MY HUSBAND IS HIS UNCLE
Pagi itu aku menguap dari tidurku, suara burung dan ayam bersahutan menandakan suasana sudah pagi. Rumahku berada dipedesaan dengan alam yang masih indah dan selalu terjaga membuat aku tidak ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini.
Namaku Zia pradipta mausqia sekarang aku tinggal di kota dan sesekali pulang ke rumah orang tuaku, aku berkerja sebagai karyawan salah satu perusahaan ternama dikota, disana aku tinggal di sebuah kontrakan kecil yang keadaannya sangat-sangat jauh dengan rumah orang tuaku yang didesa.
Hari ini hari minggu aku selalu menghabiskan waktu dengan Ibu entah itu memasak, belanja, jalan-jalan atau yang lainnya karena aku hanya punya 2 hari untuk bersenang-senang di rumah, sabtu minggu aku biasa pulang dan berangkat lagi minggu malam.
Hari ini aku dan Ibu memutuskan untuk pergi berbelanja kebutuhan dapur di pasar, ayah jarang ada dirumah karena selalu sibuk dengan tugas kantornya.
"BU,, TAXI ONLINE NYA UDAH DATANG!!" teriaku memanggil Ibu.
"Iya bentar, gak usah teriak-teriak malu sama orang tau, udah tau rumah kita derdekatan dengan yang lain, nanti dikirinya kita pamer lagi." Ibu berbicara dengan nada ceramahnya.
"Iya maaf tuannku," jawabku sambil cengengesan.
*
Sesampainya di pasar, aku menyuruh Ibu untuk istirahat di kedai bakso, aku berbelanja sendiri dengan catatan belanja yang sudah Ibu tulis tadi di rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul 11:20 dan aku sudah selesai dengan belanjaanya. Kami berniat pulang dengan taxi online yang sudah dipesan, tapi seseorang menambrakku dari belakang refleks aku langsung tersungkur jatuh dan kepalaku mengenai tiang di depanku dan mengeluarkan memar.
"Astaga, Zia!" teriak Ibu, yang kaget melihat darah menetes dari dahiku.
"Aku baik-baik aja kok, Ibu gak usah khawatir, ini luka kecil. Ibu pulang duluan aja, aku mau mampir dulu di puskesmas ya, gak boleh bilang sama ayah nanti ayah marah-marah." Aku berusaha menenangkan Ibu.
"Kamu yakin? Ibu gak bisa ninggalin kamu sendirian dalam kondisi begini," ibu tetaplah ibu yang sangat peduli terhadap analnya, apalagi aku anak semata wayangnya.
"Aku yakin Bu, aku baik-baik aja." Aku berdiri sambil menggandeng Ibu masuk ke Taxi.
"Pak saya nitip ibu saya ya, tolong anter dia sampai rumah dengan aman ya." Pintaku pada pak supir taxi.
"Baik neng," jawabnya ramah.
setelah ibu pergi aku segera pergi kearah toilet dan membuka obat pereda nyeri yang selalu aku bawa.
"PERMISI!!" teriak seseorang lari luar mengetuk pintu dengan agak keras.
"Sebentar," jawabku lirih.
Aku membuka pintu dan dia segera menghampiri.
"Maaf mbak, tadi saya yang menabrak mbak, saya minta maaf sekali, saya enggak sengaja kok, saya akan tanggung jawab saya akan bawa mbak ke rumah sakit." Dia berkata dengan nyerocosnya, mungkin takut aku akan marah.
"Gak papa kok, aku baik-baik aja," jawabku santai.
"Tapi itu mbak, keningnya berdarah," tunjuknya pada keningku.
"Oh, ini gak papa. Tubuhku sensitif jadi kalo kebentur sedikit suka ngeluarin darah." Jawabku asal.
"Ya udah kalo gitu kita ke rumah sakit." Paksanya dengan menarik lenganku.
"Ehh, gak usah begini, aku bisa jalan sendiri." Akhirnya aku mengalah.
"Nah gitu dong." Jawabnya senang.
Aku mengikutinya dari belakang, dia membawaku ke arah parkiran.
"Lah kok jauh banget, kita mau kemana?" tanyaku heran karena sudah berjalan jauh.
"Aku parkir motornya disana." Tunjuknya ke arah motor matic hitam.
"Kenapa jauh banget sih parkirnya?" aku berbicara dengan nada kecil agar tidak didengar olehnya.
"Maaf ada alasan tertentu kenapa aku parkir disini." Dia berkata seolah mendengar dan tau apa yang aku herankan.
"Iya," jawabku singkat.
Di jalan aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
"Maaf, tadi kita belum kenalan. Nama mas siapa ya?" Tanyaku dengan sedikit gugup, karena malu dan takut dia tidak menjawab.
"Nama saya Danial, terserah mau kamu panggil dani, atau al juga bisa." Jawabnya.
Aku tidak berbicara lagi, aku hanya mengangguk kecil.
"Nama mbak siapa?" tanya Danial.
