Dikhianati dan dijebak oleh suami dan kekasih gelapnya, seorang wanita polos bernama Megan secara tak terduga menghabiskan malam dengan Vega Xylos, bos mafia paling berkuasa di dunia malam. Hingga akhirnya, dari hubungan mereka malam itu, menghasilkan seorang putra jenius, Axel. Tujuh tahun kemudian, Vega yang terus mencari pewarisnya, tapi harus berhadapan dengan Rommy Ivanov, musuh lamanya, baru mengetahui, ternyata wanita yang dia cari, kini telah dinikahi musuh besarnya dan berniat menggunakan kejeniusan Axel untuk menjatuhkan Kekaisaran Xylos. Bagaimana Vega akan menghadapi musuh besarnya dan apakah Megan dan putranya bisa dia rebut kembali?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Black _Pen2024, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10 Di buru
DUA BULAN KEMUDIAN
Di kamar kos yang sempit, Megan terbangun oleh rasa mual yang hebat. Ia berlari ke kamar mandi kecil, berlutut di depan kloset. Setelah muntah hebat, ia menatap dirinya di cermin yang buram. Matanya yang merah menatap perutnya.
Sudah hampir dua bulan sejak malam di Club Nocturne. Perubahan fisik yang samar, tetapi gejala yang tidak bisa disangkal. Ia menghitung tanggal dengan jari gemetar.
Ketakutan yang dingin merayapinya, digantikan oleh kepastian yang mengejutkan. Ia hamil. Anak itu pasti anak dari malam yang mengerikan itu, anak dari pria yang meninggalkannya, Bos Mafia, Vega Xylos.
Ini bukan hanya kehamilan; ini adalah bom waktu. Jika Jose tahu, ia akan menggunakannya untuk menghancurkannya. Jika Vega tahu, ia akan kembali untuk merebut anak itu.
Megan menahan napas, keputusannya final dan mutlak. Ia harus menghilang. Ia harus melindungi putranya, rahasia Xylos yang kini tumbuh di dalam dirinya. Ia harus mencari pekerjaan dan pindah ke tempat yang tidak akan pernah ditemukan oleh Jose, Wina, atau bahkan Bos Mafia yang paling berkuasa di dunia.
“Kau dan aku, Nak,” bisiknya pada perutnya. “Kita akan bertahan.”
...****************...
Udara di gubuk reyot itu terasa menusuk, bahkan di tengah hari. Megan menarik selimut tipisnya lebih erat, meski itu tak banyak membantu. Dua bulan sudah ia bersembunyi di pelosok antah berantah ini, jauh dari hiruk pikuk kota, jauh dari Jose, Wina, Vega, dan musuh-musuh Vega yang tak kalah mengerikan. Setiap sudut bayangan seperti menyimpan ancaman, setiap hembusan angin membawa bisikan ketakutan.
“Sialan,” desisnya pelan, suaranya serak. Ia menatap benda kecil di tangannya, benda yang baru saja mengubah seluruh dunia yang ia kira sudah cukup rumit. Dua garis merah terang terpampang jelas di alat tes kehamilan murahan itu. Jantungnya berdebar kencang, memukul-mukul rusuknya seolah ingin keluar.
Ia menjatuhkan alat itu ke lantai papan yang dingin, lalu membenamkan wajah di telapak tangannya. Otaknya berputar cepat, mencoba memproses informasi yang sungguh tak terduga. Hamil? Bagaimana bisa? Tentu saja bisa. Ia dan… ia tak mau menyebut namanya. Tidak sekarang. Terlalu berbahaya.
“Ini nggak mungkin,” bisiknya pada dinding lapuk di depannya. Matanya memejam, tapi bayangan dua garis itu terus menari-nari di benaknya. “Ini pasti salah. Tes murahan, kan? Ya, pasti salah.”
Tapi, perutnya yang kadang mual di pagi hari, nafsu makannya yang berubah drastis, kelelahan yang tak masuk akal… semua tanda itu tiba-tiba menjadi sangat masuk akal. Sebuah kesadaran pahit menusuk ulu hatinya.
Ia membuka mata. Tatapan kosongnya menyapu sekeliling gubuk kecil yang selama ini jadi benteng pertahanannya. Kotor, pengap, tapi setidaknya aman. Atau ia pikir begitu. Sekarang, dengan berita ini, definisi 'aman' berubah total.
“Jadi, ini… nyata?” tanyanya pada dirinya sendiri, suaranya bergetar. Ia menelan ludah susah payah. “Aku hamil. Hamil. Di tengah semua kekacauan ini, aku hamil.”
