"Siapa nama lo?." Suara lelaki itu yang dalam bergema di telinga seorang gadis yang menatapnya dengan penuh minat.
"A-abila!." Jawabnya tergagap
"Apa cewek itu ngeliatin kita?." Lelaki itu melirik ke arah gadis lain yang tengah memperhatikan mereka dengan mengepalkan tangannya.
Abila yang mengerti maksud lelaki tampan yang berdiri di hadapannya itu langsung mengangguk pelan. "I-iya."
"Good!."
Tanpa berkata apa pun lagi, lelaki itu langsung mencium bibir Abila
Dan, tidak ada yang menyangka bahwa ciuman itu yang akan menentukan nasib mereka.
Satu ciuman dari bad boy tampan dan semua berakhir bagi Abila
Sejak orang tuanya meninggal, Abila Beyza Auliandra lebih suka menjalani kehidupannya dengan tenang. Pemalu dan pendiam, Abila hanya bisa bersikap bebas ketika berada di dekat sahabatnya, Rafka Shankara Arsala pemain basket yang sedang naik daun di sekolah mereka.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Violetta Gloretha, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
10
'Mungkin aja ini cuma kebetulan.' Batin Rafka, mencoba menenangkan dirinya dan melirik kearah Abila yang sedang berbicara dengan ibunya. Kemudian Rafka menyingkirkan pikirannya. 'Ngga mungkin Abila yang ngasih kaos gue ke Zerga. Mereka aja ngga saling kenal kok.' Batin Rafka lagi.
Tetapi Rafka teringat dengan cerita Zerga diruang ganti dan kenyataan ketika melihat Abila mengembalikan kaos kesayangan Zerga.
'Apa itu artinya ada sesuatu diantara mereka berdua? Ngga, itu pasti ngga mungkin!.' Rafka seakan tengah bergulat dengan pikirannya sendiri. 'Gue cinta sama Abila dan gue yakin... suatu hari nanti dia juga bakalan cinta sama gue! Sementara Zerga, cowok brengsek itu ngga mungkin punya kesempatan buat deketin Abila!.' Imbuh Rafka, tanpa disadari tangannya mengepal.
~
Jam hampir menunjukkan pukul 12 malam tepat dan rumah sakit sangat sepi pada jam-jam seperti ini. Zerga dengan santai berjalan melewati lorong, sembari memegang paperbag dan seikat bunga lavender di kedua tangannya. Lelaki tampan lamgsung menuju lantai empat, bagian VIP. Ia berdiri didepan kamar nomor 4 dan menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya membuka pintu, lalu masuk dengan hati-hati.
Zerga terlebih dahulu menaruh bunga-bunga yang ia bawa kedalam Vas.
"Gimana kondisi Mama hari ini?." Tanya Zerga dengan suara yang keras. "Emangnya ngga bosen apa, baring di kasur setiap hari?."
Zerga berbalik dan melihat seorang wanita berusia sekitar empat puluh tahunan, terbaring tak sadarkan diri diatas ranjang rumah sakit. Rambut merahnya sedikit berantakan seperti biasanya dengan kulitnya yang pucat. Kondisinya terlihat stabil jika dilihat secara langsung, tetapi wanita itu sama sekali tidak bergerak atau pun merespons apa pan yang Zerga dan orang lain katakan padanya.
Sebaliknya, wanitu itu terlihat tertidur dengan tenang.
Zerga berjalan mendekat, dan duduk disisi wanita itu. Lelaki itu sedikit membungkuk dan kemudian menyingkirkan sehelai rambut dari wajah wanita itu dan menunjukkan senyumannya, satu-satunya senyuman tulus yang pernah ia tunjukkan pada seseorang.
"Papa, pria terburuk." Gerutunya, masih menatap wajah sang ibu dengan tatapan kerinduan. "Mama, dia selalu nyalahin aku karena kondisi Mama sekarang. Papa brengsek! Bahkan ngga mau tanggung jawab sama perbuatannya sendiri!."
Memikirkan ayahnya, hanya akan selalu membuat Zerga marah dan ingin sekali melampiaskannya pada sesuatu Zerga menatap ibu jarinya yang terluka, mengutuk pria yang telah membuat hidupnya dan ibunya seperti dineraka.
Plester bergambar kelinci itu masih menempel di ibu jari Zerga, membuatnya teringat akan apa yang sudah ayahnya lakukan. Jika bukan karena dia, Zerga pasti sudah mencetak skor terakhir.
"Zerga mohon... Mama harus cepet bangun." Bisiknya, seakan sudah sering ia membisikkan hal itu pada ibunya.
Zerga membelai wajah ibunya dengan lembut, matanya berair dan ia mencoba mengendalikan emosinya. Apa pun yang terjadi, ia tidak boleh lemah. Ia tidak akan menjadi seperti ayahnya. Dirinya bukan monster seperti ayahnya.
Itulah satu-satunya hal yang Zerga tanamkan pada dirinya sendiri, setiap hari. Ia tidak ingin menjadi monster seperti ayahnya. Tidak akan pernah.