"Nama saya Zia, gak usah panggil mbak, kesannya kayak udah tua gitu." Perkataanku membuat danial tertawa, entah menertawakan apa dan membuatnya tidak fokus menjalankan motornya alhasil dia tidak melihat ada polisi tidur didepannya, dia mengerem mendadak dan aku refleks memeluknya.
"Astaga!" kataku kaget.
"Maaf, aku gak liat ada polisi tidur." Katanya dengan nada datar, yang entah disengaja atau tidak.
"Tapi kalau mau peluk lebih lama lagi boleh kok, aku gak keberatan." Dia berbicara dengan santainya.
"Ehh maaf!" aku yang kaget karena tanganku masih melingkar di pinggang danial segera melepaskannya.
Setelah kejadian itu kami tidak bicara apa-apa lagi.
*
Sesampainya di puskesmas aku menemui doktor dan mengobati lukaku, dia bilang aku harus lebih hati-hati lagi dan jika terbentur cukup keras mungkin aku akan mengalami amnesia.
"Dok tapi kan tadi benturannya itu hanya sedikit mungkin bagi sebagian orang itu tidak akan meninggalkan memar, tapi kenapa dia sampai mengeluarkan darah?" tanya Danial dengan sangat perhatiannya.
"Kalau untuk itu, saya belum bisa memastikan, saya anjurkan untuk melakukan pengecekan di rumah sakit besar supaya bisa dilakukan pengecekan yang akurat, saya rasa tubuh dia terlalu sensitif dengan benturan." Kata dokter dita, aku tau karena seragamnya tertulis dr.Dita.
"Saya rasa kejadian ini baru terjadi beberapa minggu belakangan, saya sering merasa sakit setelah bekerja, dan kadang timbul bekas bekas lebam begitu aja." Aku berusaha menjelaskan keadaanku.
"Apa kamu sering minum obat pereda nyeri?" tanya dokter Dita.
"Baru-baru ini saya membelinya di apotik, karena luka lebam yang ada d tubuh saya sering sakit tanpa sebab." Kataku.
"Saya sarankan, kamu hentikan dulu meminum obat itu, dan segera lakukan pengecekan untuk memastikan kondisi tubuh kamu." Saran dokter Dita.
"Baik dok," jawabku lirih.
Setelah selesai pemeriksaannya, kita memutuskan untuk istirahat dulu di kedai bakso karena langit juga sudah mulai menghitam tanda akan segera hujan.
Sesampainya di kedai aku memesan makan terlebih dahulu karena konsepnya bayar duluan, jadi setelah makan kita bisa langsung pulang tanpa ba bi bu lagi harus bayar.
"Dan, kamu mau apa?" tanyaku pada Danial yang sedang melihat menu.
"Terserah aja deh," jawabnya.
"Aku mau mie ayam bakso porsi jumbo, kamu yakin mau samaan?" kata ku memastikan.
"Kamu yakin bisa ngabisin itu, itu porsinya banyak banget. Aku porsi biasa aja deh." Danial menunjuk gambar bakso yang ukurannya lebih kecil, mungkin dia tidak suka makan banyak-banyak.
"Ya udah mbak, mie ayam bakso porsi jumbonya satu, bakso biasanya satu ya, minumannya cappucino aja 2." Kataku pada pelayannya.
"Baik mbak, ditunggu ya." Jawabnya sambil menulis.
"Totalnya 58 ribu mbak." Kata pelayannya.
"Oh iya mbak," jawabku sambil menyodorkan uang pecahan 50 ribu 2 lembar.
"Biar aku aja yang bayar, aku laki-laki sebaiknya aku yang bayar zi, yang ngajak kamu kesini aku kan." Kata Danial sambil menyodorkan uang 100 ribu pada pelayan.
"Tapi tadi kan kamu udah bayarin aku waktu di rumah sakit, sekarang gantian biar adil." Jawabku tak mau kalah.
Mbak pelayan bingung dengan tingkah kami yang sama-sama menyodorkan uang.
"Ya udah kamu aja yang bayar," kata Danial mengalah.
"Nah gitu dong," aku menyodorkan uang dan segera di ambil oleh pelayannya.
"Mbak saya pesan bakso porsi biasa 5 bungkus dan minumannya juga ya, tapi di bungkus." Kata Danial membuatku bingung kenapa dia membungkus makan banyak.
"Totalnya berapa mbak?" tanya Danial lagi.
"Totalnya 120 ribu mas." Kata pelayan dengan tersenyum.
Danial menyodorkan uang pecahan 50 ribuan 3 lembar.
"Kembaliannya ambil aja mbak." Kata danial membuat pelayannya tersenyum bahagia.
"Makasih mas." Ujar pelayan itu.
Setelah membayar selesai kami pergi ke sebuah meja di sudut ruangan karena meja lain sudah terisi penuh.
Kami duduk berhadapan layaknya sepasang kekasih, aku masih agak canggung dengan Danial apalagi kami baru satu hari kenalan, meskipun Danial bersikap layaknya sahabat tapi tetap saja rasa waswas dan curiga selalu menghantuiku, takut-takut kalau dia akan menculiku, atau akan berbuat hal aneh semacamnya.
