihan sih dia itu sebenarnya masih hancur banget karena gagal masuk di seleksi beasiswa full UI,” kata Elvira mengutarakan dugaannya.
“Karena itu dia udah nggak mau berurusan lagi dengan sekolah dan bahkan nggak mau lagi datang ke acara perpisahan. Harusnya kan dia nggak sampai segitunya, ya? Kayaknya dia itu kan emang nggak pernah merasakan yang namanya kegagalan sebelumnya, jadi kegagalan kali ini sungguh membuatnya down banget,” lanjut Elvira prihatin.
David mengangguk-anggukkan kepalanya mencoba mengerti. Ia memang belum pernah melihat Ayudia mengalami kegagalan di bidang prestasi. Maka tentu bagi Ayudia bukan hal mudah untuk bangkit dan mengacuhkan pikiran negatif nya tentang pendapat orang soal dirinya yang tak lulus seleksi beasiswa.
“Gitu amat ya, cewek. Kalau cowok mah mau gagal berapa kali pun biasa aja, nggak sampai sebaper itu.” David berkomentar tak habis pikir dengan sikap Ayudia yang menurutnya sangat berlebihan.
“Ya kan tipe mental orang bisa beda-beda, Vid.” Elvira yang bijak selalu saja bisa menemukan sisi baik dari setiap orang. Dia supel dan bisa berkawan dengan siapa saja karena ia bisa memahami bahwa setiap orang memiliki kelebihan dan kekurangan masing-masing. Elvira termasuk tipe orang yang lebih mengedepankan apa yang terjadi pasti ada yang mengatur.
David memandang kagum kepada ElvIra. Gadis itu memang seringkali membuatnya terkagum-kagum bahkan dengan sikapnya yang biasa saja. Ya, David memang ternyata semenjak dulu menympan rasanya terhadap Elvira, sahabat terdekat Ayudia. Entah akan bagaimana nanti perasaan Ayudia kala ia tahu mengenai hal itu. Akan lebih hancur dari sebelumnya kah? Atau akan ikut bahagia dengan kebahagiaan sang sahabat?
Bahkan David juga sudah fix mendaftar kuliah di Universitas yang sama dengan Elvira. Tidak susah baginya karena ia juga lumayan berprestasi dan keuangan keluarga pun mumpuni. Tampaknya hubungan mereka berdua seolah semesta merestui. Meskipun berbeda fakultas, tapi kalau masih satu universitas kan masih bisa sering bertemu.
“Kamu aja yang jadi pembicara, El. Kamu idola anak-anak kelas 3,” pungkas David akhirnya.
“Hah? Idola apa! Sialan! Nyindir ya kamu?” Elvira terkejut mendengar perkataan dari David barusan.
“Ish! Jangan merendah. Memang kamu nggak sementereng Ayudia prestasinya, tapi soal sifat kamu sama temen, kamu menang banyak. Lihat aja siapa yang punya lebih banyak teman antara kamu dan Ayudia? Kamu kan? Dia mana pernah punya temen lain selain kamu, sih?” ungkap David lagi.
Dan itu memang benar. Ayudia terlalu angkuh kepada teman lain yang dianggapnya lebih rendah darinya. Ia suka pilih-pilih teman dan hanya Elvira saja yang snaggup bertahan berteman dekat dnegannya. Itu pun karena Elvira kasihan karena melihat Ayudia yang selalu tampak sendirian saja, tidak seperti kawan-kawan cewek yang lain yang seringnya bergerombol ketika jam istirahat aqtau jam pulang.
Akhirnya diputuskan Elvira lah yang menggantikan Ayudia nanti sebagai pembicara di acara perpisahan kelas 3. Meski sudah berkeras menjemput Ayudia sampai ke rumah, ternyata dia tetap tidak mau hadir di acara tersebut. Ayudia terlalu berlebihan menanggapi kegagalannya, seolah hidupnya seketika juga berakhir hanya karena itu.
Kini akibatnya dia jadi semakin tak punya teman, semakin kehilangan kesempatan yang bisa saja datang dari banyak arah lain selain apa yang diincarnya tadi. Misalnya yang terjadi pada temannya yang terus menerus mengecek pengumuman di ruang Bimbingan Konseling, mencari celah beasiswa lain yang bisa ditembusnya, karena pasti tidak hanya tersedia hanya satu saja jalan kan?
Ayudia tak mau berusaha lagi karena ia sudah patah hati sejak pertama kali. Ia merasa dipermainkan oleh takdir padahal itu hanya sebuah kerikil ujian yang menerpa justru untuk membuatnya semakin kuat dan tangguh asal dia mau bertahan tetap berdiri tegak dan berjuang.
Sayangnya Ayudia memilih berhenti dan menangisi satu pintu yang tertutup tersebut, tanpa menyadari bahwa sesungguhnya banyak pintu kesempatan lain yang terbuka untuk dimasukinya. Sungguh kerugian yang berlipat. Saat ia sudah bangkit dari tangisan pilunya, semua sudah terlambat. Hanya tinggal jalan terjal yang susah digapai karena harus bersaing dnegan ribuan murid lain yang bisa saja jauh lebih cerdas darinya, jauh lebih besar tirakatnya kepada Rabb-Nya.
Yah, hidup memang sejatinya adalah sebuah perjuangan. Dan pemenangnya adalah mereka yang tak pernah berhenti melangkah meskipun hanya setapak demi setapak. Tak perlu berlari cepat kalau akhirnya hanya akan kelelahan dan menghabiskan waktu jauh lebih lama untuk beristirahat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 43 Episodes
Comments
Nar Sih
harus nya kegagalan mu bisa membuat mu intropeksi diri dia,mungkin terlalu pd nya kmu dgn kepadaian mu hingga lupa ada yg di atas yg slalu megawasi mu
2023-06-18
0
Mentari
yahhh begitu lah kehidupan kadang ga sesuai dengan kenyataan apa kita mau,,,tinggal gimana kita menyikapinya dengan pasitif aja
2023-06-15
0
sitimusthoharoh
itulah hidup karna kadang ap yg terjadi bisa tidak sesuai dengan ingin kita.tinggal gimana cara kita buat menyikapi ap yg sudah terlanjur terjadi.
lanjut
2023-06-05
0