Malam semakin larut. Jalanan yang jika siang hari begitu padat, kini cukup lengang. Tak banyak kendaraan yang berlalu lalang di sana. Hanya beberapa saja, yang masih menghiasi pekatnya malam.
Nisa turun dari taksi dengan langkah berat. Nafasnya mulai tak beraturan. Dipeganginya dada kiri atas dengan begitu erat. Bahkan, ia sedikit meremas bajunya. Ia berjalan sempoyongan agar bisa segera sampai ke unitnya.
"Aku,, Jeni,," Ucapnya lirih.
"Neng Nisa nggak papa?" Tanya salah satu petugas di lobi apartemen yang langsung menghampiri Nisa.
Nisa adalah pribadi yang ramah. Beberapa petugas apartemen mengenal dirinya karena keramahannya.
"Bisa tolong antar saya ke unit saya, Pak?" Tanya Nisa sambil menahan sakit di dadanya.
"Iya, Neng."
Petugas itu lalu memapah Nisa menuju lift. Ia membantu Nisa menuju unit apartemennya.
Nisa bertahan sekuat yang ia mampu agar tetap sadar sampai di unit. Yang ia butuhkan adalah obatnya. Obat pereda rasa sakitnya, yang akan sedikit membantunya mengurangi rasa sakit yang bisa kapan saja menyapa.
"Neng Nisa dari mana malam-malam begini? Kenapa sampai bisa sakit gini?" Tanya petugas tadi penuh perhatian.
Nisa hanya menggelengkan kepalanya. Ia cukup kesulitan menjawab pertanyaan sederhana itu, karena menahan rasa sakit di dadanya.
Saat sampai di depan unit apartemennya, Nisa memberikan kartu kunci pada petugas yang membantunya. Petugas itu lalu membantu Nisa membuka pintu.
"Neng! Neng Jeni!" Panggil petugas itu, setelah pintu terbuka.
Jeni yang sedang bersantai di kamar sembari berteleponan dengan sang kekasih, akhirnya keluar dari kamar.
"Astaga, Nisa!" Seru Jeni penuh keterkejutan.
Jeni segera menghampiri Nisa yang sedang dibantu petugas tadi untuk berbaring di sofa.
"Tolong,, obatku, Jen!" Lirih Nisa, yang masih terdengar oleh Jeni.
Jeni segera berbelok arah ke kamar Nisa. Ia lalu mengambil obat Nisa, yang ia sangat paham dan hafal dimana Nisa meletakkannya. Tak lupa, ia menyambar gelas minum yang ada di kamar Nisa.
"Minum dulu!" Pinta Jeni panik.
Jeni membantu Nisa untuk meminum obatnya. Setelah itu, ia membiarkan Nisa tiduran dan menunggu obatnya bereaksi.
"Makasih ya Pak, udah nganter Nisa." Tulus Jeni, saat Nisa mulai tiduran.
"Neng Nisa nggak dibawa ke rumah sakit?" Tanya petugas tadi.
"Nggak papa, Pak. Asal Nisa nggak sampai pingsan, obatnya sudah cukup membantu." Jujur Jeni.
"Neng Jeni, yakin?"
"Iya, Pak. Nanti kalau saya butuh bantuan Bapak, saya akan telepon ke lobi."
"Iya, Neng. Bapak pasti siap membantu." Tulus petugas itu.
"Terima kasih, Pak."
"Sama-sama, Neng. Kalau gitu, Bapak permisi, Neng."
"Iya, Pak. Sekali lagi, makasih ya, Pak."
"Iya, Neng."
Petugas yang berusia sekitar empat puluhan itu, lalu meninggalkan unit apartemen Nisa dan Jeni. Dalam hati kecilnya ia berdo'a, agar kondisi Nisa segera membaik.
Nisa sebenarnya pribadi yang menyenangkan. Tapi, dibalik pribadi yang ramah dan menyenangkan itu, dia dititipi oleh Tuhan ketidaksempurnaan. Ia menderita lemah jantung yang diturunkan dari ayahnya. Dan itu baru diketahui saat ia beranjak remaja.
