Kiran begitu terluka ketika mendapati kekasihnya berdua dengan wanita lain di dalam kamar hotel. Impiannya untuk melanjutkan hubungannya ke arah yang lebih serius pun sirna.
Hatinya semakin hancur saat mendapati bahwa pada malam ia merasa hampa atas pengkhianatan kekasihnya, ia telah melalui malam penuh kesalahan yang sama sekali tidak disadarinya. Malam yang ia habiskan bersama atasannya.
Kesalahan itu kemudian menggiring Kiran untuk membuka setiap simpulan benang merah yang terjadi di dalam kehidupannya.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon uma hajid, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Aku Mau
Tina dan Waluyo membaringkan Ariana ke atas tempat tidur dengan hati-hati. Setelah selesai, mereka berdua segera pergi. Tak lama kemudian, Tina kembali membawa segelas air hangat dan minyak kayu putih di atas nampan kemudian meletakkannya di atas nakas.
"Kau boleh pergi, Tina. Biar aku yang urus Mama." Tina mengangguk kemudian keluar dari kamar.
Begitu melihat bayangan Tina sudah tidak tampak, Ariana tampak membuka matanya. Ari menatap Mamanya dengan bangga.
"Aoww!" Ari meringis mengusap dahinya yang disentil oleh Ariana.
"Kamu udah senang sekarang, Ari. Mama sampai pura-pura pingsan begini!" Ariana melototkan kedua matanya. Ari hanya mesem-mesem melihatnya.
"Beneran kan, Ma ... seperti yang Ari bilang. Kiran itu susah banget ditaklukkan." Ariana mengangguk setuju.
"Mas nya sih ngebet banget pingin kawin ma dia. Tunggu aja kerjasama dengan papa Marissa selesai kan, Mama gak perlu sampai akting begini!" Ariana bangkit dari tidurnya dan duduk di atas kasur dengan kepala menyandar ke kepala tempat tidur.
"Ari takut kehilangan dia, Ma ...," ucap Ari lirih kemudian memutar bola matanya. "Tapi beneran akting mama tuh bagus banget. Sampe Ari kira betulan tadi." Ari menunjukkan kedua jempolnya.
"Mama gitu lho...," Mama Ariana berucap dengan bangga.
"Udah bisa tuh Ma, masuk dunia entertainment. Udah setara dengan akting Meriam Bellina," sahut Ari dengan penuh kebanggaan. Ariana terkekeh mendengarnya.
Radit yang baru masuk ke dalam kamar hanya bisa menggelengkan kepalanya. Ari dan Ariana pun langsung terdiam menyadari kedatangan Radit. Mereka melirik satu sama lain.
Radit menatap tajam kedua makhluk yang telah bersekongkol itu lalu beranjak keluar dari kamar dengan berdecak kesal. Ia menyesal telah khawatir tadi.
Radit jadi merasa bersalah pada Kiran karena tadi sempat mengancamnya. Radit pun melongok sebentar ke arah ruang tamu melihat gadis itu.
"Ari ... sepertinya kau harus melihat gadismu!" Radit berteriak pelan agar Ari yang berada dalam kamar bisa mendengarnya.
Ari menepuk pelan jidatnya. Ia hampir melupakan gadis itu. Ia pun segera melesat turun ke bawah.
"Kiran ... kamu gak papa?" tanya Ari heran melihat kondisi Kiran saat ini. Ia mendekati gadis itu. Ari mengambil posisi duduk di samping Kiran. Menatap Kiran dengan tatapan heran. Sepasang mata masih mengawasi mereka dari lantai dua.
Kiran meremas celananya. Tangannya mengepal kuat di atas pahanya. Air mata jatuh bercucuran dari kedua matanya yang terpejam. Badannya berguncang. Ia masih sesenggukan.
"Mama gak papa kok, Kiran. Mama sudah sadar. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan," bisik Ari lirih. Ari bingung dengan situasi ini.
"A-a-aku minta ma-maaf Ari ... aku gak tahu ka-kalo mamamu punya penyakit jantung ...," ucap Kiran terbata. Ia tak mampu berbicara dengan lugas seperti biasanya. Bayangan masa lalu memengaruhinya.
"Ma-maaf!" Kiran menumpahkan tangisnya. Matanya memejam dengan tangan semakin mengepal. Air mata semakin cepat meluncur turun dari pipinya.
Ari mendekati Kiran kemudian memeluknya dari samping dengan hati-hati. "Iya, gak papa ... yang penting mama udah sadar sekarang. Mama juga gak kenapa-kenapa kok. Jadi kamu gak perlu khawatir lagi."
Ari sedikit terkejut, Kiran sama sekali tidak menolak pelukan darinya. Seperti mendapat angin surga, Ari mengulurkan tangannya, menyentuh, meremas tangan Kiran yang menggenggam dan basah karena air mata.
Ari benar-benar bahagia. Kiran membiarkan semuanya. Jantung Ari berdebar dengan cepat disertai aliran panas yang mengalir dalam tubuhnya. Tak dipedulikannya ketidakempatiannya karena seperti mengambil kesempatan dalam kesempitan.
"Nona Kiran diminta nyonya untuk menemuinya di atas." Suara Tina mengangetkan Ari. Menghentikan perasaan yang masih terhanyut karena bisa merengkuh Kiran untuk kedua kali. Meskipun dalam kondisi Kiran yang tidak sadar.
"Sudah, jangan menangis lagi." Ari menghapus aliran air mata di kedua pipi Kiran yang masih diam membiarkan apa yang dilakukan olehnya. "Kita ketemu mama yuk." Menangkupkan wajah Kiran dengan kedua telapak tangannya.
Bagaikan anak kecil, Kiran hanya mengangguk mengiyakan. Kemudian mengusap sisa air mata di kedua wajahnya.
