Pagi itu aku menguap dari tidurku, suara burung dan ayam bersahutan menandakan suasana sudah pagi. Rumahku berada dipedesaan dengan alam yang masih indah dan selalu terjaga membuat aku tidak ingin cepat-cepat meninggalkan tempat ini.
Namaku Zia pradipta mausqia sekarang aku tinggal di kota dan sesekali pulang ke rumah orang tuaku, aku berkerja sebagai karyawan salah satu perusahaan ternama dikota, disana aku tinggal di sebuah kontrakan kecil yang keadaannya sangat-sangat jauh dengan rumah orang tuaku yang didesa.
Hari ini hari minggu aku selalu menghabiskan waktu dengan Ibu entah itu memasak, belanja, jalan-jalan atau yang lainnya karena aku hanya punya 2 hari untuk bersenang-senang di rumah, sabtu minggu aku biasa pulang dan berangkat lagi minggu malam.
Hari ini aku dan Ibu memutuskan untuk pergi berbelanja kebutuhan dapur di pasar, ayah jarang ada dirumah karena selalu sibuk dengan tugas kantornya.
"BU,, TAXI ONLINE NYA UDAH DATANG!!" teriaku memanggil Ibu.
"Iya bentar, gak usah teriak-teriak malu sama orang tau, udah tau rumah kita derdekatan dengan yang lain, nanti dikirinya kita pamer lagi." Ibu berbicara dengan nada ceramahnya.
"Iya maaf tuannku," jawabku sambil cengengesan.
*
Sesampainya di pasar, aku menyuruh Ibu untuk istirahat di kedai bakso, aku berbelanja sendiri dengan catatan belanja yang sudah Ibu tulis tadi di rumah.
Jam sudah menunjukkan pukul 11:20 dan aku sudah selesai dengan belanjaanya. Kami berniat pulang dengan taxi online yang sudah dipesan, tapi seseorang menambrakku dari belakang refleks aku langsung tersungkur jatuh dan kepalaku mengenai tiang di depanku dan mengeluarkan memar.
"Astaga, Zia!" teriak Ibu, yang kaget melihat darah menetes dari dahiku.
"Aku baik-baik aja kok, Ibu gak usah khawatir, ini luka kecil. Ibu pulang duluan aja, aku mau mampir dulu di puskesmas ya, gak boleh bilang sama ayah nanti ayah marah-marah." Aku berusaha menenangkan Ibu.
"Kamu yakin? Ibu gak bisa ninggalin kamu sendirian dalam kondisi begini," ibu tetaplah ibu yang sangat peduli terhadap analnya, apalagi aku anak semata wayangnya.
"Aku yakin Bu, aku baik-baik aja." Aku berdiri sambil menggandeng Ibu masuk ke Taxi.
"Pak saya nitip ibu saya ya, tolong anter dia sampai rumah dengan aman ya." Pintaku pada pak supir taxi.
"Baik neng," jawabnya ramah.
setelah ibu pergi aku segera pergi kearah toilet dan membuka obat pereda nyeri yang selalu aku bawa.
"PERMISI!!" teriak seseorang lari luar mengetuk pintu dengan agak keras.
"Sebentar," jawabku lirih.
Aku membuka pintu dan dia segera menghampiri.
"Maaf mbak, tadi saya yang menabrak mbak, saya minta maaf sekali, saya enggak sengaja kok, saya akan tanggung jawab saya akan bawa mbak ke rumah sakit." Dia berkata dengan nyerocosnya, mungkin takut aku akan marah.
"Gak papa kok, aku baik-baik aja," jawabku santai.
"Tapi itu mbak, keningnya berdarah," tunjuknya pada keningku.
"Oh, ini gak papa. Tubuhku sensitif jadi kalo kebentur sedikit suka ngeluarin darah." Jawabku asal.
"Ya udah kalo gitu kita ke rumah sakit." Paksanya dengan menarik lenganku.
"Ehh, gak usah begini, aku bisa jalan sendiri." Akhirnya aku mengalah.
"Nah gitu dong." Jawabnya senang.
Aku mengikutinya dari belakang, dia membawaku ke arah parkiran.
"Lah kok jauh banget, kita mau kemana?" tanyaku heran karena sudah berjalan jauh.
"Aku parkir motornya disana." Tunjuknya ke arah motor matic hitam.
"Kenapa jauh banget sih parkirnya?" aku berbicara dengan nada kecil agar tidak didengar olehnya.
"Maaf ada alasan tertentu kenapa aku parkir disini." Dia berkata seolah mendengar dan tau apa yang aku herankan.
"Iya," jawabku singkat.
Di jalan aku memberanikan diri untuk membuka pembicaraan.
"Maaf, tadi kita belum kenalan. Nama mas siapa ya?" Tanyaku dengan sedikit gugup, karena malu dan takut dia tidak menjawab.
"Nama saya Danial, terserah mau kamu panggil dani, atau al juga bisa." Jawabnya.
Aku tidak berbicara lagi, aku hanya mengangguk kecil.
"Nama mbak siapa?" tanya Danial.
"Nama saya Zia, gak usah panggil mbak, kesannya kayak udah tua gitu." Perkataanku membuat danial tertawa, entah menertawakan apa dan membuatnya tidak fokus menjalankan motornya alhasil dia tidak melihat ada polisi tidur didepannya, dia mengerem mendadak dan aku refleks memeluknya.
