Terkadang orang tidak paham dengan perbedaan anugerah dan kutukan. Sebuah kutukan yang nyatanya anugerah itu membuat seorang Mauryn menjalani masa kecil yang kelam.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon DessertChocoRi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab 10- Bayangan di Kota Asing
Kota itu menyambut mereka dengan cahaya lampu jalan yang redup. Bangunan-bangunan tua berdiri rapat, dindingnya mengelupas, dan jalanan basah masih berkilau oleh sisa hujan.
Di kejauhan, suara pasar malam samar-samar terdengar hidup, ramai, namun bagi Mauryn hanya menambah rasa asing.
Ia menggenggam tangan Revan lebih erat.
Setelah berhari-hari bersembunyi di hutan dan rumah tua, langkah kakinya bergetar menyentuh tanah kota. Ada banyak mata di sini, terlalu banyak, dan siapa pun bisa menjadi musuh.
Revan menarik napas dalam.
“Kita hampir sampai. Ada seseorang yang bisa kutemui di sini. Namanya Darman. Dia… teman lama. Pernah selamatkan nyawaku sekali.”
Mauryn menoleh, menatapnya penuh ragu.
“Kamu yakin dia bisa dipercaya?”
Revan menatap lurus ke depan, rahangnya mengeras.
“Aku harus yakin. Tanpa dia, kita tidak punya tempat aman.”
Mauryn menunduk. Ia tidak menjawab, tapi telinganya sudah terbuka lebar. Sejak tadi, suara-suara hati orang-orang di sekelilingnya berdengung samar: pedagang yang memikirkan utang, seorang ibu yang cemas anaknya sakit, pemuda mabuk yang hanya ingin pulang.
Semuanya asing, semuanya berat.
Tapi di tengah keramaian itu, hanya suara hati Revan yang membuatnya bertahan.
“Aku harus melindungi dia, apapun caranya.”
Mereka tiba di sebuah bangunan tua di sudut jalan sempit. Pintu kayu berwarna biru lusuh berdiri di sana, di atasnya lampu kuning berkelip.
Revan mengetuk tiga kali. Tak lama, pintu terbuka, menyingkap seorang pria berusia empat puluhan dengan wajah penuh bekas luka.
“Revan?” suara pria itu serak, namun hangat.
“Darman.” Ucap Revan lalu tersenyum tipis.
Mereka berpelukan singkat, lalu Darman menoleh ke arah Mauryn.
“Dan ini…?”
“Temanku,” jawab Revan cepat.
“Dia ikut denganku.”
Darman mengangguk tanpa bertanya lebih jauh.
“Masuklah. Kalian pasti lelah.”
Mauryn melangkah masuk, tetapi tubuhnya menegang. Begitu dekat dengan Darman, bisikan itu terdengar jelas.
“Kenapa dia bawa perempuan? Akan menyulitkan. Tapi… kesempatan bagus untuk dapat lebih banyak imbalan dari Gatra.”
Jantung Mauryn berdegup kencang. Ia menoleh sekilas pada Revan, ingin memperingatkan, tapi lidahnya kelu.
Ruang dalam rumah itu hangat, dengan meja kayu tua dan kursi reyot. Darman menuangkan air ke dalam gelas dan menyodorkannya.
“Minumlah. Kalian tampak seperti pelarian.”
Revan mengambil gelas itu, meneguk tanpa ragu. Mauryn hanya menggenggam gelasnya, tidak menyentuh. Matanya tak lepas dari wajah Darman.
“Berapa lama kita bisa tinggal di sini?” tanya Revan.
“Selama yang kalian butuhkan,” jawab Darman sambil tersenyum.
“Kamu tahu, aku selalu ada untukmu.”
Namun suara hati pria itu menusuk telinga Mauryn.
“Tinggal saja lebih lama. Semakin lama, semakin mudah memberitahu orang-orang Gatra. Mereka akan bayar mahal untuk kepala Revan.”
Mauryn menahan napas. Tangannya gemetar memegang gelas.
“Revan…” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar.
“Ya?” Revan menoleh.
Mauryn menggeleng cepat, tidak berani bicara di depan Darman.
