Sepuluh hari kemudian.
Ting tong. Bel pintu apartemenku berbunyi dan sudah bisa kutebak siapa yang datang di hari ini dan jam segini.
“Selamat pagi, Nona Asha. Saya Sena, datang menjemput Nona untuk pergi ke acara tanda tangan buku Nona.”
Setelah merasa pakaianku rapi, aku menatap diriku lagi sebelum akhirnya berjalan cepat menuju ke pintu apartemenku. Klik. Aku membuka pintu apartemenku dan melihat Nawasena yang biasa dipanggil dengan Sena berdiri di depan pintu apartemenku. Sena adalah editor pengganti yang akan menggantikan Warda selama cuti tiga bulan ke depan. Tiga hari yang lalu. . . Warda datang membawa Sena kemari sesuai dengan janjinya dan mengenalkannya padaku. Dan seperti ucapan Warda padaku, Sena ini terlihat sangat muda karena wajahnya yang terlihat seperti anak bayi yang menggemaskan. Ketika bertemu pertama kalinya dengan Sena, aku sempat mempertanyakan tujuan Warda memilih dirinya sebagai editor penggantinya. Mungkin. . . Warda memilih Sena dengan alasan wajahnya yang tampan itu.
“Nona sudah siap?”
Aku mengangkat tanganku dan memberi peringatan kepada Sena. “Berhenti memanggilku dengan panggilan Nona. Panggilan itu membuatku risi. Kau bisa langsung memanggil namaku dan aku pun akan melakukan hal yang sama. Bagaimana, Sena?”
Sena melihat ke arahku dan jelas terlihat sedikit keraguan di matanya. Namun dengan cepat Sena membuang keraguan itu dan mengubahnya menjadi senyuman di bibirnya. “Saya akan melakukannya jika itu yang oleh Nona Asha.”
“Tsk, Asha saja,” kataku mengulangi.
“Maaf, Asha. Apakah sudah siap? Kita harus berangkat sekarang?” Sena melihat ke jam tangannya dan memperhitungkan waktu yang kami miliki sebelum acara dimulai.
“Aku sudah siap.”
“Baiklah, ayo kita berangkat, Asha. Kak Warda sudah menunggu di lokasi untuk memastikan semuanya telah siap termasuk dengan bintang tamu hari ini.”
Acara tanda tangan itu berlangsung di salah satu toko buku terbesar di kota X. Toko buku itu mengambil konsep bookcafe di mana toko buku juga bergerak sebagai cafe yang menyediakan makanan dan minuman. Toko itu memiliki satu ruangan besar yang biasa digunakan untuk acara-acara seperti tanda tangan penulis seperti yang aku lakukan saat ini. Selain itu. . . toko buku ini memiliki konsep aesthetic di dalamnya yang mengusung kenyamanan bagi pengunjung cafe dan pembaca buku di sana.
Selama perjalanan yang hanya sepuluh menit lamanya itu, aku terus menggerakkan kakiku dan hal itu sepertinya menarik perhatian Sena yang duduk di belakang kemudi.
“Nona, ah salah Asha, apakah kau baik-baik saja?” Sena melirik ke kaca spionnya untuk melihat keadaanku.
“Aku ingin mengatakan aku baik-baik saja. Tapi. . . kakiku terus bergerak dan aku tidak bisa berbohong.”
Dengan tangan kirinya, Sena mengambil sesuatu di dalam tasnya yang berada di samping kursinya dan memberikannya kepadaku. “Aku tidak tahu apakah ini akan membantu, tapi silakan dicoba.”
Aku menerima pemberian Sena itu dan menyadari bahwa pemberiannya itu adalah beberapa macam permen. Dari permen coklat, permen rasa buah dan permen karet.
“Ini permen kan? Kenapa kau memberiku permen?”
“Ketika aku gugup, aku selalu memakan permen. Jadi aku selalu membawanya di tasku. Asha bisa mencobanya, mungkin akan membuatmu sedikit rileks.”
Aku menatap beberapa permen di telapak tanganku dan pilihanku akhirnya jatuh pada permen karet dengan rasa mint. Aku membuka bungkusnya dan mengunyah permen karet itu. Seperti ucapan Sena padaku, kakiku yang bergetar sejak tadi mulai terhenti dan perasaanku yang tadi terasa sangat gugup, pelan-pelan berubah menjadi sedikit tenang.