"Astaga!" kataku kaget.
"Maaf, aku gak liat ada polisi tidur." Katanya dengan nada datar, yang entah disengaja atau tidak.
"Tapi kalau mau peluk lebih lama lagi boleh kok, aku gak keberatan." Dia berbicara dengan santainya.
"Ehh maaf!" aku yang kaget karena tanganku masih melingkar di pinggang danial segera melepaskannya.
Setelah kejadian itu kami tidak bicara apa-apa lagi.
*
Sesampainya di puskesmas aku menemui doktor dan mengobati lukaku, dia bilang aku harus lebih hati-hati lagi dan jika terbentur cukup keras mungkin aku akan mengalami amnesia.
"Dok tapi kan tadi benturannya itu hanya sedikit mungkin bagi sebagian orang itu tidak akan meninggalkan memar, tapi kenapa dia sampai mengeluarkan darah?" tanya Danial dengan sangat perhatiannya.
"Kalau untuk itu, saya belum bisa memastikan, saya anjurkan untuk melakukan pengecekan di rumah sakit besar supaya bisa dilakukan pengecekan yang akurat, saya rasa tubuh dia terlalu sensitif dengan benturan." Kata dokter dita, aku tau karena seragamnya tertulis dr.Dita.
"Saya rasa kejadian ini baru terjadi beberapa minggu belakangan, saya sering merasa sakit setelah bekerja, dan kadang timbul bekas bekas lebam begitu aja." Aku berusaha menjelaskan keadaanku.
"Apa kamu sering minum obat pereda nyeri?" tanya dokter Dita.
"Baru-baru ini saya membelinya di apotik, karena luka lebam yang ada d tubuh saya sering sakit tanpa sebab." Kataku.
"Saya sarankan, kamu hentikan dulu meminum obat itu, dan segera lakukan pengecekan untuk memastikan kondisi tubuh kamu." Saran dokter Dita.
"Baik dok," jawabku lirih.
Setelah selesai pemeriksaannya, kita memutuskan untuk istirahat dulu di kedai bakso karena langit juga sudah mulai menghitam tanda akan segera hujan.
Sesampainya di kedai aku memesan makan terlebih dahulu karena konsepnya bayar duluan, jadi setelah makan kita bisa langsung pulang tanpa ba bi bu lagi harus bayar.
"Dan, kamu mau apa?" tanyaku pada Danial yang sedang melihat menu.
"Terserah aja deh," jawabnya.
"Aku mau mie ayam bakso porsi jumbo, kamu yakin mau samaan?" kata ku memastikan.
"Kamu yakin bisa ngabisin itu, itu porsinya banyak banget. Aku porsi biasa aja deh." Danial menunjuk gambar bakso yang ukurannya lebih kecil, mungkin dia tidak suka makan banyak-banyak.
"Ya udah mbak, mie ayam bakso porsi jumbonya satu, bakso biasanya satu ya, minumannya cappucino aja 2." Kataku pada pelayannya.
"Baik mbak, ditunggu ya." Jawabnya sambil menulis.
"Totalnya 58 ribu mbak." Kata pelayannya.
"Oh iya mbak," jawabku sambil menyodorkan uang pecahan 50 ribu 2 lembar.
"Biar aku aja yang bayar, aku laki-laki sebaiknya aku yang bayar zi, yang ngajak kamu kesini aku kan." Kata Danial sambil menyodorkan uang 100 ribu pada pelayan.
"Tapi tadi kan kamu udah bayarin aku waktu di rumah sakit, sekarang gantian biar adil." Jawabku tak mau kalah.
Mbak pelayan bingung dengan tingkah kami yang sama-sama menyodorkan uang.
"Ya udah kamu aja yang bayar," kata Danial mengalah.
"Nah gitu dong," aku menyodorkan uang dan segera di ambil oleh pelayannya.
"Mbak saya pesan bakso porsi biasa 5 bungkus dan minumannya juga ya, tapi di bungkus." Kata Danial membuatku bingung kenapa dia membungkus makan banyak.
"Totalnya berapa mbak?" tanya Danial lagi.
"Totalnya 120 ribu mas." Kata pelayan dengan tersenyum.
Danial menyodorkan uang pecahan 50 ribuan 3 lembar.
"Kembaliannya ambil aja mbak." Kata danial membuat pelayannya tersenyum bahagia.
"Makasih mas." Ujar pelayan itu.
Setelah membayar selesai kami pergi ke sebuah meja di sudut ruangan karena meja lain sudah terisi penuh.
Kami duduk berhadapan layaknya sepasang kekasih, aku masih agak canggung dengan Danial apalagi kami baru satu hari kenalan, meskipun Danial bersikap layaknya sahabat tapi tetap saja rasa waswas dan curiga selalu menghantuiku, takut-takut kalau dia akan menculiku, atau akan berbuat hal aneh semacamnya.
Setelah menunggu lama akhirnya makanan kami datang dan kami segera menyantapnya, dari pagi perutku belum makan apapun makanya aku pesan yang porsi jumbo.
Saat makan kami tidak banyak bicara, apalagi di kekuargaku saat makan dilarang berbicara atau mengobrol, kata Ayah gak baik bicara saat sedang makan.
