Kirana Azzahra, dokter yang baru saja lulus program internship, menerima penempatan program Nusantara Bakti di pelosok Sumatera Barat. Ia ditugaskan di Puskesmas Talago Kapur, sebuah wilayah yang sulit dijangkau dengan kendaraan biasa, dikelilingi hutan, perbukitan kapur, dan masyarakat adat yang masih sangat kuat mempertahankan tradisinya.
Kirana datang dengan semangat tinggi, ingin mengabdikan ilmu dan idealismenya. Tapi semuanya tidak semudah yang dibayangkan. Ia harus menghadapi fasilitas kesehatan yang minim, pasien yang lebih percaya dukun, hingga rekan kerja pria yang sinis dan menganggap Kirana hanya "anak kota yang sok tahu".
Sampai suatu waktu, ia merasa penasaran dengan gedung tua peninggalan Belanda di belakang Puskesmas. Bersama dr. Raka Ardiansyah, Kepala Puskesmas yang dingin dan tegas, Kirana memulai petualangan mencari jejak seorang bidan Belanda; Anna Elisabeth Van Wijk yang menghilang puluhan tahun lalu.
Dapatkah Kirana dan Raka memecahkan misteri ini?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Ichi Gusti, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
KISAH ANNA VAN WIJK
Hari itu, langit Talago Kapur mendung sejak pagi. Kabut turun lebih cepat dari biasanya, menyelimuti halaman belakang Puskesmas hingga bangunan tua peninggalan Belanda nyaris tak terlihat dari jendela ruang tindakan.
Karena ini hari libur Kirana duduk sendirian di rumah dinas nya dengan buku tua itu terbuka di pangkuannya. Ia sudah membaca separuh isi catatan Anna Van Wijk. Semakin dibaca, semakin banyak pertanyaan yang muncul — bukan hanya tentang siapa sebenarnya Anna, tapi juga tentang Sutan Darwis, lelaki desa yang disebut-sebut sebagai kekasih diam-diam sang bidan.
Isi catatan itu seolah bergema dalam pikirannya… seakan punya ikatan yang belum selesai dengan tanah tempatnya berpijak sekarang.
***
Siangnya, karena makin penasaran, Kirana memutuskan menyambangi Mak Yusra, bidan sepuh yang rumahnya terletak di kaki bukit, tak jauh dari sawah-sawah penduduk. Ia dikenal sebagai orang yang menguasai cerita lama, dan masih dipercaya oleh banyak warga untuk hal-hal yang berkaitan dengan pengobatan, adat dan sejarah desa. Berbekal petunjuk arah dari warga kampung, Kirana memulai petualangan nya sendiri.
Rumah panggung Makcik Yusra berdiri kokoh meski sudah renta. Dindingnya dari papan kayu ulin yang sudah tua, aroma kayu dan rempah langsung menyambut Kirana saat ia dipersilakan masuk. Di dalam, suara radio kecil terdengar memutar lagu ‘gamaik’ pelan.
Setelah mengucapkan salam dan dibukakan pintu, Kirana memperkenalkan diri kepada Mak Yusra. "Saya Kirana, dokter Puskesmas yang baru bertugas."
“Ohh. Dokter yang kemarin hampir kena sangsi adat itu?!” Sambut Mak Yusra dengan sedikit tertawa.
Kirana tersenyum malu. “Iya, Mak!” angguk nya.
Hehe. Mak Yusra memutar sugi (sirih) yang membuat mulut nya berwarna merah. Gigi wanita baya itu masih tampak utuh meski berubah warna karena kapur sirih. “Kamu tidak kapok, kan?” Mak Yusra melirik Kirana dengan sudut matanya.
Kirana menggeleng. “Tidak Mak!”
“Bagus!” mak Yusra mengangguk. Meski ia orang asli sini, ia memiliki pemikiran lebih modern. Pada tahun 70 an, ia pun sempat bersekolah di sekolah kesehatan setingkat SMA, sehingga ia diipanggil Bidan di kampung ini. Hanya saja,karena suatu peristiwa dan jiwa eksentriknya, ia lebih memilih hidup di kaki bukit ini seorang diri.
