Gembok selalu berpasangan dengan kuncinya. Begitu juga dengan masalah. Allah memberikan masalah pada setiap hamba-Nya, pasti dengan solusinya. Meski kita tak pernah tahu, solusi seperti apa yang Allah pilihkan untuk kita.
Nisa mengusap pergelangan tangannya yang memerah karena dicengkeram Revan. Dan sesekali, mengusap dada kirinya. Ia bahkan sambil meringis kesakitan dan menahan dadanya yang mulai terasa tidak nyaman.
Reyhan melajukan mobilnya meninggalkan gedung kantornya tanpa berucap apapun pada Nisa. Ia hanya ingin membawa Nisa pergi lebih dulu dari Revan. Baginya, ia hanya tidak bisa melihat, jika seorang wanita diperlakukan kasar oleh seorang laki-kaki. Apapun alasannya.
Beberapa menita setelah mobil Reyhan meninggalkan kantor, Nisa mulai membungkukkan badannya sembari meremas baju di bagian dada kiri atas. Ia merintih lirih. Dan itu jelas mengalihkan perhatian Reyhan yang sedang menyetir.
"Kamu kenapa, Nis?" Tanya Reyhan cemas.
Nisa hanya menggelengkan kepalanya tanpa berucap. Satu tangannya, mulai merogoh tas yang dibawanya sejak tadi. Berusaha mencari obat pereda rasa sakit yang biasa ia minum.
"Nisa!"
Nisa masih belum menjawab. Ia memilih fokus mencari obatnya, agar sakit di dadanya lekas hilang. Hingga akhirnya, ia menemukan obatnya, dan segera meminumnya.
Reyhan sedikit terkejut melihat itu. Tapi ia menyadari sesuatu, Nisa tidak memiliki air minum untuk membantunya menelan obatnya. Ia pun mulai membuka dashboard di dekat kursinya, dan mengambil sebuah botol air mineral kecil yang selalu ia siapkan.
"Minumlah!" Pinta Reyhan seraya menyerahkan botol air yang baru saja diambilnya.
"Terima kasih, Pak." Lirih Nisa.
Nisa pun segera meminum air yang diberikan Reyhan barusan. Dan setelah itu, bersandar pada kursi sembari memejamkan matanya untuk menikmati rasa sakit yang masih terasa di bagian dada kirinya.
Reyhan membiarkan Nisa bersandar di kursinya. Meski ada beberapa hal yang ingin ia tanyakan. Salah satunya adalah alamat Nisa di ibukota.
Setelah beberapa saat, Nisa mulai membuka matanya kembali. Rasa sakit di dadanya sudah mulai mereda.
"Dimana alamat rumahmu? Aku akan mengantarmu pulang." Tulus Reyhan.
Nisa segera menoleh. Ia sedikit lupa, bahwa ia sedang berada di mobil milik sang atasan. Dan bahkan, bersama sang pemilik mobil.
"Oh, maaf, Pak. Maaf merepotkan, Bapak. Saya turun di lampu merah depan saja, Pak." Sungkan Nisa.
"Kondisimu sedang tidak baik. Dimana alamat rumahmu?" Tanya Reyhan lagi.
"Tidak apa-apa, Pak. Saya sudah lebih baik. Saya akan pulang sendiri."
"Baiklah. Jika kamu tidak mau mengatakan alamat rumahmu, kamu pulang ke rumahku." Santai Reyhan.
Seperti itulah Reyhan. Ia sebenarnya pribadi yang ramah dan menyenangkan. Dan juga perhatian pada orang-orang yang berada di sekitarnya. Jadi, ia bisa cukup santai mengatakan hal itu pada Nisa, yang hampir setiap hari bertemu dengannya.
"Eh, jangan, Pak. Nanti bu,,"
Kalimat Nisa terhenti begitu saja saat mengingat istri sang atasan yang saat ini sedang sangat baik padanya itu. Ia menjadi sedikit kesal karena teringat pada sosok Viona.
"Viona? Tidak apa. Kalian sudah saling kenal, kan? Dia tidak akan salah paham jika kita menjelaskan semuanya baik-baik. Lagi pula, tadi pagi, kalian juga bicara berdua, bukan?" Sahut Reyhan santai.
Nisa yang masih memendam kekesalan di hatinya karena Viona. Akhirnya hanya menanggapi Reyhan dengan tersenyum kaku.
"Oke. Kamu ikut saya ke rumah." Imbuh Reyhan tanpa bertanya lagi.
"Jangan, Pak. Rumah saya, di Apartemen Mataram City." Aku Nisa.
"Mataram City?" Ulang Reyhan tak percaya.