Panik mulai menyergap. Keringat dingin membasahi pelipisnya. Bagaimana ia akan bertahan hidup? Bagaimana ia bisa melindungi dirinya, sendirian, dari bahaya yang terus mengintai? Dan sekarang, bukan hanya dirinya. Ada nyawa lain. Nyawa yang sangat bergantung padanya.
Ia meraih alat tes itu lagi, memutarnya di antara jemari. Dua garis. Tetap dua garis. Tidak berubah.
“Oke, oke, tenang, Megan,” katanya, mencoba menenangkan diri sendiri. Ia menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya perlahan. “Nggak ada gunanya panik. Panik cuma bikin keadaan makin buruk.”
Ia menatap perutnya yang masih rata, lalu mengusapnya pelan. Sebuah perasaan aneh merayap. Bukan cuma takut, tapi… ada sedikit kehangatan. Sedikit harapan.
“Siapa pun kamu di dalam sana,” bisiknya, suaranya kini lebih lembut, “aku akan melindungimu. Aku janji.”
Seketika, rasa takut itu berubah menjadi tekad baja. Ini bukan lagi tentang bertahan hidup untuk dirinya sendiri. Ini tentang melindungi janin tak berdosa yang ada di dalam rahimnya. Ini adalah titik baliknya. Ia harus lebih kuat, lebih pintar, lebih kejam jika perlu.
“Jose, Wina, Vega… mereka semua. Mereka nggak boleh tahu,” gumamnya. “Terutama Jose. Kalau dia tahu, tamatlah riwayatku. Riwayat kita.”
Pikiran itu membuatnya merinding. Jose adalah orang terakhir yang boleh tahu tentang kehamilan ini. Jose, yang pernah begitu dekat dengannya, yang kini adalah salah satu alasan ia bersembunyi. Dan… Jose juga jangan sampai tahu ayah dari janin ini. Rahasia itu terasa seperti beban berton-ton yang menindih dadanya.
“Bagaimana aku bisa menyembunyikan ini?” Ia berdiri, melangkah mondar-mandir di dalam gubuk sempit itu. “Perutku akan membesar. Orang-orang pasti akan melihat. Tidak, aku harus punya rencana.”
Ia berhenti di depan jendela kecil yang tertutup rapat oleh tirai lusuh. Dari celah tipis, ia bisa melihat hutan lebat di luar, membentang sejauh mata memandang. Hutan itulah yang melindunginya selama ini, tapi sekaligus juga menjebaknya.
“Tidak ada yang boleh tahu ayahmu siapa, Nak,” katanya lagi, kali ini ia menatap bayangannya sendiri di kaca jendela buram. Matanya yang biasanya penuh ketakutan, kini memancarkan api tekad. “Itu rahasia kita. Rahasia yang harus kita simpan rapat-rapat sampai kapan pun.”
Ia mulai berpikir logis, seolah menyusun strategi perang. “Pertama, makanan. Aku butuh nutrisi yang lebih baik. Stok makanan keringku nggak akan cukup. Harus berburu lagi, lebih sering. Tapi itu artinya risiko lebih besar terdeteksi.”
“Kedua, tempat tinggal. Gubuk ini… terlalu dekat dengan jalur yang kadang dilewati pemburu liar. Aku butuh tempat yang jauh lebih tersembunyi. Gua? Di atas pohon? Sial, aku bahkan nggak tahu caranya membangun tempat perlindungan yang layak.”
“Ketiga, uang. Uang, uang, uang! Bagaimana aku bisa mendapatkan uang di tempat antah berantah begini? Aku nggak bisa muncul di kota. Jose dan anak buahnya pasti masih mencariku.”
Ia menghela napas panjang. Beban yang harus ditanggungnya terasa semakin berat. Tapi, di saat yang sama, ada kekuatan baru yang mengalir dalam dirinya. Kekuatan seorang ibu yang akan melindungi anaknya mati-matian.
“Aku harus ingat pelajaran dari Vega,” gumamnya, mengingat sosok wanita tangguh yang paradox-nya menjadi ancaman sekaligus sumber ilmu baginya. “Dia bilang, jangan pernah tunjukkan kelemahanmu. Jangan pernah. Dan sekarang, kehamilanku ini adalah kelemahan terbesarku, tapi juga motivasi terkuatku.”
Ia berjalan ke sudut gubuk, membuka sebuah peti kayu usang. Di dalamnya, tersimpan beberapa barang penting: pisau lipat, korek api, peta kasar daerah sekitar, dan sebuah ponsel jadul tanpa sinyal yang ia simpan hanya sebagai kenangan. Tangannya merogoh lebih dalam, menemukan bungkusan kain berisi uang tunai sisa terakhirnya. Tidak banyak, mungkin cukup untuk beberapa minggu, jika ia sangat berhemat.