Nisa berjuang dengan banyak pengobatan selama ini agar ia bisa bertahan hidup. Dokter pernah menyarankan untuk transplantasi jantung sebagai pengobatan bagi Nisa. Tapi karena biayanya yang terlampau tinggi, orang tua Nisa tidak mampu membiayai operasi itu. Dan hanya menjalani rawat jalan hingga kini.
Nisa sangat berusaha menjaga kondisi jantungnya tetap stabil. Dan itu membuat akhir-akhir ini kondisi jantungnya cukup stabil. Ia sudah jarang pingsan mendadak seperti saat remaja dulu.
Nisa sangat beruntung tadi, karena tidak sampai pingsan karena melihat dengan mata kepalanya sendiri, Revan yang berselingkuh darinya. Apalagi, dia berselingkuh dengan wanita yang cukup ia kenali.
Iya, Nisa mengenal wanita tadi. Namanya Viona Zaviera. Seorang desainer baju kenamaan ibukota. Yang namanya sudah sangat dikenal oleh orang-orang kalangan berkantong tebal. Yang juga sekaligus merupakan istri dari seorang pengusaha muda ternama, Reyhan Wiliam Anggara, pemilik C.K.D Corp, perusahaan dimana Nisa bekerja.
Jeni duduk di dekat Nisa yang perlahan kondisinya mulai membaik. Ia sebenarnya sangat penasaran dengan apa yang terjadi pada Nisa, hingga bisa membuat penyakitnya kambuh. Karena akhir-akhir ini, penyakit Nisa sudah jarang kambuh.
"Udah mendingan?" Tanya Jeni saat Nisa sudah membuka matanya dan terlihat lebih baik.
Nisa mengangguk lemas.
"Kenapa tiba-tiba kambuh? Kamu nggak sama Revan pulangnya?"
"Jangan sebut nama itu lagi di depanku!" Sahut Nisa lirih, tapi penuh penekanan.
"Kalian ada masalah?"
"Aku sudah nggak punya hubungan lagi dengan laki-laki br*ngsek itu."
Jeni terdiam. Ia tidak pernah melihat Nisa marah dengan Revan sampai seperti itu. Selama yang ia tahu, hubungan Nisa dan Revan sangat baik dan tidak pernah ada pertengkaran yang berarti. Hingga Jeni pun yakin, Revan akan berjodoh dengan Nisa dan menua bersama. Tapi ini,,
Jeni akhirnya memilih untuk tidak menanyakan dulu apa yang sudah terjadi. Ia yakin, Nisa akan menceritakan padanya nanti, apa yang sudah terjadi antara ia dan Revan.
Setelah beberapa saat, Nisa akhirnya bangun dan pergi ke kamarnya di bantu Jeni. Jeni masih belum menanyakan lagi apa yang terjadi pada Nisa. Ia membiarkan Nisa untuk istirahat lebih dulu. Dan ia pun juga yakin, Nisa akan menceritakan semuanya esok.
Keesokan paginya, Nisa bangun dengan kondisi yang lebih baik. Ia cukup beristirahat semalam. Dan pagi ini, ia beraktivitas seperti biasa.
"Gimana? Udah enakan?" Sapa Jeni saat melihat Nisa di dapur.
Nisa hanya memainkan alisnya dan tersenyum pada Jeni.
"Kamu semalam kenapa?" Tanya Jeni hati-hati.
"Aku putus sama Revan." Singkat Nisa, dengan hati yang bergemuruh mengingat kejadian semalam.
"Putus? Kenapa bisa putus?"
Nisa yang baru saja membuat minuman hangat, akhirnya membawa minumannya ke meja makan dimana Jeni sudah duduk di salah satu kursinya.
"Dia selingkuh."
"Selingkuh?"
"Iya. Semalam bahkan aku mergokin dia lagi berhubungan sama selingkuhannya itu di kamar."
"Wah! Br*ngsek itu orang!" Umpat Jeni mulai kesal.
"Dan yang lebih parah lagi, dia selingkuh sama istri sepupunya."
"Maksudmu?"
"Dia selingkuh sama bu Viona, istrinya pak Reyhan."
"Pak Reyhan atasan kamu?"
"Iya."
"Waaahh! Harus dikasih pelajaran mereka." Geram Jeni.