“Bukan apa-apa.”
Malam semakin larut. Setelah makan malam sederhana, Darman menunjukkan kamar kecil di lantai atas.
“Kalian bisa beristirahat di sini.”
Begitu pintu kamar tertutup, Mauryn langsung meraih tangan Revan. Wajahnya pucat.
“Kita tidak aman di sini,” bisiknya cepat.
“Apa maksudmu?” Revan mengernyit.
“Dia… Darman. Dia bukan sekutu. Dia berniat menjualmu pada Gatra.”
Revan membeku, sorot matanya tajam.
“Kamu yakin?”
Mauryn mengangguk keras.
“Aku dengar. Dari hatinya sendiri.”
Revan menarik napas berat, menendang kursi di dekatnya.
“Sial.”
Mauryn memeluk dirinya, tubuhnya gemetar.
“Apa yang harus kita lakukan? Kalau kita keluar sekarang, dia akan curiga. Tapi kalau kita diam saja…”
Revan mendekat, meraih wajahnya dengan kedua tangannya.
“Hei. Lihat aku.”
Mauryn menatapnya, matanya basah.
“Kita akan selamat. Percaya padaku. Selama aku bernapas, aku tidak akan membiarkan dia atau siapa pun menyakitimu.”
Mauryn menutup mata, air matanya jatuh. Ia menyandarkan dahi ke dada Revan. Degup jantung pria itu keras, stabil, menenangkan badai dalam dirinya.
Hening panjang memenuhi kamar kecil itu. Revan masih memeluk Mauryn, tangannya menepuk pelan punggungnya.
“Kamu selalu terlihat begitu kuat,” bisik Mauryn.
“Tapi aku tahu… kamu juga takut.”
“Ya. Tapi kalau aku tunjukkan ketakutan itu, siapa yang akan membuatmu tetap berdiri?” Ucap Revan sambil menghela napas.
Mauryn mendongak, menatapnya dari dekat. Jarak mereka begitu tipis. Ia bisa merasakan hangat napas Revan, bisa membaca jelas isi hatinya yang berdenyut.
“Jangan biarkan aku jatuh padanya. Jangan. Tapi aku tidak bisa menahan diri…”
Wajah Mauryn memerah. Ia segera menjauh setengah langkah, berusaha menyembunyikan gejolak dalam dirinya.
“Kita… harus pikirkan cara keluar.”
Revan menatapnya lama, lalu mengangguk.
“Benar.”
Namun genggaman tangannya pada tangan Mauryn tidak dilepas.
Di lantai bawah, terdengar suara langkah kaki Darman mondar-mandir. Sesekali suara telepon berdering, lalu berhenti cepat.
Mauryn menajamkan pendengaran. Suara hati itu kembali menusuk.
“Besok pagi… orang-orang Gatra akan tiba. Mereka tidak akan curiga aku yang memberi tahu. Semua akan selesai.”
Mauryn menelan ludah, lalu berbisik.
“Kita harus pergi malam ini. Sebelum fajar.”
Revan menatapnya serius, lalu mengangguk.
“Baik. Kita tidak punya pilihan lain.”
Mereka menunggu sampai suara langkah Darman mereda. Tengah malam, mereka mengemasi barang seadanya.
Sebelum keluar, Revan menatap Mauryn sekali lagi.
“Begitu kita pergi, tidak ada jalan kembali.”
Mauryn menggenggam tangannya erat.
“Aku tidak butuh jalan kembali. Aku hanya butuh bersamamu.”
Revan membeku sejenak. Kata-kata itu menusuk lebih dalam daripada pedang.
Malam itu, mereka melangkah diam-diam keluar dari rumah Darman, menembus jalan kota yang sepi. Bahaya menunggu di setiap sudut, tapi mereka sudah memilih: lebih baik dikejar dunia, daripada terjebak dalam pengkhianatan.
Dan di tengah kegelapan, tangan mereka saling menggenggam, lebih erat dari sebelumnya. Sebuah ikatan lahir, ditempa oleh bahaya dan oleh perasaan yang semakin sulit mereka sembunyikan.
Bersambung..
Tunggu kelanjutannya yah 🫰🏻