Arash Maulidia, mahasiswi magang semester enam yang ceroboh namun gigih, tidak pernah menyangka hidupnya berubah hanya karena satu tabrakan kecil di area parkir.
Mobil yang ia senggol ternyata milik Devan Adhitama — CEO muda, perfeksionis, dan terkenal dingin hingga ke nadinya.
Alih-alih memecat atau menuntut ganti rugi, Devan menjatuhkan hukuman yang jauh lebih berat:
Arash harus menjadi asisten pribadinya.
Tanpa gaji tambahan. Tanpa pilihan. Tanpa ruang untuk salah.
Hari-hari Arash berubah menjadi ujian mental tanpa henti.
Setiap kesalahan berarti denda waktu, setiap keberhasilan hanya membuka tugas yang lebih mustahil dari sebelumnya.
Devan memperlakukan Arash bukan sebagai manusia, tapi sebagai mesin yang harus bekerja sempurna — bahkan detik napasnya pun harus efisien.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon keipouloe, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Ujian Kedua
Mereka tiba di sebuah restoran Jepang mewah yang didominasi bilik-bilik privat berlapis kayu gelap. Aroma ikan panggang dan kaldu dashi memenuhi udara, berpadu dengan suara gemericik air terjun buatan yang mengalir di luar sekat kaca. Devan memilih bilik di sudut—tepat di sebelah air terjun itu—tempat suara air menambah kesan tenang sekaligus dingin.
Arash duduk di seberangnya, berusaha menjaga sikap sopan meski tubuhnya masih sedikit menggigil setelah perjalanan dengan suhu AC mobil yang menusuk. Ia menatap tatapan datar Devan yang sedang memeriksa pesan di ponselnya.
“Dengar baik-baik,” ucap Devan tanpa menatap. “Kau catat semua poin negosiasi nanti, dan jangan berani menyentuh sumpit sebelum Mr. Tanaka selesai bicara. Satu gerakan saja yang tidak sesuai etika, saya akan pastikan kontrakmu dipertimbangkan ulang.”
Arash mengangguk cepat. “Baik, Pak.”
Suasana hening beberapa saat hingga pelayan datang membawa teh hijau panas. Tak lama, pintu geser bilik terbuka perlahan. Seorang pria Jepang paruh baya dengan jas abu-abu rapi masuk bersama penerjemahnya.
“Mr. Devan,” sapa penerjemah itu sopan. “Ini Mr. Tanaka.”
Devan berdiri, membungkuk dengan formalitas yang sempurna. “Selamat siang, Mr. Tanaka. Terima kasih sudah meluangkan waktu untuk bertemu.”
Mr. Tanaka tersenyum kecil dan membalas salam itu. “Saya senang akhirnya bisa berbicara langsung dengan Anda,” ujarnya dalam bahasa Jepang yang segera diterjemahkan oleh asistennya. “Proyek Anda sangat menarik. Saya ingin mendengar lebih banyak hari ini.”
Mereka duduk. Pelayan datang membawa hidangan pembuka: sashimi segar, sup miso, dan sushi berlapis ikan tuna merah muda. Arash membuka buku catatannya, menyiapkan pena, dan mulai mencatat setiap poin pembicaraan.
Negosiasi berjalan intens. Mr. Tanaka menanyakan detail tentang timeline proyek, estimasi biaya, hingga kebijakan keamanan kerja. Devan menjawab setiap pertanyaan dengan ketenangan luar biasa—logis, ringkas, dan berwibawa. Tak sekalipun ia menunjukkan emosi.
Arash hanya bisa terpana diam-diam. Pria itu memang dingin, tapi dalam ruang seperti ini, ketegasan dan kejeliannya justru tampak mematikan.
Sesekali Mr. Tanaka melirik Arash yang terus mencatat tanpa berhenti. “Asisten Anda tampak sangat fokus, Mr. Devan. Apakah dia sudah makan?” tanyanya sambil tersenyum, diterjemahkan oleh asistennya. “Kami punya sushi yang luar biasa di sini.”
Devan tersenyum tipis. “Dia bekerja untuk melunasi utang,” ucapnya datar. “Makan adalah kemewahan, bukan hak. Tapi tentu saja, silakan nikmati hidangan Anda, Mr. Tanaka. Arash, kalau lapar, kau boleh makan sepotong Edamame.”
Arash menunduk, menahan rasa malu yang membakar pipinya. Devan baru saja membuka aib pribadinya di depan klien penting. Namun, ia hanya tersenyum kecil pada Mr. Tanaka, menolak tawaran itu sopan. “Terima kasih, saya baik-baik saja,” ujarnya pelan.