Iya. Apartemen dimana Nisa tinggal, adalah salah satu apartemen yang cukup tinggi harga jual dan sewa tiap unitnya. Selain berada di lokasi yang strategis, apartemen itu juga memiliki fasitlitas penunjang yang cukup lengkap.
Jadi wajar, Reyhan sedikit terkejut dan tidak percaya jika Nisa tinggal di tempat itu. Mengingat, gaji dari pekerjaan Nisa saat ini, nyaris sangat tumpang tindih dengan biaya sewa atau mungkin harga beli per unitnya. Apalagi, Reyhan cukup tahu, jika Nisa juga harus menafkahi keluarganya yang ada di Bandung.
"Iya. Saya dan teman saya, menyewa salah satu unit apartemen di sana. Sebenarnya, unit itu, juga milik sepupu teman saya. Jadi, harga sewanya sedikit murah."
"Begitu rupanya." Sahut Reyhan sambil mengangguk paham.
"Saya turun di lampu merah depan saja, Pak. Sudah dekat." Pinta Nisa.
"Kamu mau jalan kaki? Lumayan jauh kalau dari sana."
"Tidak, Pak. Hanya tinggal dua lampu merah lagi, dan belok kiri, kan?" Tolak Nisa perlahan.
"Kamu nggak bawa motor?"
"Bawa, Pak. Tapi bannya ternyata kempes. Saya tidak mengeceknya tadi siang. Saya titipkan pak Hari di perkiran kantor tadi."
"Begitu rupanya."
"Iya, Pak."
Nisa segera bersiap untuk turun, karena sudah hampir sampai lampu merah. Tapi sayangnya, Reyhan tidak menepikan mobilnya. Ia bahkan berhenti di sisi tengah jalan karena memang jalanan sedang padat. Nisa pun sedikit kebingungan.
"Sepertinya, pak Reyhan kesulitan menepi." Terka Nisa dalam hati.
Nisa akhirnya tetap duduk menunggu Reyhan menepikan mobilnya. Tapi ternyata, setelah lampu lalu lintas berwarna hijau, Reyhan melajukan mobilnya tanpa berniat untuk menepi.
"Maaf, Pak. Bisa tolong menepi sebentar! Saya turun di sini saja." Pinta Nisa tak enak hati.
"Rumah kita searah. Aku antar kamu sampai depan apartemen." Santai Reyhan.
Nisa akhirnya menghela nafas pasrah. Dan itu membuat Reyhan merasa sedikit geli. Ia pun menyunggingkan senyum kecilnya, sembari tetap fokus pada jalanan.
"Kamu, benar pacaran sama Revan?" Tanya Reyhan hati-hati.
Nisa menoleh terkejut. "Iya, Pak."
"Tapi, sekarang sudah tidak lagi." Imbuh Nisa.
Nisa menoleh ke sisi kirinya. Menatap kosong pada barisan bangunan yang ia lewati, sembari memutar memori yang sungguh tidak ingin ada di kepalanya.
"Kalian sedang ada masalah?"
Nisa diam tak menjawab.
"Apa dia sering melakukan hal seperti tadi padamu?"
"Tidak. Revan belum pernah sekasar itu pada saya." Datar Nisa.
"Kalian sudah lama menjalin hubungan?"
"Kurang lebih, dua tahun, Pak."
Reyhan mencoba mengingat sesuatu. "Dua tahun?"
"Bapak tenang saja! Saya tidak pernah membocorkan apapun tentang pekerjaan saya pada Revan." Sahut Nisa segera.
Reyhan menoleh pada Nisa. "Aku harap seperti itu."
Nisa bisa menangkap nada bicara Reyhan yang mendadak serius. Ia menjadi sedikit was-was pada atasannya itu.
Reyhan adalah pribadi yang sangat profesional dalam kehidupannya. Reyhan bisa memisahkan antara kehidupan pribadi dan pekerjaan dengan sangat baik. Jadi, dia juga memberikan kebebasan pada setiap karyawannya untuk menjalin hubungan dengan siapa saja. Dengan catatan, mereka tetap profesional dalam pekerjaannya. Tidak mencampur adukkan urusan pekerjaan dengan urusan pribadi.
"Dua tahun? Itu berarti, tidak lama setelah Nisa menjadi sekretarisku. Apa dia mencoba mencari kelemahanku melalui Nisa?" Batin Reyhan.
"Nisa." Panggil Reyhan tiba-tiba.
"Iya, Pak." Jawab Nisa sedikit terjingkat.
"Apa selama kalian pacaran, Revan tidak pernah bertanya tentang pekerjaanmu?" Tanya Reyhan hati-hati.