Nisa hanya diam tak menanggapi Jeni. Hatinya masih terasa sakit ketika mengingat pemandangan yang tidak ia harapkan semalam.
Nisa menjadi lebih diam pagi ini. Ia berangkat ke kantor dengan perasaan yang cukup murung. Tapi, ia harus tetap berpikiran positif. Karena ia juga harus menjaga kondisi jantungnya agar tetap stabil.
"Beruntung sekali aku semalam. Aku bisa bertahan sampai apartemen." Gumam Nisa saat mengendarai motornya.
Dan tiba-tiba, SET. Sebuah mobil mendadak memotong laju jalannya motor Nisa dan beberapa motor lain yang berjajar dengan motor Nisa. Beruntung Nisa dan para pemotor tidak melamun dan bereaksi dengan baik. Hingga mereka bisa mengerem motornya dan tidak sampai menabrak mobil itu.
Nisa segera mendengus kesal, bersamaan dengan umpatan kekesalan pemotor lain yang jalannya terhambat oleh mobil tadi. Nisa sangat tahu mobil itu. Itu salah satu mobil Revan. Dan dengan segera, Revan pun turun dari mobil.
Tapi Nisa bisa bergerak cepat. Ia sedikit membelokkan motornya dan kembali melaju tanpa mempedulikan Revan yang jelas akan menghampirinya.
"Nisa!" Panggil Revan yang terkejut karena Nisa bisa kabur.
"Sial!" Umpat Revan sambil menatap Nisa yang makin menjauh.
Revan lalu segera kembali masuk ke mobil dan berniat mengejar Nisa. Ia tidak mempedulikan kekesalan para pengguna jalan lain yang perjalanannya sedikit terhambat karena ulahnya tadi.
Tapi sayang, Nisa bisa dengan segera sampai ke kantornya. Karena memang, tempat dimana Nisa dicegat tadi, dekat dengan kantor Nisa. Dan Revan jelas tidak berkutik jika Nisa sudah sampai kantor.
Revan pun akhirnya menginjak pedal gas mobilnya dengan kesal. Karena gagal untuk menemui Nisa dan bicara dengannya.
"Aku gagal bicara dengan Nisa." Ucap Revan, saat panggilan teleponnya sudah tersambung.
"Biar aku yang bicara dengannya." Jawab seseorang di seberang telepon.
"Iya, Sayang. Kamu harus membuatnya tutup mulut!"
"Tenang saja! Aku tahu kelemahannya."
"Baiklah. Aku ke kantor dulu."
"Iya, Sayang. Nanti ketemu di tempat biasa, ya?"
"Iya. Aku tunggu setelah makan siang."
"Iya, iya."
Panggilan pun terputus. Revan sudah mulai lebih tenang setelah melakukan panggilan dengan seseorang barusan. Seseorang yang tak lain adalah wanita yang menemaninya berpeluh di atas ranjang semalam, Viona.
Di sisi lain, Nisa yang sudah masuk ke area parkir, bernafas dengan sangat lega. Ia masih sangat enggan bertemu dengan Revan karena kejadian semalam. Jadi, ia pun segera mengambil langkah seribu sebelum Revan mencekalnya tadi.
Nisa berjalan ke ruang kerjanya dengan malas. Wajahnya jelas tidak seceria biasanya. Dan itu disadari oleh teman satu ruangannya, Rudi. Dia asisten pribadi pemilik kantor dimana Nisa bekerja.
"Kamu lagi sakit, Nis?" Tanya laki-laki yang usianya sudah menginjak kepala empat itu.
Nisa yang memang tidak begitu fokus, jadi sedikit terkejut.
"Ya, Pak Rudi?" Jawab Nisa gelagapan.
"Kamu kenapa? Lagi ada masalah?" Tanya Rudi yang juga baru saja tiba, sambil berjalan ke arah meja Nisa.
"Oh, itu. Sedikit, Pak Rud." Jujur Nisa.
"Masalah apa? Barangkali aku bisa bantu."
"Tidak apa-apa, Pak. Nanti juga perlahan-lahan kelar masalahnya."
"Oke. Kalau nanti memang butuh bantuan, meja kerjaku masih sama, di situ." Santai Rudi.
