Warisan darah. Kutukan leluhur. Perburuan yang tak pernah usai.
Di tengah kabut kelam tanah Pasundan, garis batas antara dunia manusia dan dunia gaib mulai menipis. Makhluk-makhluk yang seharusnya tersegel mulai bermunculan kembali, membawa kutukan, kematian, dan kegilaan. Hanya satu nama yang masih ditakuti oleh mereka yang hidup dalam kegelapan: Rengganis Larang.
Sasmita Wibisana, keturunan terakhir dari pemburu siluman, kini memikul beban warisan berdarah keluarganya. Dengan keris pusaka yang haus jiwa dan senjata api yang diberkahi mantra, ia menyusuri lorong-lorong gelap Nusantara untuk memburu entitas yang tak bisa dilawan manusia biasa. Tapi setiap makhluk yang ia bunuh, semakin dekat pula ia pada satu kebenaran yang telah dikubur berabad-abad: sebuah pengkhianatan di dalam garis darahnya sendiri.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Saepudin Nurahim, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Melindungi Sesama
Hutan itu... hidup. Tapi bukan dengan cara yang nyaman.
Batang-batang pohon menjulang seperti tulang belulang raksasa yang membatu, rantingnya menggaruk langit kelabu yang murung. Akar-akar melata di tanah lembap seperti urat nadi yang menjulur keluar dari perut bumi. Kabut tipis menutupi pandangan, membuat jarak lima meter ke depan terasa seperti lorong yang tak punya ujung. Udara di sini kental. Pekat. Bau tanah basah bercampur sisa kemenyan yang terbakar entah dari mana. Dan jauh di dalam... mereka mencari rumah berdinding hitam.
“Gue capek...” Kenan bersandar di batu besar, napasnya tersengal. “Udah dua jam kita jalan, Kak... rumahnya beneran ada?”
Sasmita, yang sejak tadi jalan di depan sambil menebas semak dengan golok pendek, berhenti. Ia menoleh pelan. Matanya tajam seperti biasa... tapi kali ini ada sedikit kelembutan di balik sorotnya.
“Kalau rumah itu gak ada, kita gak bakal dikejar setengah arwah tadi malam.”
Kenan nyengir tipis. “Iya juga sih.”
Sasmita duduk di sampingnya. Ia mengeluarkan botol kecil dari tas selempang kulitnya. Diminum sedikit, lalu ditawarkan ke Kenan. Bocah itu mencium aromanya, langsung geleng-geleng.
“Ini kayak... jamu rasa bangkai.”
Sasmita ketawa pelan. “Tapi bisa bikin badan lo gak remuk pas diserang siluman.”
“Gak usah deh. Mending remuk, daripada muntah.”
Sasmita memasukkan botol kembali, lalu menyandarkan tubuh ke pohon besar yang berlumut. Mereka berdua diam sejenak. Hanya suara serangga dan langkah kaki rusa dari kejauhan yang menemani.
Kenan akhirnya buka suara.
“Kak Sasmita... boleh gue nanya?”
“Hm?”
“Kenapa sih... lo sampai sejauh ini... ngurusin gue?”
Sasmita menatap langit sebentar. Kabut mulai turun lebih rendah, menggantung di sela ranting seperti tirai.
“Kenapa, ya...”
Ia mengambil napas, lalu menoleh pada Kenan yang menatapnya penuh rasa penasaran.
“Gue gak suka anak kecil,” katanya, jujur, “Apalagi yang ngambek dan susah dibilangin.”
Kenan langsung manyun. “Yah elah.”
“Tapi... lo beda.”
“Beda gimana?”
Sasmita menatap mata Kenan, serius kali ini. “Lo ngingetin gue sama seseorang. Dulu. Waktu gue masih... punya keluarga.”
Angin berhembus pelan, seperti ikut mendengarkan.
“Gue pernah punya adik,” lanjut Sasmita. “Namanya Galuh. Umurnya sepuluh tahun juga. Dia lucu, bawel, suka ngegambar tokoh silat. Tapi suatu malam... ada siluman yang masuk ke rumah gue. Gue masih remaja, belum cukup kuat buat ngelindungin siapa-siapa.”
Wajah Sasmita sedikit menegang. Matanya kosong.