"Dan, makanan aku udah abis, setelah ini aku pulang aja. Aku udah pesen ojek online kok jadi kamu gak usah repot-repot nganterin." Saat aku akan bergegas pergi Danial menarik tanganku.
"Ya udah kita pulang barengan, aku yang ajak kamu pergi jadi pulang harus sama aku juga, gak boleh nolak. Sebagai laki-laki ya aku harus tanggung jawab setidaknya mengantarkan kamu dengan aman ke rumah kamu." Danial berkata dengan penuh tanggung jawab, dan kata-kata itu mampu membuatku tersipu malu.
"Aku bukan anak kecil kok, lagian kan kasian ojek onlinenya udah nunggu di luar." Aku berusaha mencari alasan.
"Ya udah kita keluarnya barengan." Danial bergegas pergi ke arah meja kasir.
"Mbak, pesanan saya yang tadi udah beres belum?" tanyanya dengan lembut.
"Oh, udah mas. Ini kan," kata pelayan dengan ramahnya sambil menyodorkan bungkusan putih berisi pesanan Danial tadi.
Setelah sampai di luar aku mencari ojek online yang aku pesan tadi, dan ternyata benar dia sudah menunggu.
"Maaf Pak nunggu lama." Kataku berbasa-basi.
"Iya gak papa Neng." Jawabnya dengan ramah.
Saat aku akan menaiki motor Danial tiba-tiba datang dan membuatku kaget.
"Zi, rumah kamu dimana?" tanyanya tiba-tiba.
"Di kampung Pertiwi, memangnya kenapa?"tanyaku heran.
"Pak, bapak tau kan alamat itu ?, bapak anterin aja pesanan ini kesana dan cukup bilang ada titipan dari Zia, ini saya kasih ongkos lebih sebagai ganti rugi atas kejadian ini, soalnya saya mau pinjam penumpang bapak. boleh, kan?" tanya Danial.
"Tapi dan, ini berlebihan, gak papa beneran aku naik ojek aja, kasian kan si bapak udah nunggu lama." Kataku merasa enggak enak dengan ojek Onlinenya.
"Gak papa neng ini udah resiko saya, tapi rumahnya di sebelah mana tepatnya biar saya gampang carinya." Kata pak ojek.
"Tuh si bapak aja bisa ngerti, masa kamu enggak, ya udah cepet bilang dimana rumahnya kasian kan nanti si bapak pulangnya kemaleman." Kata Danial membela pak ojek.
"Di dekat rumah pak RT, rumah saya di sampingnya, kalo bapak gak tau bapak cukup tanyakan aja sama tetangga yang lain rumah bu Marisa mereka pasti tau kok." Jelasku.
"Oh baik, saya tau kok. Neng ini neng Zia kan yang sering pesan makanan online." Kata pak ojek, yang membuatku kaget kenapa dia bisa tau namaku.
"Iya betul, tapi kenapa bapak bisa tau nama saya?" aku bertanya balik.
"Neng kan sering pesen makanan online, saya kadang sering nganterin ke situ." Jawabnya.
"Oh iya ya, maaf Pak saya gak ngenalin bapak." Kataku malu karena sudah punya prasangka yang buruk.
"Ya udah pak bisa jalan sekarang nanti keburu malem." Kata Danial dengan nada santainya.
Setelah bapak ojol pergi aku dan Danial juga pergi menaiki motor, aku menunjukan akan arah pada Danial karena Danial tidak tahu rumahku.
"Di depan ada pertigaan kamu belok kiri, ya." Tunjuku padanya.
Danial tidak menjawab apapun dia hanya diam, aku pikir dia sudah mendengarnya dan akan berbelok ke kiri.
Tapi saat melewati pertigaan itu dia malah lurus.
"Danial, kamu mau bawa aku kemana. jalan ke rumah ku terlewat." Aku yang kaget karena Danial terus melajukan motornya dengan cepat.
"KAMU BISA DIEM GAK SIH!" bentak Danial, seketika air mataku menetes dengan derasnya. Perlakuannya berbeda dengan Danial yang aku kenal tadi apalagi ini sudah hampir sore.
Aku segera mengeluarkan ponsel dan menelpon ibu, tapi tiba-tiba Danial meraih tanganku dari depan dan mengambil handphone ku.
Aku menangis sejadi-jadinya. rasa takut yang aku bayangkan dari tadi kini menjadi kenyataan, bagaimana jika dia berbuat hal aneh padaku, aku bingung harus bagaimana lagi yang aku lakukan hanya menangis dan menangis sedangkan Danial masih terus melajukan motornya dengan cepat.
Setelah Danial membawaku jauh dia berhenti menepikan motornya di sebuah rest area di pom bensin.
"Zi, maaf." nada bicaranya lemah lembut berbanding terbalik saat dia membentaku tadi.
Aku tidak menjawab pertanyaan apapun dari dia.
"Zi, kamu marah sama aku ?" dia menanyakan pertanyaan yang jelas2 membuatku muak.
"Kamu punya kepribadian berapa sih? tadi siang kamu manis banget, terus tadi waktu di motor kenapa sikapnya beda banget." aku bicara dengan masih terisak.