"Siap, Pak Rud."
Rudi akhirnya berjalan ke arah meja kerjanya yang memang berada di depan meja Nisa. Nisa pun juga menyiapkan beberapa pekerjaan yang harus ia selesaikan.
Rudi adalah pribadi yang baik. Meski ia belum begitu lama mengenal dan dekat dengan Nisa, tapi karena setiap hari bertemu dan berbagi banyak hal dengan Nisa, ia menjadi sangat menyayangi Nisa. Ia bahkan menganggap Nisa sebagai putrinya. Karena usia mereka yang memang terpaut sangat jauh, hampir dua puluh tahun.
Begitu juga dengan Nisa. Ia juga menganggap Rudi sudah seperti ayahnya di kota perantauannya ini. Ia sering bercerita banyak hal pada Rudi untuk sekedar meminta saran atau yang lain.
Nisa dan Rudi mulai sibuk dengan pekerjaan mereka. Tak lama, pemilik kantor mereka pun tiba di kantor. Reyhan.
Reyhan adalah putra pertama dari Galih Hartanto Anggara dan Soraya Fatma. Usianya kini hampir menginjak kepala tiga. Dan dia sudah menikah dengan Viona, yang tak lain adalah wanita yang ditemui Nisa di apartemen Revan semalam.
Reyhan dan Viona sudah tiga tahun menikah. Tapi hingga saat ini, mereka belum dikaruniai momongan oleh Yang Maha Kuasa. Padahal Reyhan dan keluarganya, sangat menantikan kehadiran penerus keluarga mereka.
"Ke ruanganku sekarang!" Singkat Reyhan.
Rudi dan Nisa segera berdiri dan mengikuti langkah Reyhan ke ruangannya. Nisa sedikit mengkode Rudi, dengan penuh tanya. Rudi hanya menggelengkan kepala, karena ia juga tidak tahu alasan Reyhan memanggil mereka.
"Kita meeting dengan pak Ridwan jam sepuluh. Beliau ada acara mendadak selepas makan siang. Jadi minta meetingnya diajukan." Jelas Reyhan sambil melepas jasnya.
"Baik, Pak." Jawab Nisa dan Rudi bersamaan.
"Siapkan semuanya dengan baik!"
"Baik, Pak."
"Ya sudah. Kembali ke meja kalian!"
"Kami permisi, Pak." Pamit Rudi.
Reyhan hanya mengangguk paham. Ia pun segera duduk di kursi kebesarannya. Dan dengan segera mulai menmainkan jemarinya di atas keyboard komputernya. Rudi dan Nisa pun kembali menjalankan tugas mereka masing-masing.
Pukul sembilan pagi, perhatian Rudi dan Nisa yang meja kerjanya berada di depan ruangan Reyhan, mendadak teralihkan karena suara langkah kaki dengan sepatu hak tinggi.
Rudi segera menyunggingkan senyumnya untuk menyambut wanita yang baru saja tiba. Sedang Nisa, memasang ekspresi datar, tidak seperti biasanya.
"Selamat pagi, Bu Vio." Sapa Rudi.
"Pagi, Pak Rudi." Jawab sang tamu, yang tak lain adalah Viona.
"Pak Reyhan ada di ruangannya."
"Oke." Santai Viona.
Viona sedikit melirik tajam ke arah Nisa. Tapi Nisa masih tidak mau tersenyum atau menyapa Viona seperti biasanya. Dan itu jelas disadari oleh Rudi.
"Dasar! Wanita jal*ng!" Umpat Nisa dalam hati.
Perasaan Nisa masih sangat kesal saat mengingat kejadian semalam. Karena sungguh, ia tidak pernah membayangkan, akan melihat hal seperti itu semalam.
Viona akhirnya melenggang masuk ke ruangan Reyhan.
"Sayaaanggg,,"
Suara Viona saat membuka pintu ruangan Reyhan, menggema hingga ke telinga Nisa.
"Apa pak Reyhan nggak tahu, kalau istrinya selingkuh sama sepupunya?" Batin Nisa lagi.
"Kamu kenapa, Nis? Tumben nggak nyapa bu Vio." Tanya Rudi, setelah Viona menutup pintu ruangan Reyhan.