“Galuh... mati di depan gue. Kepalanya ditarik keluar lewat jendela. Silumannya ketawa.”
Kenan terdiam. Bibirnya terbuka, tapi gak ada kata yang keluar.
“Sejak saat itu, gue janji. Gak akan ada lagi anak kecil yang mati di depan mata gue.”
Sasmita menghela napas, matanya kembali menatap Kenan. “Jadi... meskipun gue baru kenal lo tiga hari, gue gak peduli. Selama lo butuh dilindungi, gue bakal berdiri di depan lo.”
“Kenapa?” suara Kenan pelan, gemetar. “Kenapa sekeras itu? Emangnya gue siapa?”
Sasmita tersenyum kecil.
“Karena gue tahu rasanya kehilangan keluarga. Dan gue juga tahu rasanya... waktu seseorang bikin lo ngerasa punya rumah lagi, walau cuma sebentar. Lo bukan siapa-siapa buat dunia ini, mungkin. Tapi buat orang yang lihat lo berharga... lo adalah alasan mereka buat terus hidup.”
Kenan perlahan menunduk.
“Lagi pula,” lanjut Sasmita sambil meninju pelan bahu bocah itu, “jadi pahlawan bukan soal pake jubah, ngeluarin api dari tangan, atau mukulin siluman. Tapi soal tahu siapa yang lo lindungin, dan kenapa.”
“Bahkan kalau lo sendiri ketakutan?”
“Apalagi kalau lo ketakutan,” kata Sasmita mantap. “Keberanian itu bukan soal gak takut. Tapi soal tetap berdiri... meski lo tahu bisa mati kapan aja.”
Kenan menggigit bibir. Matanya mulai berkaca-kaca. Tapi ia gak mau keliatan cengeng. Jadi dia pura-pura ngucek mata.
“Masuk debu nih...”
Sasmita senyum, lalu berdiri. “Udah, yuk. Kita terus jalan. Matahari bentar lagi turun. Dan kalau kita masih di tengah hutan pas malam... kemungkinan lo digondol siluman sebesar kerbau itu lumayan tinggi.”
Kenan ikut berdiri, tapi sebelum jalan, ia menarik ujung trench coat merah maroon Sasmita.
“Kak.”
Sasmita menoleh.
“Thank you ya.”
Nada suaranya kecil. Tapi cukup untuk bikin langkah Sasmita berhenti sebentar. Ia hanya menepuk kepala Kenan, lalu lanjut jalan.
“Jangan bilang makasih dulu. Gue belum tentu bisa ngelindungin lo sampe akhir.”
“Tapi lo mau, kan?”
Sasmita menoleh sebentar, senyumnya tipis tapi tulus.
“Gue bakal coba. Sampai napas gue abis.”
Satu jam kemudian, langit makin muram. Burung hantu mulai berbunyi. Awan bergerak cepat, menyapu cahaya senja. Dan di depan mereka... muncul sesuatu.
Sebuah rumah.
Rumah kayu tua yang dindingnya hitam legam seperti arang. Atapnya miring, sebagian sudah runtuh. Daun-daun menempel di seluruh sisinya, dan jendela-jendelanya... bolong. Seperti mata buta yang terus mengawasi.
“Akhirnya...” gumam Kenan.
Sasmita mencabut keris pusaka dari pinggang. “Tetap di belakang gue. Kita gak tahu apa yang nunggu di dalem.”
Mereka perlahan melangkah masuk. Pintu kayu itu terbuka sendiri, berderit pelan seperti seseorang mengundang mereka masuk.
Di dalam, ruangan gelap. Ada meja tua di tengah, dikelilingi kursi-kursi yang sudah patah. Di dinding... ada lukisan. Wajah laki-laki tua, berjenggot panjang, dengan mata merah.
Kenan menunjuk. “Itu... mirip sama bayangan di mimpi gue...”
Sasmita mengangguk. “Ki Sura Adiprana. Manglayang Merah.”
Lalu tiba-tiba... ada suara.
“Selamat datang... Penjaga Segel.”
Suara itu datang dari bawah lantai.
Kenan dan Sasmita saling pandang.
Sasmita mencabut satu jimat dari ikat pinggangnya.
Kenan menggenggam tangan Sasmita erat.
Dan dari celah papan yang membusuk... muncul asap merah.
Bersambung...