"Zi, maafin aku, jadi tadi waktu kita makan di kedai ada sekelompok orang yang liatin kamu terus, awalnya aku gak curiga apa-apa tapi waktu di parkiran kebetulan motor aku parkir di dekat mobil mereka dan di dalamnya ada dua orang yang sedang membicarakan kamu. Mereka bilang kamu seorang wanita muda yang punya penghasilan besar, dan maaf ( Danial menundukan kepalanya) mereka bilang tubuh kamu bagus untuk menemani mereka. Aku gak Terima liat kamu di pandang rendah seperti itu Zi, waktu di jalan aku sengaja gak belok ke rumah kamu, aku takut jika mereka tau rumah kamu mereka akan neror kamu bahkan mungkin mereka akan menculik kamu saat kamu lengah." penjelasan Danial mampu membuat lututku terasa lemas dan air mataku menetes lebih deras lagi, danial langsung memeluk aku yang masih duduk di motor sedangkan dia berdiri di sebelahku.
"Ma..aaaf aku ud..ah salah sang..ka sama ka..mu." aku minta maaf pada Danial dengan terbata-bata karena tangisanku.
"Iya gak apa-apa aku ngerti kok." dia membuatku menjadi lebih tenang.
"Tapi sekarang mereka dimana ?" tanyaku takut-takut kalau mereka masih mengikuti kami.
"Kamu tenang aja, tadi aku sengaja lewat ke depan polisi yang sedang menggelar razia, mereka gak akan berani melewati itu, karena yang aku liat mobil mereka mobil curian." Danial berkata seperti detektif saja.
"Kamu tau dari mana ?" tanyaku sambil menengadahkan kepala menatap wajah Danial.
"Aku liat dari plat nomor nya Zi, itu sudah terlewat beberapa tahun. ya kalaupun bukan curian ya tetep aja mereka gak akan berani lewati polisi." kata Danial menjelaskan lagi.
"Tapi aku takut mereka datang lagi, apalagi mereka mengenali wajahku." aku yang takut semakin mengeratkan pelukanku pada Danial.
"Zi, sebaiknya malam ini kamu nginep di rumah aku aja, aku yakin kamu aman disana." usul Danial.
"Tapi aku gak enak kalo harus nginep dirumah laki-laki, terus ibu pasti cemas kalo aku gak pulang semalaman." aku khawatir ibu akan marah.
"Kamu gak usah pikirin itu, tadi waktu aku kasih bakso ke ojek online aku udah selipin surat, aku udah tulis disitu alasan kamu gak akan bisa pulang malam ini, dan aku udah cantumin nomor HP ku disana, biar ibu kamu juga tenang gak nyariin kamu." Danial selalu bertindak dengan bijaksana dalam mengambil keputusan.
"Makasih, kenapa kamu baik banget sama aku padahal kita baru kenal ?" tanyaku heran.
"Zia Zia, ya kamu aja yang baru kenal sama aku, aku udah lama kenal sama kamu." kata Danial membuatku terkejut.
"KAPAN? KOK BISA ?" Tanyaku refleks sambil melepaskan pelukanku pada Danial.
"Dulu kamu inget gak, keluarga kita mau buat perjodohan, waktu itu kamu malah pergi ke kota cari kerja gara-gara kamu gak mau di jodohin sama aku." astaga kesengajaan apalagi ini.
"Jadi orang yang mau di jodohin sama aku itu kamu." aku berbicara seperti mengulang lagi ucapan Danial.
"Iya, terus kenapa kamu malah gak mau? secara keluargaku orang berada gituh, aku juga ganteng kan." Danial bertanya sambil menggodaku.
"Aku dulu belum punya pikiran buat nikah muda, aku gak pernah mandang siapapun berdasarkan harta atau dari rupa. walaupun aku dulu tau kamu yang akan dijodohkan denganku, ya tetep aja aku akan nolak, ingat umur minimal wanita menikah itu 20 tahun, dulu aku baru 18 tahun baru lulus SMA." aku bicara menegaskan alasanku menolak perjodohan itu.
"Iya, aku percaya kok. ya udah kita pulang dulu ke rumah ku, ibu juga pasti seneng kalo liat kamu." ujar Danial.
"Kok aku rasanya grogi ya, kayak mau di kenalin sama mamah mertua." kataku dengan sedikit tertawa.
"ya bagus dong, apa perlu kita beli cincin buat peresmian." Danial lagi-lagi menggodaku.
"DANIALL!!! ih gak lucu." aku memalingkan wajah ke arah lain, kali ini aku yakin wajahku pasti merah sekali, Danial selalu bisa membuatku tersipu.
Danial sudah menaiki motornya dan melaju kembali menuju ke rumahnya.
*
Sesampainya di rumah Danial memarkirkan motornya di garasi dan aku tertegun melihat rumah mewahnya, aku yang baru kali pertama menginjakan kaki di rumahnya.
"Dan, aku malu. gimana kalo mamah kamu marah apalagi ini udah malem." ucapku gugup. Sial kegugupanku malah membuat Danial terus tersenyum.
"Tenang aja, rileks." kata Danial sambil membuka pintu.
Begitu kami masuk beberapa pertanyaan menyambut kedatangan kami.
"Dari mana aja kamu, apa udah lupa jalan pulang." tanya seorang wanita paruh baya yang sedang duduk di kursi goyangnya.
