“Menurutmu kenapa Arata begitu menyukai novel dan tulisanku?” Bibirku tanpa sadar menanyakan hal itu kepada Warda yang masih sibuk mendengar siaran langsung interview Arata di TV. “Waktu pertama kali bukuku keluar. . . bahkan satu pembeli pun tidak ada. Atasanmu bahkan mengancammu dan mengatakan bahwa kau memilih author yang salah untuk menerbitkan buku.”
Warda memakan satu dari camilan buah yang dibawanya bersama dengan masakan ibunya tadi. Kali ini yang dimakan oleh Warda adalah buah persik, sebelumnya mangga, stroberi, anggur merah, semangka dan pir. Sepertinya putranya yang masih berada dalam kandungannya begitu mencintai buah-buahan hingga Warda selalu membawa kotak yang berisi buah-buahan ke mana pun pergi.
“Mungkin pikiran Arata sama denganku. Dua tahun lalu ketika aku melihat tulisanmu, aku berpikir author ini punya cara pemikiran yang unik dan kelak akan menjadi terkenal. Dan apa yang aku pikirkan adalah benar. Nyatanya dalam waktu dua tahun kau berhasil menerbitkan empat buku dan semuanya menjadi buku terlaris di hampir semua toko buku di negeri ini.”
“Tapi itu semua terjadi berkat Arata.” Aku membalas ucapan Warda itu dengan menghentikan kedua tanganku yang sibuk menari-nari di atas papan ketik dan menatap ke arah TV di mana wajah Arata muncul.
“Aku tidak memungkirinya, Asha. Kau terkenal berkat Arata yang sejak setahun lalu terkenal. Penggemar Arata menemukan jika Arata selalu membawa-bawa buku karyamu dan membuat kau sebagai authornya menjadi terkenal. Tapi. . . di zaman seperti ini, hal seperti itu sudah tidak asing lagi. Ketenaran seseorang muncul karena orang lain, itu sudah bukan hal yang aneh lagi. Banyak author yang juga melewati jalan yang sama sepertimu, Asha. Jadi kau tidak perlu khawatir dan satu hal yang harus kau ingat, kau mungkin terkenal berkat Arata. Tapi setelah itu, semua orang memuji-muji karyamu itu. Ingatlah itu!”
Aku menatap wajah Arata yang muncul di TV dan bertanya-tanya pada diriku sendiri. Haruskah aku berterima kasih padanya karena telah membuatku terkenal? Atau ada alasan lain kenapa aktor terkenal seperti Arata menyukai buku-buku karyaku?
“Ah. . .” Warda berteriak kencang seperti kebiasaannya jika sedang mengingat sesuatu yang penting yang sempat dilupakannya.
“Apa lagi kali ini yang kau lupakan?” tanyaku yang kembali fokus dengan papan ketikku dan laptopku.
“Aku lupa tujuanku datang kemari.”
“Bukankah kau datang kemari karena ingin memeriksa novelku yang hampir tamat ini?”
Warda menganggukkan kepalanya dan mengambil beberapa berkas dari dalam tas tangan miliknya. “Itu memang benar. Aku datang kemari karena ingin memeriksa pekerjaan terakhirku sebelum aku mengambil cuti dan memberikan tiga berita padamu, Asha.”
“Berita apa??”
“Pertama, soal editor sementara yang akan menggantikanku. Apakah kau keberatan jika editor sementara itu adalah laki-laki?”
Aku menghentikan kedua tanganku yang sedang mengetik dan memandang Warda dengan tatapan serius. Tepat sebelum aku membuka mulutku dan memberikan komentarku, Warda lebih dulu berkata padaku lagi. Mungkin kedua mataku yang bersembunyi di balik kacamata kerjaku ini terlihat begitu menakutkan di mata Warda hingga aku belum bicara pun, Warda sudah membuka mulutnya lebih dulu untuk membuat alasan.
“Dengarkan dulu, Asha! Selama dua hari kemarin aku mencari editor yang memiliki sedikit pekerjaan dan aku tidak menemukan editor yang akan mampu bertahan denganmu. Editor-editor muda sekarang, orangnya kebanyakan malas dan jarang mau keluar untuk mengunjungi penulis-penulis sepertimu, Asha. Mereka lebih suka menghubungi penulis mereka dengan menggunakan ponsel dan kurang perhatian. Di kantor hanya ada sepuluh editor yang mau melakukan apa yang aku lakukan padamu dan mereka semua adalah editor dan sepuluh penulis terkenal di penerbit kita.”
“Jika memang begitu. . . aku tidak keberatan, Warda.”
“Aku yang keberatan, Asha! Kau ini jarang sekali keluar dari apartemenmu dan ketika sudah bekerja kau sering kali lupa makan dan mengurus dirimu. Jadi. . . jika sesuatu terjadi padamu, tidak akan ada orang yang tahu karena tidak banyak orang yang datang ke apartemenmu ini, Asha.”
Warda menjelaskan keberatannya dengan wajah khawatir. Mungkin dia ingat bagaimana aku beberapa kali terkapar di apartemenku karena tidak tidur selama berhari-hari karena terlalu fokus menyelesaikan novelku.
“Lalu? Kenapa akhirnya aku memberiku saran untuk memilih editor laki-laki sebagai penggantimu?”
“Kemarin ada serang pria yang diterima bekerja sebagai editor. Berdasarkan pengalaman kerjanya yang aku lihat, pria ini punya banyak pengalaman menjadi editor untuk buku-buku besar. Lalu setelah aku mengatakan tentang menjadi editormu dan syarat-syarat yang harus dilakukan untuk menjadi editormu, pria muda ini tidak keberatan, Asha. Dia menyanggupinya tanpa berpikir dua kali, Asha.” Warda memberikan data mengenai pria yang ditunjuknya sebagai editor sementara yang akan menggantikan dirinya padaku. “Ini adalah informasi tentang dirinya.”
Aku membaca dengan cepat informasi itu dan kemudian meletakkan informasi itu di atas meja kerjaku. “Karena kau berpikir dia bisa menggantikanmu, aku akan menerimanya. Pilihanmu tidak mungkin sembarangan dan pasti sudah penuh dengan perhitungan.”
Warda tersenyum sembari mengelus perutnya. “Bagus sekali jika kau menerimanya. Minggu depan aku akan membawanya kemari dan mengenalkan kalian berdua.”
“Ya. Lalu berita kedua apa?”
“Novel keduamu yang bergenre romance-Love Like Ectasy akan diadaptasi ke film layar lebar dan pihak produksi meminta kau untuk membantu menulis skenarionya bersama dengan penulis skenario mereka. Apa kau mau, Asha?”
“Bagaimana dengan kantormu? Apa mereka tidak keberatan jika aku menulis skenario dan sibuk dengan hal lain selain novelku?”
Warda tersenyum bangga membanggakan dirinya. “Aku adalah editormu. Aku tahu apa yang terbaik untukmu, Asha. Tenang saja. . . aku sudah mengatakan jika novelmu akan selesai dalam waktu seminggu dan setelah itu kau punya waktu bebas untuk mengerjakan skenario itu sebelum akhirnya menulis novel lagi. Kau bisa menulis skenario ketika novelmu yang akan berakhir ini masuk dalam proses editing.”
“Aku akan menerimanya asal aku tidak perlu mengerjakan skenario itu di luar apartemenku ini.”
“Tenang saja. . . untuk itu, kau tidak perlu khawatir. Pihak produksi film menyetujui syarat itu mengingat kau tidak bisa mengerjakan karyamu ketika berada di luar ruangan.” Warda menatapku dengan mata berbinar. “Jadi kau mau melakukannya?”
“Ya, aku akan melakukannya. Ini adalah pengalaman unik yang bisa kugunakan sebagai referensi untuk ide novel selanjutnya.”
Warda bertepuk tangan mendengar ucapanku. “Sudah kuduga kau akan mengatakan hal itu. Lalu untuk berita ketiga, sebelum mengerjakan skenario film itu, pihak penerbit akan mengadakan acara khusus untukmu.”
Aku mengernyitkan alisku menatap Warda dan perasaanku mengatakan jika sesuatu yang buruk akan keluar dari mulutnya. “Jangan katakan padaku, pihak penerbit akan mengadakan acara tanda tangan untuk bukuku???”
“Sayangnya. . . itu benar, Asha.”
Aku langsung menendang kaki meja kerjaku dan membuatku yang masih berada di atas kursi menjauh dari Warda. “Kau tahu dengan baik, aku tidak suka keramaian dan tidak suka menjadi pusat perhatian, Warda?”
“Aku tahu itu.”
“Lalu kenapa kau menerima ide konyol itu, Warda?” Aku bertanya dengan nada kesal karena merasa telah dikhianati oleh teman sekaligus editor terbaikku ini.
“Aku tidak bisa menolaknya karena Arata bersedia hadir dalam acara itu sebagai bintang tamu, Asha. Karena dia adalah penggemarmu, pihak penerbit menghubungi Arata tentang rencana itu dan Arata langsung menerima rencana itu tanpa berpikir dua kali, Asha.” Warda menatapku dengan wajah memelas. “Kali ini bisakah kau membantuku dan menerima ide itu, Asha? Jika aku gagal membuatmu muncul dalam acara itu, atasanku akan memotong cutiku, Asha.”
Melihat wajah editorku yang memelas, tentu saja aku merasa tidak tega. Bagaimana tidak, editorku ini adalah orang yang selalu peduli padaku. Dia bahkan langsung berlari dari tempatnya bekerja ketika aku tidak menerima panggilan darinya. Dia juga adalah orang yang selalu rela membagi masakan ibunya untukku ketika melihat kulkasku yang selalu kosong atau hanya berisi makanan cepat saji. Dia juga adalah orang yang selalu mengecek dan memastikan keadaanku baik-baik saja selama bekerja dengannya. Selama ini dia tidak pernah memohon banyak hal padaku dan kebanyakan selalu mendukungku. Melihatnya memohon seperti itu, tentu saja aku tidak akan tega.
“Baiklah. . . aku akan menerimanya. Hanya kali ini saja, aku akan menerimanya, Warda.”
“Terima kasih banyak, Asha. Kau memang bintang keberuntunganku.”
Sekali lagi. . . Warda memelukku dan membuat kepalaku menempel dengan perutnya yang buncit itu dan mendengar tendangan putra kecilnya itu.
Sepertinya. . . kau juga merasa senang ya, Auriga. Seperti ibumu, kau mungkin menganggapku sebagai bintang keberuntunganmu. Tapi. . . kutegaskan di sini, aku bukan bintang keberuntungan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 92 Episodes
Comments