"Maksud Bapak, tentang proyek yang sedang dikerjakan kantor?" Terka Nisa santai.
"Ya, semacam itu."
"Pernah, beberapa kali. Tapi saya tidak pernah menjelaskan apapun padanya. Karena bagi saya, itu urusan saya di kantor, dan tidak untuk dibicarakan dengannya." Yakin Nisa.
"Baguslah kalau begitu." Jawab Reyhan bangga.
Reyhan menoleh sejenak pada Nisa.
"Nisa bukanlah tipe gadis pilihan Revan. Tapi dia bisa bertahan dengan Nisa selama dua tahun? Sungguh hebat sandiwaramu, Van. Tapi sayang, rencanamu sepertinya tidak berjalan mulus. Sekretarisku lebih profesional dari pada dirimu." Batin Reyhan sinis.
Reyhan meragukan ketulusan hati Revan pada Nisa. Reyhan cukup tahu, Revan adalah pemain wanita. Dan para wanita pilihan Revan selama ini, selalu wanita berkelas tinggi. Para wanita karir, dengan profesi yang tidak main-main. Dan yang juga pasti, dengan wajah yang mulus dan cantik, serta postur tubuh yang nyaris paripurna.
"Apa Nisa sudah tahu, kalau Revan hanya memanfaatkannya?" Batin Reyhan lagi.
"Aku jarang melihat kalian bertemu di sekitar kantor." Celetuk Reyhan untuk mencairkan suasana lagi.
"Revan jarang menemui saya saat jam kerja, Pak. Kami biasanya menghabiskan waktu bersama di akhir pekan." Jujur Nisa.
Tiba-tiba, ingatan Nisa melayang ke kejadian semalam. Ia lalu menatap sedikit intens pada laki-laki yang sedang duduk di sebelahnya itu.
"Pak Reyhan kayaknya memang belum tahu, kalau bu Viona selingkuh sama Revan. Kasihan banget kamu, Pak, Pak." Batin Nisa.
"Apa iya, ya, ucapanku ke bu Viona tadi pagi, aku lakuin aja? Lagian, salah mereka sendiri yang bermain api. Kalau sampai aku merebut pak Reyhan dari bu Viona, kan impas?" Imbuh Nisa dalam hati.
"Kenapa menatapku begitu? Baru sadar kalau aku tampan?" Celetuk Reyhan lagi, karena tahu, Nisa menatapnya sedikit intens.
Nisa melengos malas. "Tampan sih, tampan. Tapi kenapa bisa sampai diselingkuhin sama istri sendiri, Pak?"
"Kalau itu, sudah tahu dari dulu, Pak. Dari awal saya bekerja di kantor, Bapak. Bahkan, beberapa karyawan Bapak saja, sampai ada yang bilang, kalau mereka rela jadi istri kedua Bapak, kalau Bapak mau." Jujur Nisa santai.
"Termasuk kamu?"
"Saya bukan tipikal orang yang mau mengganggu hubungan orang lain. Dan saya juga tidak ingin, kalau saya diduakan, Pak."
"Prinsip yang bagus."
Reyhan dan Nisa mengobrol santai. Hingga mereka sampai di tempat tujuan, apartemen Nisa.
"Terima kasih Pak, karena sudah menolong saya tadi. Dan juga terima kasih, karena sudah mengantar saya pulang." Tulus Nisa.
"Selesaikan masalahmu dengan Revan, dengan hati-hati! Kalian sudah lama menjalin hubungan." Nasehat Reyhan.
"Baik, Pak. Terima kasih."
"Aku pergi dulu."
"Iya, Pak. Hati-hati."
Nisa pun segera keluar dari mobil Reyhan. Dan setelah itu, Reyhan pun kembali melajukan mobilnya menuju rumahnya.
"Ciieee! Udah dapet gebetan baru, nih!" Ucap seseorang, yang sedari tadi tanpa sengaja melihat Nisa keluar dari mobil Reyhan.
"Gebetan apanya? Itu pak Reyhan." Sahut Nisa santai, yang sudah sangat hafal dengan suara itu, Jeni.
"Waaahh, kamu mau balas dendam ya?"
"Apa iya, ya? Aku rebut aja pak Reyhan dari bu Viona. Kan impas?" Gumam Nisa penuh pertimbangan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Eida Nuban
aku pernah di posisi itu tapi cara dendam ku beda.aku berusaha sampe sukses dan skrg dpt suami yg jauh lbh baik.suami yg setia dan adil dlm keluarga
2024-11-08
0
Uthie
bisa gak pertanyaan nya 😁
2024-05-05
0