"Pulang sehari main seminggu." sindir beberapa pelayan yang sedang membereskan rumah.
" Eh, kalian ini. kok malah digituin nanti dia kabur lagi."
" Kamu sebaiknya bersihin diri dulu, setelah itu kamu makan ya!" kata wanita sepantaran ibuku, mungkin dia ibunya.
"Oh iya mah aku pulang bawa oleh-oleh, tadi aku nemu dia di pasar, namanya Zia." ucapan Danial mampu membuat semua orang menoleh dan tertawa bersama.
"ihhhhhh." aku mencubit pinggangnya, karena aku berdiri di samping Danial, itu memudahkan aku mencubitnya.
"kamu ini Oma kira kamu bawa makanan, gak tau nya bawa ibu buat cicit Oma." kata wanita paruh baya dengan tersenyum padaku, dan ternyata dia neneknya Danial.
Sepertinya keluarga Danial kalo bicara suka humoris, terlihat dari kata-kata mereka.
"Astaga menantu ibu, kenapa baru kesini sayang. pasti suami kamu yang larang ya ?" kata ibu Danial sambil merangkulku.
"Maaf Bu. kita gak ada hubungan apapun kok, kita juga baru kenal hari ini." aku mencoba menjelaskan pada semuanya.
"Gak apa-apa yang penting kalian nanti kedepannya harus nikah, kalo perlu buatin Oma cicit secepatnya." kata oma menggoda aku dan Danial.
"Dan jelasin dong." pintaku padanya sambil mencubit pinggangnya lagi.
"Memang benar ya kalo singa sama pawangnya pasti diem di apa-apain juga." kata salah satu pelayan.
"Iya yah, coba kalo kita yang cubit, yang ada bakalan banyak benda yang berjatuhan." Kata Oma sambil tertawa.
"Oma, Zia boleh gak nginep disini malem ini ?" Danial meminta izin pada Oma dengan nada sedikit dieja, mungkin takut keluarganya marah.
"Ya tentu boleh dong, Oma gak keberatan sama sekali." Kata oma sambil beranjak dari kursi goyangnya.
"Bi tolong beresin kamar Danial biar Zia tidur disana." Perintah Oma sambil pergi ke arah tangga.
"Baik bu." Jawab para pelayan sambil berlari kecil mengikuti Oma.
"OMA!!! aku gak mungkin kan tidur sekamar sama Zia, aku risih." Danial berteriak sambil berlari mengikuti Oma dan sekarang tersisa aku sama ibunya.
"Kamu gak usah khawatir, kamu gak akan tidur sekamar sama Danial. Oma hanya becanda." Kata ibu Danial sambil meraih tanganku untuk duduk didekatnya.
"Iya bu, tapi maaf sebelumnya saya belum tau nama ibu, biar saya gak canggung manggilnya." Kataku dengan malu-malu.
"Nama saya Yuri, kamu cukup panggil mamah aja gak usah canggung. Kamu wanita pertama yang Danial bawa ke rumah dan saya yakin kamu orang yang baik buat dia." Bu Yuri dengan yakinnya memercayaiku orang yang baru dia kenal beberapa menit lalu.
"Tapi bu, saya beneran gak ada hubungan apa-apa sama Danial, kita aja baru kenal tadi siang. Waktu di Pasar kita gak sengaja ketemu, ibu gak boleh terlalu percaya sama orang asing." Kataku meyakinkan bu Yuri kalau aku dan Danial tidak ada hubungan apapun.
"Iya gak papa, ayo kita susul mereka siapa tau udah beres." Ajak bu Yuri sambil beranjak ke arah tangga.
Aku mengikuti bu Yuri dari belakang menaiki tangga.
Lantai 2 hanya berisi kamar kamar dan beberapa ruangan. Layaknya hotel antara pintu kamar satu dan lainnya saling berhadapan. Kamar Danial terletak paling ujung dekat balkon.
"Loh kok belum di beresin sih." Kata bu Yuri pada pelayannya.
"Ini bu, den Danial gak mau katanya takut kami merusak barang-barang dia." Jelas para pelayan.
"Danial, kamu gak boleh egois dong. Kalo kamar ini gak di beresin Zia mau tidur dimana ?" Tanya bu Yuri pada Danial.
"Tapi kan bu.." Belum sempat Danial melanjutkan ucapannya sudah terpotong.
"Gak papa bu, aku tidur di luar aja gak perlu di kamar. Lagian kan ini kamarnya danial." Aku memotong ucapan danial.
"Ehh, gak boleh begitu sayang. Kamu wanita biar dia aja yang ngalah." Kata bu Yuri sambil mengelus bahuku.
"Iya yaudah gini aja. Zia tidur di kamar aku, dan untuk yang beres-beres biar aku aja, biar gak ada barang yang rusak dan dibuang begitu aja." Ucap Danial sambil melirik sinis ke arah pelayan.
"Biasa aja den, kan bibi gak tau dan gak sengaja waktu itu." Kata pelayan dengan malunya.
"Sebenernya ada apa sih dengan mereka bu ?" Tanyaku pada bu yuri.
"Jadi gini, dulu mereka pernah beresin kamarnya Danial dan gak sengaja ngebuang beberapa barang yang penting bagi Danial. Ya walaupun barangnya sepele." Bu Yuri menjelaskan masalah Danial dengan para pelayannya.