“Mak, saya mau tanya sesuatu,” kata Kirana hati-hati, sambil mengeluarkan buku catatan Anna dari dalam tasnya. “Amak pernah dengar nama ini?”
Mak Yusra mendekat, memicingkan mata, lalu duduk di tikar rotan dengan perlahan. Matanya menatap nama itu lama—Anna Elisabeth van Wijk.
Beberapa detik berlalu sebelum ia berbisik pelan.
“Dunia... belum lupa dia rupanya.”
“Jadi... Anna itu benar-benar ada?”
Mak Yusra mengangguk. “Bidan pertama yang datang ke Talago Kapur pakai sepeda besi. Namun orang-orang dulu takut padanya. Tapi Anna tetap sabar, bersikap lemah lembut. Dan berani.”
“Dulu tak jauh dari sini ada tempat tambang emas milik Belanda. Di bukit itu. Dekat gua. Karena itulah di sini dulu ada perwakilan Belanda. Salah satunya Anna.”
Kirana mendengarkan tanpa menyela.
“Anna suka jalan kaki sendiri ke kampung-kampung, bantu ibu bersalin, kasih bubuk putih buat luka, bawa sabun kecil buat anak-anak. Lama-lama... orang mulai suka sama dia.”
“Lalu apa yang terjadi padanya?”
Makcik Yusra menarik napas panjang. Suaranya bergetar saat melanjutkan. “Dia jatuh cinta pada Sutan Darwis, anak datuk (kepala suku) waktu itu. Tapi orang tua Darwis menolak keras. Tak mau darah luar masuk ke garis keturunan mereka. Apalagi orang Belanda.”
Kirana mengangguk pelan. Cerita itu sesuai dengan yang ia baca.
“Suatu malam, katanya mereka berniat pergi dari kampung. Tapi besok paginya... Anna tak pernah muncul lagi. Rumahnya kosong. Cuma ada... seutas kalung tergantung di pintu dan bau minyak kayu putih di udara.”
Makcik terdiam sejenak, lalu menatap Kirana tajam.
“Beberapa warga bilang, dia pergi ke Gua Batu Bundo—tempat yang dianggap sebagai rahim bumi. Mereka bilang kalau orang yang mengkhianati adat akan ditelan tanah.”
Kirana menelan ludah. “Tapi menurut Makcik… apa mungkin dia hanya pergi? Kabur ke tempat lain?”
Makcik menggeleng pelan. “Kalau dia kabur, kenapa kalung itu kembali? Dan kenapa... setiap perempuan baru yang datang ke sini, selalu merinding kalau melewati bekas bangunan bidan itu? Dan anehnya. Setelah Anna menghilang, tambang emas pun tidak lagi menghasilkan, sehingga Belanda meninggalkan daerah terpencil ini.”
Kirana terdiam.
Lalu Mak Yusra menatap langsung ke matanya dan berkata,
“Mungkin dia tak pernah benar-benar pergi, Nak. Mungkin dia cuma menunggu... ada yang cukup berani untuk menyelesaikan cerita yang ia tinggalkan.”
***
Sore itu, Kirana duduk di beranda rumah dinasnya. Kalung kayu itu tergantung di tangannya, berayun pelan tertiup angin. Ia mencoba mengingat setiap kalimat di catatan harian Anna, setiap bisikan yang ia rasakan sejak menemukan gedung tua itu.
Ia tak tahu kenapa, dan entah sejak kapan, ia mulai merasa… terhubung.
Dan malam itu, saat Kirana tidur dengan buku catatan di samping bantalnya, ia bermimpi.
Dalam mimpinya, ia berdiri di dalam ruangan yang penuh cahaya kuning. Seorang perempuan berambut digelung rapi berdiri di hadapannya, mengenakan baju medis zaman dulu, tersenyum tenang sambil berkata:
“Kamu tidak datang ke sini karena kebetulan. Kamu datang karena waktu sudah cukup lama menunggu.”
Kirana terbangun dengan keringat dingin. Napasnya memburu. Kalung di atas meja... bergerak sedikit, seolah ditiup angin, meski jendela tertutup rapat.
***