"Jaga diri Mama baik-baik, ya." Katanya, kemudian mengecupi kening ibunya. "Zerga pamit."
Setelah itu, Zerga meninggalkan ruangan. Begitu dia keluar, dia bersandar di pintu an terduduk lemas dilantai. Bayangan malam itu selalu menghantuinya dan dia seakan selalu dapat mendengar jeritan ibunya dengan jelas ditelinganya.
Flasback On
"Jangan sakiti, Zerga!." Amanda Maheswari berteriak, tangisannya bergema ditengah Zerga. "Jangan sakiti dia!."
Seketika terdengar suara keras dan kemudian Zerga telah mendapati bahwa ibunya tergeletak dibawah tangga, tak sadarkan diri
"Mama..."
Flasback Off
Zerga menarik napas dalam-dalam dan mencoba menenangkan diri. Sikapnya yang dingin kembali dan raut wajahnya tanpa ekspresi. ia berdiri dan perlahan mulai berjalan menelusuri koridor. Sosok lain berjalan mendekatinya, mengenakan jas dokter, tetapi Zerga mengabaikannya.
"Berhenti dulu Zerga."
Zerga menghentikan langkahnya dan berbalik menghadap sosok yang tidak lain adalah ayahnya. Beberapa rekan kerja ayahnya juga ada disana, terlihat menunggu David yang menghentikan Zerga.
David tidak mengatakan apa pun, tetapi tiba-tiba langsung memeluk Zerga.
Zerga merasa jijik, tetapi dia tidak bisa mengambil langkah mundur.
"Anak kesayangan Papa." Kata David jelas berpura-pura baik. "Papa seneng kamu ada disini." Pria itu mencondongkan tubuhnya ke dekat telinga Zerga dan berbisik. "Papa denger kamu ngga bisa cetak skor terakhir hari ini. Kamu itu bener-benar ngga bisa apa-apa atau gimana? Dasar sampah ngga berguna!."
Zerga terdiam, tetapi amarah membara dalam dirinya. "Sampe kapan pun, kamu tetep jadi anak kecil yang lemah, Zerga!." Kata David, memastikan tidak ada yang mendengar perkataanya. "Kamu lemah dan menyedihkan!."
David melepaskan pelukannya dan kembali buka suara dengan suara yang keras. "Mama pasti bangga banget sama kamu, nak! Pertandingan kamu hari ini menang!." Pria itu pura-pura menunjukkan senyumnya, tetapi lagi-lagi Zerga hanya diam dan tidak membalas.
Zerga malah berbalik dan pergi, meski ia tahu bahwa David akan membuat hidupnya menderita malam ini, tatapi ia tidak peduli.
Karena Zerga lebih baik mati daripada mengatakan harus berpura-pura hal-hal kepada monster itu.
~~
Sekolah sma Mahardhika terlihat ramai dengan banyaknya siswa dan siswi yang hadir hari ini. Cuaca cerah, namun tidak terlalu panas, jadi sebagian besar siswa yang mendapatkan jamkos lebih memilih duduk-duduk di luar kelas.
Abila mendapat pelajaran sastra lebih awal hari ini, tetapi yang membuatnya kesal, Zerga juga kebetulan ada dikelas itu.
Zerga sering membolos, tetapi setelah mendapat surat peringatan, dia terpaksa masuk kelas.
Abila duduk di pojok ruangan, jauh dari tatapan semua orang. Beruntungnya, dia tidak diganggu oleh Lyoraa lagi setelah hari itu, tetapi mau bagaimana pun Abila harus tetap waspada.
Rafka masih mendesak Abila untuk mengadu ke kepala sekolah, tetapi Abila membenci konfrontasi, yang dia inginkan adalah kedamaian.
Abila mengeluarkan bukunya, membuka halaman berisi kumpulan puisi dan teori mengenai hal itu. Gadis itu mulai membacanya, seperti yang diperintahkan guru pada semua murid.
Tetapi Abila tiba-tiba erasakan sesuatu menghantam kursi disebelahnya. Zerga meletakkan tasnya diatas kursi disebelah Abila, membuat Abila yang menoleh pun terkejut.
"Kamu? Ngapain kamu disini?." Cicit Abila.
"Duduklah, mau ngapain lagi?." Jawab Zerga dengan malas, lalu duduk.
Murid-murid yang lain juga terkejut saat memperhatikan Zerga. Salah satu teman Lyoraa-- Sintya diam-diam mengambil foto Zerga dan Abila, sebelum akhirnya mengirim foto itu kepada Lyoraa.
"Kok kamu malah duduk disini?." Abila tersentak. "Please, jangan duduk disini, ya."
Gadis itu hampir memohon didepan Zerga, tetapi lelaki itu hanya menyeringai.
"Lo yang paling Pinter dikelas ini, dan gua harus lulus." Kata Zerga sembari menguap. "Bantuin gua, nanti gua turutin permintaan lo itu."