"Kalo boleh tau emangnya barang apa sih sampai Danial begitu marah ?" Tanyaku lagi semakin penasaran.
"Kalo gak salah sih foto apa kertas gitu ibu lupa." Kata bu Yuri sembari berpikir.
"Eh ibu apaan sih kok jadi ghibahin orang." Ucap Danial yang tidak Terima jadi bahan obrolan.
"Iya maaf." Kataku dengan sedikit menertawakan Danial.
"Ya udah ini udah malam, kalian bisa istirahat. Zia kamu juga istirahat aja biar aku yang beresin kamarnya. Kamu tidur di kasur aja biar nanti aku tidur di sofa aja, maaf jika nanti kamu risih tapi oma gak bolehin jika kita tidur diluar kamar apalagi di ruang keluarga atau ruang tamu." Danial menjelaskan.
"Iya zi, ibu lupa bilang sama kamu. Aturan di sini gak boleh tidur selain di kamar, jadi kamu dan danial sekamar gak apa-apa kan? Danial juga gak akan macam-macam." Bu Yuri menjelaskan peraturan itu padaku dan aku yang baru tau ada aturan seperti itu hanya bisa bengong.
"Maaf sebelumnya bu. Apa gak ada kamar lain, misalnya kamar yang gak kepake gitu atau gudang juga gak papa kok." Aku yang kaget akan sekamar dengan seorang lelaki ya berusaha mencari cara agar bisa menghindar.
"Kebetulan sekarang kamarnya udah terisi semua jadi gak ada lagi kamar kosong. Paling ada di paviliun belakang. Ibu gak ngizinin kamu kesana, disana gak ada orang jadi kalo ada apa-apa sama kamu kita yang disini gak akan tau apa-apa." Bu Yuri sangat perhatian padaku walaupun kami baru mengenal beberapa saat lalu.
"Ya udah bu gak apa-apa kok, aku sekamar sama Danial. aku percaya kok sama dia." kataku dengan sedikit pasrah.
"Ya udah kalian istirahat aja ini juga udah malam, ibu tinggal ya." ucap bu Yuri sambil bergegas meninggalkan kami di susul dengan para pelayan.
Kini tinggal aku dan Danial yang tersisa, Danial melarangku membereskan kamarnya, aku hanya membereskan buku dan baju yang berserakan di kasur saja.
Kini jam sudah menunjukan pukul 11 malam Danial sudah pulas di sofa, aku juga merebahkan tubuh di atas kasur semakin lama mataku semakin memberat dan akhirnya terlelap tidur.
Suara burung dan ayam saling bersahutan menandakan sudah pagi dan aku segera terbangun melihat sekeliling, Danial masih tertidur dengan pulas aku tidak berani membangunkannya aku segera pergi ke kamar mandi.
Setelah selesai aku berniat membangunkan Danial, tapi dia sudah tidak ada di tempat dia tidur mungkin dia sudah bangun.
Aku beranjak keluar kamar sambil membawa tas kecil yang aku pakai kemarin. Aku mendengar suara orang bercanda di ruang keluarga aku menghampiri mereka sekalian pamit pulang.
"Permisi bu, Oma, Danial, terimakasih untuk kebaikannya maaf sudah merepotkan, aku mau minta izin buat pulang takutnya nanti ibu khawatir karena aku enggak pulang dari semalam di tambah handphonenya tidak aktif pasti dia sudah cemas." aku berpamitan pada mereka.
"Ini kan masih pagi, kita sarapan dulu." ajak bu Yuri sambil mendekat.
"Iya nanti kalo ibu kamu tau kamu belum makan, di kiranya kita gak ngasih kamu makan." kata Oma sambil beranjak dari duduknya menuju arah dapur.
"Emm, enggak usah bu makasih, tapi aku harus segera pulang." aku berpamitan sambil mencium tangan bu Yuri kemudian menyusul Oma dan berpamitan juga.
"Ya udah kalo gitu Danial anterin Zia pulang ya." kata bu Yuri pada Danial.
"Gak usah bu aku bisa sendiri kok." aku berbohong pada bu Yuri, padahal aku sendiri gak tau jalan pulang.
"Ini masih pagi banget, ditambah angkutan umum disini susah jadi kamu gak punya pilihan lain selain pulang di anter sama Danial." kata bu Yuri sambil memberika kunci motor pada Danial.
"Iya Zi biar aku aja yang anter, kamu kan gak hafal jalan pulangnya nanti kalo kamu kesasar gimana? terus kalo nanti kamu ketemu lagi sama orang jahat gimana ?" Danial berkata sambil bergegas membuka pintu.
Aku lupa aku gak berpikir sejauh itu, apalagi semalam aku di kejar-kejar sama orang jahat.
Danial mengeluarkan motornya kami pun melaju ke arah rumahku.
Di jalan kami tak banyak bicara, mungkin karena masih canggung, aku juga tak banyak tahu tentang Danial.
Setelah berapa lama akhirnya kami sampai di rumahku, dan aku beranjak turun dari motor.
"Makasih ya dan udah nganterin." Aku berterimakasih pada Danial.