Ia tahu, Devan sedang mengujinya—lagi.
Meski begitu, Mr. Tanaka tampak terkesan pada kedisiplinan Arash. Rapat berlangsung selama lebih dari satu jam, penuh catatan teknis dan koreksi kecil. Saat akhirnya pertemuan usai, Mr. Tanaka menjabat tangan Devan dengan mantap. “Kerja sama ini akan sangat baik, saya yakin,” ucapnya ramah.
Begitu pintu bilik tertutup kembali dan pelayan membersihkan meja, Arash mengembuskan napas panjang. Ia mengumpulkan semua notulen di tablet, lalu menatap Devan dengan hati-hati. “Semua catatan sudah selesai, Pak.”
Devan tidak menjawab. Ia hanya menatap piringnya—di mana masih tersisa sepotong kecil daging Wagyu. Ia lalu mengambil selembar tisu dan mendorongnya ke arah Arash.
“Ambil ini,” ujar Devan datar.
Arash menatap tisu itu bingung, hingga Devan mengangkat sumpitnya, mengambil sisa Wagyu, dan meletakkannya di atas tisu tersebut. “Makan.”
Arash mematung. “Pak?”
“Saya tidak mau kau pingsan di tengah pekerjaan berikutnya. Kalau itu terjadi, yang repot saya juga. Jadi makan. Bukan karena kasihan—tapi karena efisiensi,” ujar Devan tanpa menatapnya, suaranya datar tapi tajam.
Arash menatap potongan daging itu beberapa detik, lalu mengambilnya perlahan. Ia tidak berterima kasih. Ia tahu, bagi Devan, ini bukan kebaikan. Ini perhitungan. Ia hanya memastikan ‘aset’-nya tetap berfungsi.
Potongan Wagyu itu terasa lembut di lidah, tapi dingin. Seperti pria di depannya.
Setelah keluar dari restoran, Devan berjalan lebih dulu menuju mobil. Arash mengikutinya di belakang sambil merapikan tablet dan catatannya. Begitu mereka tiba di area parkir, Devan berhenti, menatap ke arah jam tangannya, lalu berkata, “Siapkan diri. Kita akan ke proyek di pinggiran kota sore ini.”
Arash menegakkan tubuh. “Baik, Pak. Tapi saya perlu menyiapkan pakaian proyek dan helm keselamatan terlebih dahulu.”
“Kau urus itu sendiri,” sahut Devan cepat. “Di kantor ada dana darurat—seratus ribu dolar Amerika. File-nya tersimpan di ruang arsip rahasia, tempat kau tidur kemarin. Kodenya ‘Delta-10-01’. Ambil file itu, sewa mobil menggunakan dana tersebut, dan temui saya di lobi pukul empat belas tiga puluh. Jangan telat.”
Arash terdiam, mencoba mencerna perintah itu. Seratus ribu dolar? Hampir satu setengah miliar rupiah. Ia bahkan tidak tahu harus mulai dari mana.
“Baik, Pak. Tapi… motor saya disita, dan tanpa kendaraan—”
Devan menatapnya tajam, bibirnya melengkung samar. “Itu masalahmu. Kau kehilangan hak atas motor karena kecerobohanmu sendiri. Sekarang tunjukkan, bagaimana kau berpikir saat dihadapkan pada hambatan nyata.”
Arash menatap punggung Devan yang kemudian berbalik dan melangkah pergi. Suara langkah sepatunya terdengar mantap, memantul di lantai parkir.
Arash hanya bisa menatap kepergian itu, menggenggam tablet erat-erat.
Ia tahu, Devan tidak sedang mengetes kemampuan administrasi—tapi mentalnya.
Seratus ribu dolar, ruang rahasia, mobil sewaan, dan tenggat waktu dua jam.
Misi mustahil untuk seseorang yang bahkan tak punya kendaraan.
Arash menarik napas panjang, matanya berkilat. “Baik, Pak Devan,” gumamnya pelan. “Kalau ini permainanmu, aku tidak akan kalah.”
Ia berbalik meninggalkan restoran dengan langkah cepat.
Dan untuk pertama kalinya hari itu—senyum tipis muncul di wajahnya.
Bukan karena percaya diri, tapi karena tekad.
Karena Devan Adhitama boleh saja memandangnya rendah,
tapi Arash Maulidia tidak akan membiarkan dirinya tumbang begitu saja.