Setelah menunggu lama akhirnya makanan kami datang dan kami segera menyantapnya, dari pagi perutku belum makan apapun makanya aku pesan yang porsi jumbo.
Saat makan kami tidak banyak bicara, apalagi di kekuargaku saat makan dilarang berbicara atau mengobrol, kata Ayah gak baik bicara saat sedang makan.
"Dan, makanan aku udah abis, setelah ini aku pulang aja. Aku udah pesen ojek online kok jadi kamu gak usah repot-repot nganterin." Saat aku akan bergegas pergi Danial menarik tanganku.
"Ya udah kita pulang barengan, aku yang ajak kamu pergi jadi pulang harus sama aku juga, gak boleh nolak. Sebagai laki-laki ya aku harus tanggung jawab setidaknya mengantarkan kamu dengan aman ke rumah kamu." Danial berkata dengan penuh tanggung jawab, dan kata-kata itu mampu membuatku tersipu malu.
"Aku bukan anak kecil kok, lagian kan kasian ojek onlinenya udah nunggu di luar." Aku berusaha mencari alasan.
"Ya udah kita keluarnya barengan." Danial bergegas pergi ke arah meja kasir.
"Mbak, pesanan saya yang tadi udah beres belum?" tanyanya dengan lembut.
"Oh, udah mas. Ini kan," kata pelayan dengan ramahnya sambil menyodorkan bungkusan putih berisi pesanan Danial tadi.
Setelah sampai di luar aku mencari ojek online yang aku pesan tadi, dan ternyata benar dia sudah menunggu.
"Maaf Pak nunggu lama." Kataku berbasa-basi.
"Iya gak papa Neng." Jawabnya dengan ramah.
Saat aku akan menaiki motor Danial tiba-tiba datang dan membuatku kaget.
"Zi, rumah kamu dimana?" tanyanya tiba-tiba.
"Di kampung Pertiwi, memangnya kenapa?"tanyaku heran.
"Pak, bapak tau kan alamat itu ?, bapak anterin aja pesanan ini kesana dan cukup bilang ada titipan dari Zia, ini saya kasih ongkos lebih sebagai ganti rugi atas kejadian ini, soalnya saya mau pinjam penumpang bapak. boleh, kan?" tanya Danial.
"Tapi dan, ini berlebihan, gak papa beneran aku naik ojek aja, kasian kan si bapak udah nunggu lama." Kataku merasa enggak enak dengan ojek Onlinenya.
"Gak papa neng ini udah resiko saya, tapi rumahnya di sebelah mana tepatnya biar saya gampang carinya." Kata pak ojek.
"Tuh si bapak aja bisa ngerti, masa kamu enggak, ya udah cepet bilang dimana rumahnya kasian kan nanti si bapak pulangnya kemaleman." Kata Danial membela pak ojek.
"Di dekat rumah pak RT, rumah saya di sampingnya, kalo bapak gak tau bapak cukup tanyakan aja sama tetangga yang lain rumah bu Marisa mereka pasti tau kok." Jelasku.
"Oh baik, saya tau kok. Neng ini neng Zia kan yang sering pesan makanan online." Kata pak ojek, yang membuatku kaget kenapa dia bisa tau namaku.
"Iya betul, tapi kenapa bapak bisa tau nama saya?" aku bertanya balik.
"Neng kan sering pesen makanan online, saya kadang sering nganterin ke situ." Jawabnya.
"Oh iya ya, maaf Pak saya gak ngenalin bapak." Kataku malu karena sudah punya prasangka yang buruk.
"Ya udah pak bisa jalan sekarang nanti keburu malem." Kata Danial dengan nada santainya.
Setelah bapak ojol pergi aku dan Danial juga pergi menaiki motor, aku menunjukan akan arah pada Danial karena Danial tidak tahu rumahku.
"Di depan ada pertigaan kamu belok kiri, ya." Tunjuku padanya.
Danial tidak menjawab apapun dia hanya diam, aku pikir dia sudah mendengarnya dan akan berbelok ke kiri.
Tapi saat melewati pertigaan itu dia malah lurus.
"Danial, kamu mau bawa aku kemana. jalan ke rumah ku terlewat." Aku yang kaget karena Danial terus melajukan motornya dengan cepat.
"KAMU BISA DIEM GAK SIH!" bentak Danial, seketika air mataku menetes dengan derasnya. Perlakuannya berbeda dengan Danial yang aku kenal tadi apalagi ini sudah hampir sore.
Aku segera mengeluarkan ponsel dan menelpon ibu, tapi tiba-tiba Danial meraih tanganku dari depan dan mengambil handphone ku.
Aku menangis sejadi-jadinya. rasa takut yang aku bayangkan dari tadi kini menjadi kenyataan, bagaimana jika dia berbuat hal aneh padaku, aku bingung harus bagaimana lagi yang aku lakukan hanya menangis dan menangis sedangkan Danial masih terus melajukan motornya dengan cepat.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 33 Episodes
Comments
Pirnap
mantep ♥️
2021-12-29
1
Mayya_zha
aku mampir ya.. dengan boomlike. nya juga
2021-12-10
0
Riana Kristina
Semangat💐💐💐
2021-12-05
0