"Zi, tapi boleh gak aku ngobrol dulu sama ibu kamu soalnya ada yang pengen di sampein ?" ucap Danial meminta izin sambil beranjak turun dari motornya.
"Mau ngobrolin apa ?" Aku malah balik bertanya.
"Ada lah, nanti kamu juga tau. Boleh ya ?" Danial masih terus meminta izin sambil terus berjalan ke arah pintu rumah.
Danial mengetuk pintu dan tidak lama ibu membukanya.
"Maaf cari siapa ya ?" Ibu tidak melihat keberadaanku makanya dia bertanya.
"Ini bu saya nganterin zia." Jawab Danial sambil menengok ke arahku.
"Astaghfirullah, maaf na ibu gak tau. Ya udah ayo masuk." Ajak ibu pada Danial.
"ZI KAMU JUGA MASUK !!!" Ibu berteriak memanggilku.
Ibu dan Danial sudah lebih dulu masuk dan mengobrol, aku tidak tau apa yang mereka obrolkan.
"Kalo itu sih ibu serahkan semuanya pada Zia, ibu tidak akan memaksa. Semua keputusan ada pada Zia." Ibu berbicara pada Danial.
Entah apa yang sedang mereka bicarakan yang jelas mereka sedang membicarakanku terdengar dari obrolannya yang menyebut namaku.
"Maaf, tapi kenapa sebut-sebut nama aku." Aku yang penasaran segeran mendekati mereka.
"Kamu duduk dulu biar ibu yang jelasin !!" Kata ibu dengan senyuman manisnya.
"Jadi gini, kamu ingetkan waktu dulu kamu mau di jodohin sama seseorang dan kamu kabur ke kota. Dan orang itu Danial, ibu juga baru tau tadi. Dulu kan yang datang kesini orang tuanya, Danial tidak ikut jadi wajar kalo ibu gak tau." Ibu menjelaskan sambil nyerocos tanpa jeda.
"Ohh, Kalo masalah itu aku udah tau bu, Danial yang bilang Kemarin." Aku pikir masalahnya hanya itu dan ternyata lebih dari itu.
"Dan sekarang Danial ingin melanjutkan perjodohan itu, semua keputusan ada di kamu. Biar kamu sendiri yang jawab, ibu akan hargai semua keputusan kamu" Ibu bicara sambil beranjak pergi ke dapur mungkin dia membiarkan kami mengobrol berdua agar lebih leluasa.
"Zi, jadi kamu mau kan melanjutkannya ?" Tanya Danial dengan senyuman manisnya. Aku akui wajah Danial memang ganteng apalagi di tambah senyumnya yang manis, gimana gak meleleh coba.
"Tapi gimana ya, kita kan baru kenal aku gak tau kamu gimana dan aku juga gak enak sama keluarga kamu, dulu kan aku yang batalin." Kataku mencari alasan.
"Kalo masalah keluarga aku kamu gak usah pikirin, tadi waktu di rumah aku udah bilang sama oma dan ibu, mereka ngizinin kok asalkan kamunya mau." kata Danial dengan santainya. Danial selalu berpikir jauh, bahkan akalnya selalu selangkah lebih maju dibanding tindakannya.
"Gimana ya, aku gak bisa jawab sekarang dan maaf." Kataku bingung. Aku juga gak tau harus bagaimana gak mungkin aku menikah dengan Danial yang baru sehari aku kenal.
"Gini aja, kita jalani dulu jika nanti kamu merasa gak cocok kita gak usah lanjut semua keputusan ada di kamu, jadi kita jalani aja dulu ya." Pinta Danial.
"Ibu setuju dengan Danial, kan katanya kamu belum kenal Danial. Ya sekarang kalian jalani aja dulu sambil kalian mengenal satu sama lainnya." Timbrung ibu yang baru datang dari dapur membawa makanan untuk Danial.
"Ibu ih kok nguping." Aku malu karena dari tadi mungkin ibu nguping pembicaraan aku dan Danial.
"Kan kedengeran jadi ibu gak nguping lah." Jawab ibu dengan santai.
"Ini minum dulu!!" Ibu menyuguhkan minuman pada Danial.
"Dan, aku gak bisa jawab sekarang. Aku harus siap-siap besok harus berangkat lagi ke kota." Aku beranjak pergi ke kamar meninggalkan mereka.
Dikamar aku membereskan tas agar nanti bisa segera berangkat tanpa harus ba bi bu menyiapkan sesuatu.
"Zi, boleh ibu masuk." Ibu memanggilku sambil mengetuk pintu kamar.
"Masuk bu." Jawabku.
Ibu masuk dan mengunci kembali pintunya sambil mendekatiku.
"Zi, ibu tau kamu belum siap menikah. Tapi ibu minta sikap kamu gak boleh kayak gitu. Kasian Danial, dia udah sabar menunggu kamu. Kamu harusnya bersyukur di pertemukan dengan Danial buktinya dulu waktu kamu nolak perjodohan itu dia tidak marah sama kamu. Masa sekarang dia mau melanjutkan perjodohan itu kamu nolak lagi, kamu gak kasian sama dia." Ibu menasihatiku dengan lemah lembut agar aku bisa luluh.
"Iya bu maaf." Jawabku sambil menunduk menandakan aku yang salah.
"Ya udah sekarang kamu temui Danial, kalian bicara Baik-baik. Kasian dia udah nungguin dari tadi." Ucap Ibu sambil membuka pintu kamar.
Aku mengikuti nasihat ibu untuk menemui danial, dan membicarakan lagi soal perjodohan itu.
Ternyata benar Danial masih duduk menunggu di ruang tamu, dalam hati aku merasa kasihan dengannya karena sudah rela menungguku setelah sekian lama.
"Dan maaf." Kataku sambil duduk di sofa menghadap Danial. Posisi kami sekarang saling berhadapan hanya terhalang meja.
"Iya gak papa." Katanya lembut.
"Aku Terima tawaran kamu untuk melanjutkan perjodohan itu. Tapi jika nanti salah satu dari kita merasa gak cocok, kita gak usah melanjutkan perjodohan itu. Gimana ?" Tawarku padanya langsung tanpa basa-basi.
"Kamu yakin Zia ?" Dia malah kembali bertanya dengan ekspresi kaget sekaligus bahagia.
"Iya dan bener aku yakin." Kataku dengan agak canggung karena malu.
"Makasih zi." Katanya lagi dengan terus tersenyum.
Aku melirik jam sudah menunjukan jam 9, sekarang harusnya aku sudah berangkat ke kota karena disana banyak urusan yang harus aku selesaikan.
"Dan, maaf tapi sekarang aku harus segera pergi ke kota. Pekerjaan aku masih banyak disana gak enak kalo besok aku belum menyelesaikannya." Kataku sambil beranjak pergi tapi Danial menghentikan langkahku.
"Zi, biar aku aja yang anterin sampai sana tadi aku udah izin kok sama ibu kamu." Lagi-lagi Danial selalu berpikir jauh. Bahkan diluar dugaan, dia bahkan minta izin lebih dulu sama ibu dari pada aku.
"Ya udah aku ambil tas dulu." Tanpa ba bi bu aku langsung pergi ke kamar mengambil tas yang tadi sudah aku bereskan.
Setelah berpamitan pada ibu kami langsung berangkat menggunakan motor Danial.
Dijalan Danial banyak bertanya, mungkin keingintahuannya tentangku semakin banyak.
"Zi, tadi aku kok gak liat ayah kamu ya ?" Tanyanya.
"Oh, ayah. Iya dia lagi kerja diluar kota. Dia jarang pulang, aku juga udah larang dia untuk kerja tapi dia ngotot mau kerja terus." Jawabku sambil mendekatkan kepalaku ke arah telinga Danial.
"Oh gitu, tapi tadi aku udah bicara kok sama ayah kamu tentang perjodohan ini." Kata-kata Danial sontak membuatku kaget.
"Lah, kapan bicaranya ?" Aku malah balik bertanya karena kaget.
"Tadi waktu kamu pergi ke kamar kan aku ngobrol sama ibu terus aku telpon ayah kamu meminta izin." Kata Danial sambil terus melajukan motor dengan cepatnya.
"Terus kata ayah gimana ?" Aku penasaran dengan jawaban ayah.
"Ya ayah bilang dia akan Terima apapun keputusan kamu." Katanya dengan santai, aku hanya mengangguk kecil.
"Zi, dari sini kemana Aku gak tau jalannya ?" Danial menanyakan arah jalan karena dari tadi aku belum memberitahu posisi kosanku.
"Lurus aja nanti di depan ada pertigaan kamu belok kanan." Aku menunjukan arah sambil memeragakan tanganku.
Danial tidak menjawab apapun, aku anggap dia paham dan tau arah yang aku tunjukan.
Setelah Danial melewati jalan yang aku tunjukan tadi dia menepikan motornya di sebuah pom bensin.
"Zi sebentar ya." Katanya, aku turun dari motor dan tetap berada di dekatnya.
"Mbak di isi full ya." Kata Danial pada petugas pom bensin.
"Baik mas." Jawab petugas itu.
Setelah penuh Danial langsung menutup tangki bensinnya.
"Totalnya 35 ribu mas." Kata petugas SPBU.
"Ini mbak uangnya." Aku segera menyodorkan uang 50 ribu, aku merasa enggak enak jika hanya di antar oleh Danial maka aku berinisiatif membayarkan bensinnya.
"Zi, gak usah." Cegah Danial sambil menyodorkan uang 100 ribu dan menggeser tanganku.
"Dan, kamu gak liat di belakang antriannya udah banyak masa kita mau berantem di SPBU sih ?" Kataku sambil memberikan uang ke tangan petugas SPBU.
"Ambil aja mbak kembaliannya." Kataku sambil maju beberapa langkah ke depan.
Danial hanya tersenyum kecil melihatku sambil menghidupkan kembali motornya, aku segera naik dan kami melaju kembali menuju kosanku.
Sekarang kami sudah ada di kota dan tinggal beberapa menit lagi sudah sampai di kosan.
"Dan nanti di dekat warung di depan kamu belok kiri ya masuk gang, agak kecil sih gang nya tapi muat kok untuk motor mah." Kataku pada Danial sambil menunjuk sebuah warung di depan.
Danial tidak menjawab apapun hanya mengangguk pelan.
*
Sesampainya di kosan Danial langsung pamit pulang dan aku segera masuk untuk istirahat sambil membereskan pekerjaanku yang belum kelar.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!