"I,, ah, nggak papa, Pak. Baru badmood hari ini, Pak." Kilah Nisa.
"Yakin?"
Nisa mengangguk malas. Ia lalu kembali fokus pada pekerjaannya yang memang mulai menumpuk. Begitu juga dengan Rudi.
Dan di ruangan Reyhan,
"Sayang? Udah selesai reuninya?" Sambut Reyhan bahagia.
"Udah. Mendadak Nadin ada klien besar katanya. Jadi, mau kita lanjutin next time aja reuninya, kalau lengkap semua." Bohong Viona, sambil berjalan menghampiri Reyhan yang juga berjalan ke arahnya.
Reyhan dan Viona segera saling berpelukan. Bahkan Reyhan segera melahap dengan rakus, bibir seksi Viona yang selalu menjadi candunya. Viona pun meladeni ulah Reyhan tanpa ragu.
Iya. Viona berbohong pada Reyhan. Semalan ia tidak pulang, dengan alasan bahwa ia reuni bersama sahabat lamanya yang baru saja kembali ke ibukota setelah tinggal beberapa tahun di luar negeri. Dan Reyhan cukup percaya dengan hal itu, karena ia sangat mencintai Viona.
Setelah sedikit adegan panas antara suami istri itu, Viona segera menggelayut manja di pangkuan Reyhan.
"Apa kamu sibuk?" Tanya Viona.
"Sedikit. Ada rapat penting nanti jam sepuluh." Jujur Reyhan.
"Apa Nisa juga ikut?"
"Iya. Tapi, kenapa kamu nanyain Nisa?"
"Aku ingin ngobrol sedikit dengannya. Bolehkan?"
"Tentu saja boleh, Sayang. Atau, biar dia nanti tidak usah ikut rapat saja, agar kalian bisa mengobrol santai."
"Aku hanya sebentar. Aku ingin menanyakan sesuatu padanya."
"Bertanya?"
"Sssttt! Urusan perempuan." Bisik Viona manja.
"Oke, oke. Aku tidak akan kepo lagi jika sudah menyangkut urusan perempuan."
CUP. Viona tertawa manja setelah mengecup pipi Reyhan.
"Kalau gitu, aku temuin Nisa dulu, ya! Biar nanti, dia bisa ikut rapat." Pamit Viona.
"Oke, Sayang."
CUP. Dan kini, giliran Reyhan yang mengecup pipi Viona, sebelum Viona beranjak dari pangkuannya.
Viona tersenyum pada Reyhan. Ia lalu berdiri dan sedikit memperbaiki blus berwarna pink yang sedikit berantakan karena ulah Reyhan tadi. Reyhan pun kembali ke meja kerjanya setelah Viona menutup pintu.
"Hai, Nis!" Sapa Viona ramah.
Nisa yang memang tahu, Viona yang baru saja keluar dari ruangan Reyhan, memilih acuh. Tapi karena Viona menghampiri meja kerjanya dan menyapanya, mau tak mau, ia pun akhirnya meladeni Viona. Agar Rudi tidak lagi curiga.
"Iya, Bu. Ada yang bisa saya bantu?" Tanya Nisa seramah mungkin.
"Aku ingin bicara denganmu. Reyhan sudah memberikan ijin tadi." Jelas Viona tanpa basa-basi.
"Oh, iya. Silahkan! Ada apa, Bu?"
"Kita bicara di rooftop!" Ajak Viona segera.
"Pasti dia mau bicarain yang semalam. Sial! Tadi udah lepas dari Revan, sekarang malah ketemu jal*ngnya." Umpat Nisa dalam hati.
"Nis! Nisa!" Panggil Viona, karena tak mendapat respon dari Nisa.
"Oh, iya, Bu. Mari!" Sambut Nisa.
"Pinjem Nisa bentar ya, Pak Rud!" Pamit Viona.
"Iya, Bu." Jawab Rudi ramah.
Viona dan Nisa lalu berjalan bersamaan menuju atap gedung kantor.
"Ada yang nggak beres kayaknya." Gumam Rudi lirih, saat melihat Nisa dan Viona berjalan menuju lift.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
Uthie
bongkar aja harus nya 😌
2024-05-05
1