“Terima kasih. Kurasa permen karet ini berhasil membuatku merasa sedikit tenang,” ucapku sembari menatap ke jendela di sampingku.
“Senang bisa membantu.”
Ada alasan khusus kenapa aku selalu menolak keluar dari apartemenku dan benci menjadi pusat perhatian. Di masa sekolah, aku pernah menjadi korban perundungan. Beberapa teman perempuan di kelasku merasa iri karena aku menjadi pusat perhatian beberapa teman laki-laki karena sering memenangkan kompetisi menulis dan membawa harum nama sekolah kami. Karena perundungan yang cukup parah hingga aku menolak untuk datang ke sekolah, orang tuaku akhirnya membuatku pindah sekolah dengan harapan aku bisa kembali bersekolah lagi.
Bertahun-tahun berlalu. Kukira aku sudah baik-baik saja. Tepat setelah lulus kuliah, aku diterima bekerja di sebuah kantor konstruksi dan banyak atasan menyukai cara kerjaku yang cepat dan praktis, tapi berhati-hati. Perhatian berlebih yang aku terima itu, kemudian memancing rasa cemburu beberapa karyawan lain hingga akhirnya mereka sengaja menjebakku dan membuatku nama baikku rusak hanya karena ucapan tidak bertanggung jawab dari mulut mereka.
Karena tidak bisa menahan perasaan tidak adil itu, akhirnya aku keluar dari perusahaan itu dan memilih mengurung diri. Selama setengah tahun, aku terus mengurung diri di kamarku dan membuat kedua orang tuaku marah besar padaku dan menganggapku sebagai anak tidak berguna. Dengan berbekal uang tabungan yang aku miliki, awalnya aku menyewa kamar kos kecil yang jauh dari keramaian. Selama mengurung diri, aku mengerjakan apapun secara online untuk mendapatkan uang untuk bertahan hidup: salah satunya menjadi penerjemah naskah, mengerjakan tugas ketik untuk mahasiswa dan menjadi penulis novel. Dari tiga pekerjaan itu, awalnya yang menghasilkan banyak uang adalah pekerjaanku sebagai penerjemah. Tapi dalam perjalanannya, aku memiliki banyak pesaing hingga pekerjaan itu tidak menghasilkan banyak uang seperti pada awalnya.
Sebagai penulis novel, awalnya aku menerbitkan novel karyaku di platform-platform novel dan itulah awal pertemuanku dengan Warda. Kebetulan Warda adalah pembaca dalam platform yang aku pilih itu dan kemudian tertarik dengan novelku yang tidak terlalu banyak dibaca oleh orang-orang. Menurut Warda, novel karyaku itu benar-benar bagus dan menyentuh hati. Warda kemudian memberikan kontrak eksklusif padaku dan membuat novelku akan diterbitkan pada perusahaan penerbit di mana dirinya bekerja. Buku pertamaku diterbitkan dan hasilnya sangatlah buruk. Cetakan pertama novel pertamaku sempat ditarik penerbit karena selama tiga bulan, tidak memberikan hasil penjualan yang bagus. Semua berubah berkat Arata.
“Kita sudah sampai.”
Sena menghentikan mobil di parkiran di depan toko buku tujuan kami. Dari dalam mobil, aku melihat bagaimana banyak jumlah pengunjung hari ini yang datang ke acara pertama tanda tangan buku-buku karyaku. Dari balik jendela juga, aku melihat wajah-wajah antusias pengunjung yang kebanyakan gadis-gadis muda itu.
“Arata!”
“Arata!”
“Arata!!!”
“Arata, aku mencintaimu!”
“Arata, menikahlah denganku!”
Tanpa perlu keluar dari mobil pun, aku dapat mendengar dengan jelas teriakan gadis-gadis itu yang memanggil-manggil nama Arata-bintang tamu dalam acara ini. Dari dalam mobil aku dapat melihat dengan jelas bahwa banyaknya pengunjung yang datang hari ini, bukan karena mereka menyukai buku-buku karyaku. Antusiasme mereka bukan ditujukan untukku, tapi ditujukan untuk Arata.-aktor terkenal yang sekarang menduduki peringkat lima di negara ini dalam popularitasnya.
Melihat keadaan ini, haruskah aku setuju dengan ucapan Warda yang mengatakan bahwa Arata adalah bintang keberuntunganku?
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments