Pagi itu, Samantha melangkah dengan langkah cepat dan tegas menyusuri lorong kantor. Sepatu hak tingginya bergema di lantai marmer seperti dentuman protes yang tertahan terlalu lama. Tangannya menggenggam secarik kertas cetakan tanda nama baru di depan pintu ruang kerjanya, tulisan yang membuat darahnya mendidih: "Samantha W. Graves."
Ia langsung menuju lantai enam, tempat divisi HRD berada. Suasana kantor yang biasanya dingin dan formal hari itu terasa lebih menyesakkan. Ketika Samantha membuka pintu kaca dengan cukup keras, beberapa pegawai sempat melirik, tapi tak berani menyapa.
Di meja depan, seorang staf HR bernama Marlene mengangkat wajah dengan senyum tipis. "Selamat pagi, Bu Samantha."
"Mana kepala HR?" tanyanya tajam. "Sekarang."
Marlene langsung berdiri. "Tentu, beliau ada di ruangannya. Saya antarkan."
Samantha mengangguk tanpa berkata-kata. Dalam pikirannya, segala bentuk kemungkinan berputar, mungkinkah ini hanya kesalahan teknis? Atau apakah Nathaniel benar-benar sudah sejauh itu masuk ke hidupnya?
Begitu memasuki ruangan HR, Samantha meletakkan kertas itu di meja.
"Apa ini?" suaranya tenang, tapi beracun. Tatapannya menusuk.
Linda Spencer, kepala HR, sedikit terkejut, tapi segera mengangguk profesional. "Oh, itu. Kami menerima dokumen pembaruan data staf senior beberapa hari lalu, sudah ditandatangani direktur dan.."
"Dan kau pikir aku sudah berganti nama tanpa tahu?" potong Samantha, nada suaranya naik satu oktaf.
Linda terlihat gugup. "Saya kira Anda sudah diberitahu sebelumnya. Ada memo dari...."
"Dari Nathaniel Graves?" bisik Samantha tajam.
Linda tak menjawab, hanya menunduk pelan. Jawaban yang lebih keras dari kata-kata mana pun.
Samantha menghela napas dalam, mencoba mengendalikan getar di dadanya. "Kalian tidak bisa begitu saja mengubah identitas seseorang di lingkungan kerja. Ini bukan hanya pelanggaran etika. Ini... pelecehan simbolis."
Linda mencoba menjawab, "Kami hanya mengikuti instruksi pimpinan. Ada lampiran persetujuan, dokumen yang tampaknya sudah ditandatangani..."
"Aku tidak pernah menandatangani apa pun. Tunjukkan padaku sekarang."
Beberapa menit kemudian, Linda mencetak salinan dokumen dan menyerahkannya. Samantha memeriksanya. Tanda tangan itu, nyaris sempurna meniru miliknya. Tapi dia tahu. Itu palsu.
Matanya menyipit. "Hapus nama itu dari semua sistem hari ini juga. Dan sampaikan pada direktur bahwa jika ia ingin mengakuiku sebagai miliknya, dia harus melakukan lebih dari sekadar mencuri namaku."
Linda terlihat sangat tidak nyaman. "Saya akan urus secepatnya."
Samantha mengambil kertas itu, merobeknya di depan mata semua orang sebelum melangkah keluar ruangan.
Tapi saat kembali ke ruang kerjanya, sesuatu membuat bulu kuduknya berdiri. Di meja, ada secarik kertas putih bersih... dengan tulisan tangan yang dikenalnya:
"Graves is just the beginning. Yours, truly."
...****************...
Samantha melangkah cepat melewati koridor menuju lantai direksi. Detak sepatunya menggema, mengguratkan kemarahan yang ditahan di sepanjang langkahnya. Kali ini dia tidak akan menunggu dijelaskan. Tidak akan membiarkan hidupnya dipermainkan dalam sunyi.
Tanpa mengetuk, ia membuka pintu ruang kerja Nathaniel. Pintu itu terbuka dengan bunyi lirih, menyingkap ruangan megah dan pria di dalamnya, berdiri membelakangi jendela luas, dengan latar langit Seattle yang kelabu. Nathaniel Graves berbalik dengan tenang, seolah telah menantikan kedatangannya.
"Samantha," Nada suaranya lembut. Terlalu lembut. Seolah mereka masih berbicara dalam ruang yang intim.
"Kau palsukan tanda tanganku," tegasnya tanpa basa-basi. "Kau ubah namaku di sistem."
Nathaniel menatapnya beberapa detik sebelum menjawab. Lalu ia melangkah mendekat dengan tenang.
"Samantha W. Graves," gumamnya. "Nama itu terdengar sangat pas. Kau tahu itu."
Samantha mendesis. "Itu bukan namaku."
"Tapi itu yang kuinginkan. Yang kupilih."
Ia berdiri tepat di hadapannya kini, matanya menelusuri wajah Samantha seperti menghafal lekuk yang sudah terlalu sering ia lihat dalam bayangan.
"Kau tidak ingat malam itu," katanya pelan, "tapi aku ingat semuanya. Setiap helaan napasmu. Setiap getar tubuhmu. Sejak malam itu, aku tidak pernah bisa berhenti memikirkanmu."
Samantha menegang. "Aku tidak tahu apa yang terjadi malam itu. Dan aku tidak ingin tahu. Tapi aku tahu satu hal, kau melangkah terlalu jauh."
Nathaniel mengangguk, tanpa rasa bersalah. "Aku tahu. Tapi aku tak peduli."
Senyumnya menyebar perlahan, tapi bukan senyum lembut. Itu senyum seseorang yang tak pernah menyerah atas apa yang ia anggap miliknya.
"Aku tak bisa memaksamu mengingat, Samantha. Tapi aku bisa memastikan kau tidak pernah melupakan siapa yang ada di sisi saat semua orang meninggalkanmu."
"Kau bisa pura-pura marah. Tapi cepat atau lambat, kau akan menyadari bahwa tempatmu memang di sini. Di bawah pengaruhku. Di bawah perlindunganku."
Samantha kehabisan kata-katanya, dengan amarah yang meluap wanita itu lalu berbalik dan pergi. Tapi langkahnya terasa goyah, seperti pijakan tanah yang mulai retak.
Nathaniel hanya memandang kepergiannya, senyum tipis tetap membeku di wajahnya.
Ia tahu... pertarungan ini baru dimulai. Dan ia tidak berniat kalah.
...****************...
Setiap langkah terasa berat. Seolah udara berubah menjadi kabut pekat yang menusuk masuk ke paru-parunya. Apa yang telah terjadi dalam hidupnya? Bagaimana semuanya berubah begitu cepat?
Di dalam lift, pantulan dirinya di dinding logam membuatnya mual. Mata itu, mata di cermin, terlihat asing. Seolah dia sedang melihat orang lain. Seseorang yang membiarkan dirinya dipermainkan oleh ambisi orang lain. Oleh obsesi yang tak dia pahami.
Tapi di balik semua itu, ada satu wajah yang menghantuinya, Leonard.
...****************...
Nathaniel menatap pintu ruangannya yang baru saja tertutup rapat setelah Samantha keluar. Suara langkahnya masih bergema samar di luar sana, dan itu cukup untuk membuat hatinya bergolak.
Dia mencondongkan tubuh, jari-jarinya yang panjang dan kuat mengepal di atas meja. Urat-urat di pelipisnya menegang. Rasa frustrasi dan gairah bercampur menjadi satu, memanaskan darahnya seperti api yang tertahan.
"Aku tahu kau merasakannya juga, Samantha," gumamnya pelan.
Dia menoleh ke layar monitor, memutar rekaman keamanan dari malam pesta itu, sebuah akses yang dia miliki sebagai bagian dari dewan pengarah. Satu detik, dua detik... kemudian muncullah sosok wanita bergaun gelap yang tersenyum canggung di antara para tamu.
Samantha.
Dia menghentikan video, memperbesar gambar. Memandangi wajah itu dengan tatapan yang terlalu intens untuk sekadar rasa suka.
"Sejak malam itu," bisiknya. "Kau mungkin tidak mengingat apa yang terjadi, Samantha. Tapi aku mengingat semuanya."
Tangan kirinya menyusuri permukaan meja seolah bisa menyentuh bayangan di layar. Kilatan emosi di matanya berubah, dari kerinduan menjadi hasrat yang membungkus obsesi.
"Kau datang padaku... dengan tubuh yang gemetar... dengan mata yang kosong tapi bibir yang terbuka," gumamnya lagi. "Kau tak sadar, tapi tubuhmu tahu... kau menginginkanku."
Nathaniel bangkit dari kursinya, mendekati dinding kaca yang memperlihatkan cakrawala kota. Matanya menyipit, mengamati dunia di bawah sana yang terasa begitu kecil dan tak penting.
"Samantha W. Graves," katanya pelan, menyebut nama baru yang sudah ia persiapkan bahkan sebelum wanita itu menerimanya. "Aku sudah memberimu tempat. Aku membukakan jalan. Sekarang, aku hanya tinggal menunggu... sampai kau menyadari bahwa dunia di luar sini tak bisa melindungimu dariku."
Dia membalikkan badan. Sorot matanya dingin, tapi bibirnya melengkung membentuk senyum tipis yang mematikan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 46 Episodes
Comments