Ari diliputi perasaan bahagia saat ini. Untuk kali pertama ia merasa Kiran berada dalam bimbingannya. Biasanya kan gadis itu yang selalu membimbingnya. Ari tidak menyangka, sama sekali tidak menyangka jika Kiran bisa begitu rapuh.
Ari menggenggam tangan Kiran, menuntunnya menaiki tangga. Kiran mengikuti diiringi sisa sesenggukan yang masih terdengar.
Radit menunggu kedua orang yang saling bergandengan itu di depan pintu kamar Ariana. Melihat Kiran menangis tersedu-sedu membuatnya penasaran. Ia jadi Ingin memastikan sebab pasti tangisan Kiran. Jika memang Kiran menangis karena ancaman darinya maka ia akan meminta maaf.
Ari membimbing Kiran masuk ke dalam kamar. Memposisikan Kiran berada di depan Ariana yang masih duduk di atas kasur. Ariana menepuk pinggir tempat tidur. Meminta Kiran untuk duduk di situ. Kiran duduk menyamping di atas tempat tidur. Mata basah Kiran mengerjap, menatap Ariana dengan sendu.
Ariana tersenyum menatap Kiran. Melihat senyuman itu bukan membuat Kiran merasa tenang, ia malah semakin merasa bersalah telah membuat wanita di depannya ini pingsan. Kiran bangkit dari duduknya. Kemudian menghampiri Ariana. Ia menggenggam kedua tangan wanita paruh baya itu.
"Maafkan saya, Nyonya." Ia kembali terisak. Dia berlutut. Tangisnya kembali pecah.
Ariana terkesiap. "Heh, sudah, tidak apa-apa. Aku tidak apa-apa." menahan Kiran agar tidak berlutut di depannya.
Ariana melirik Ari yang menaikkan kedua bahunya. Radit mengawasi semua yang terjadi sambil bersidekap di atas dada dan menyandar pada daun pintu. Ariana memberi kode pada Ari. Ari mendekati Kiran lalu membantu gadis itu duduk kembali di tempat tidur.
"Sudah. Kau tidak salah. Kau jangan menangis lagi, Kiran ...." Ariana menggenggam tangan Kiran. Ada perasaan hangat hinggap di hati keduanya.
Kiran mengerjap, mengusap air mata di wajahnya. Ari memberikan tisu pada Kiran. Kemudian bantu menyapukan pada wajah gadis itu. Ariana mengamati tingkah anaknya dengan geli.
Bagaimana tidak geli. Ide agar Ariana pura-pura pingsan itu dari Ari. Agar Kiran bersedia menikah dengannya. Setelah Kiran menangis seperti ini, wajahnya malah tampak sangat mengasihani Kiran. Ariana kini semakin paham, putranya betul-betul mencintai gadis itu.
Untuk beberapa saat hening seketika. Ariana membiarkan Kiran meredakan tangisnya. Setelah Kiran tenang, Ariana kembali menggenggam tangan Kiran.
"Aku minta maaf atas kata-kataku, Kiran. Mungkin kau benar, jika seharusnya aku lah yang harus lebih keras mendidik Ari."
Kiran menggeleng pelan. "Itu tidak benar, Nyonya. Saya salah. Anda sudah mendidik Ari dengan benar. Dia pria yang baik."
Jika bisa, Ari ingin terbang sekarang.
"Aku yang terlalu egois Kiran. Di satu sisi aku ingin segera punya menantu. Di sisi lain putra-putraku kesulitan untuk memenuhi itu. Usia Ari sudah sangat pantas untuk menikah Kiran dan dia tertarik padamu. Kau lah gadis pertama yang dibawanya untuk diperkenalkan padaku sebagai calon istrinya. Namun, aku juga takut jika pernikahan kalian disiarkan, salah satu klien akan membatalkan kerja samanya." Kiran hanya diam mendengarkan. Ariana menarik nafas pelan kemudian melanjutkan.
"Kau tau Marissa kan? Marissa itu menyukai Ari sejak lama. Saat ini ada kerja sama antara perusahaan orang tua Marissa dengan perusahaan Ari. Kau pasti tahu betul itu. Aku hanya takut semua itu akan dibatalkan tiba-tiba jika kita mengumumkan pernikahan ini dengan segera. Kami tidak ada niat jahat padamu, Kiran. Ari betul-betul menyukai mu," jelas Ariana lagi. Mengulangi pernyataan tentang perasaan anaknya pada gadis itu.
Kiran masih terdiam. Merenung.
"Usiaku sudah tua Kiran. Aku ingin sekali menggendong cucu. Kakak Kiran, Radit, seperti lupa pada wanita. Harapanku hanya ingin melihat anakku ada yang mengurusnya. Aku terlalu takut dengan penyakit jantungku ini. Aku takut jika sampai ketika aku dipanggil Ilahi, aku belum juga tahu siapa pasangan dari anak-anakku."
Ari mundur selangkah ke belakang. Sejurus kemudian menatap wajah Ariana yang terlihat sendu. Kata-kata ini tidak pernah didiskusikan sebelumnya. Ia bisa merasakan bahwa apa yang baru saja diungkapkan Ariana adalah sesuatu yang berasal dari hatinya. Pria itu terenyuh.
Radit yang mendengar kata-kata Ariana pun ikut merasakan hal yang sama. Ia menatap iba pada Ariana. Suasana haru menguar tiba-tiba dalam ruangan itu.
Begitu juga dengan Kiran. Sedikit banyak ia mengerti perasaan Ariana sekarang. Ia menurunkan egonya. Ia bertekad akan bersedia menanggung apapun ke depannya. Kiran menarik nafas perlahan.
"Baiklah Nyonya. Saya bersedia menikah dengan Ari."
❤❤❤💖