“Cukup nggak cukup, harus cukup,” katanya tegas. “Aku harus mencari cara lain. Mungkin menjual kerajinan tangan hasil hutan? Jamu-jamuan? Tapi siapa yang mau beli di sini?”
Ia memijat pelipisnya. Pikiran-pikiran ini membuatnya pusing. Namun, ia tidak boleh menyerah.
“Tidak, Megan. Nggak ada kata menyerah sekarang,” ia menyemangati dirinya. “Kamu harus hidup. Kalian berdua harus hidup. Ini adalah janji. Janji seorang ibu.”
Ia membayangkan wajah Jose. Wajah yang dulu ia cintai, kini hanya membawa rasa takut dan pengkhianatan. Jose adalah bagian dari masa lalunya yang gelap. Dan janin ini… janin ini adalah satu-satunya jembatan antara masa lalu itu dan masa depan yang penuh ketidakpastian.
“Dia nggak boleh tahu. Nggak akan pernah,” tekadnya. “Kalau dia tahu, dia akan berusaha mengambilmu, atau lebih buruk lagi…” Ia tak sanggup menyelesaikan kalimat itu. Kengerian yang tak terbayangkan terlukis jelas di wajahnya.
Waktu berlalu. Megan menghabiskan sisa hari itu dengan menyusun daftar. Daftar kebutuhan, daftar bahaya, daftar rencana. Setiap item di daftar itu terasa vital. Ia bahkan mulai berpikir tentang cara mengubah penampilannya agar lebih sulit dikenali saat perutnya mulai membesar. Memotong rambutnya sendiri? Mencari baju longgar?
Malam tiba. Bulan bersinar terang menembus celah-celah dinding. Dinginnya malam semakin terasa. Megan berbaring di atas tumpukan daun kering yang ia gunakan sebagai alas tidur. Ia mengusap perutnya lagi. Kali ini, ia merasakan sensasi yang berbeda. Bukan hanya takut, tapi juga… harapan yang membara.
“Kita pasti bisa,” bisiknya pada perutnya. “Kita akan berjuang bersama. Kamu akan jadi alasan terkuatku untuk tetap bernapas.”
Tapi, pikiran tentang Jose terus menghantuinya. Bagaimana jika suatu hari, ia tak sengaja berpapasan dengan anak buah Jose? Atau Jose sendiri? Akankah ia bisa mempertahankan rahasia ini sampai waktunya tiba?
Tiba-tiba, ia mendengar suara. Suara ranting patah di kejauhan. Bukan suara angin. Ini suara langkah kaki. Jantung Megan mencelos. Ia langsung bangun, meraih pisau lipatnya yang selalu siap sedia di samping bantal.
“Siapa di sana?” bisiknya, matanya menyapu kegelapan di balik jendela. Ia menahan napas, mencoba mendengarkan lagi.
Lalu, suara itu semakin dekat. Bukan satu orang. Lebih dari itu. Suara bisikan, samar-samar, seperti sedang mencari sesuatu. Atau seseorang.
Wajah Megan memucat. Mereka menemukan gubuknya. Mereka akhirnya menemukan tempat persembunyiannya. Dan kali ini, ia tidak sendirian.
“Sial!” umpatnya pelan. Ia melirik ke arah pintu. Haruskah ia lari? Tapi ke mana? Dan bagaimana dengan janin dalam perutnya? Ia tak mungkin berlari kencang atau melompat-lompat di hutan lebat.
Suara langkah kaki itu semakin jelas, berhenti tepat di luar gubuk. Seseorang mengendus-endus. Lalu, sebuah bayangan terlihat dari celah tirai. Bayangan seorang pria, membawa senapan.
“Kita tahu kau ada di dalam, Megan,” suara berat itu menggema dari luar. Itu bukan Jose. Tapi suara itu… itu suara salah satu pengawal pribadi Vega. Megan mendingan seperti itu. “Keluar saja baik-baik, atau kami akan mendobrak masuk dan menyeretmu keluar hidup-hidup… atau mati.”
Namun Megan membeku. Bukan Jose. Bukan Wina. Bukan Vega, tapi.... Tapi musuh Vega. Yang artinya, ia berada dalam bahaya yang lebih besar lagi. Dan kali ini, mereka sudah tahu namanya.
“Aku sudah bilang, aku akan melindungimu,” bisik Megan pada perutnya, tangan kanannya mencengkeram erat gagang pisau. “Dan aku nggak akan melanggar janji itu.”
Ia harus bersembunyi lagi. Tapi, ke mana? Bagaimana ia bisa lari dari pengepungan seperti ini? Dan yang terpenting, bagaimana ia bisa menjaga rahasia terbesar dalam hidupnya, ketika bahaya sudah sampai di depan mata, mengancam nyawa dia dan calon buah hatinya?