NovelToon NovelToon
Dilema Raisa

Dilema Raisa

Status: sedang berlangsung
Genre:Konflik etika / Keluarga / Ibu Mertua Kejam / Pihak Ketiga / Chicklit
Popularitas:1.5k
Nilai: 5
Nama Author: ayuwine

Raisa, gadis malang yang menikah ke dalam keluarga patriarki. Dicintai suami, namun dibenci mertua dan ipar. Mampukah ia bertahan dalam badai rumah tangga yang tak pernah reda?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon ayuwine, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

10

"mas...apa kamu akan menuruti kemauan ibu?" tanya raisa dengan nada ragu.

"mas kurang tau,biar mas tanyakan dulu sama teteh."jawab iwan dengan menyuapkan nasi kedalam mulut nya.

Raisa terdiam, bahkan nafsu makan nya menguap entah kemana. "kenapa harus bertanya pada orang lain mas?" tanya raisa dengan nada kecewa.

iwan menghentikan tangannya,sendok nya kembali dia simpan. Matanya menatap heran raisa.

"apa maksud mu orang lain?"tanya iwan dengan mengerutkan dahi .

"mas...yang menjalani rumah tangga kita berdua! kenapa harus minta pendapat orang lain. Di sini isinya aku dan kamu."jelas raisa dengan menaikan sedikit perkataan nya.

"kenapa kamu menjadi egois seperti ini raisa? Wajar saja aku bertanya pada teh sari, dia kakak ku."jawab iwan dengan tatapan berkilat marah.

Raisa terdiam,mulut nya terkatup rapat. Tangannya menggenggam kuat sendok yang sejak tadi ia pegang.

"aku egois?"tanya nya dengan suara yang bergetar menahan tangis.

"berenti menangis raisa....jangan menggunakan kelemahan ku saat ini!" jawab iwan dengan sedikit kesal.

Iwan memang sangat tidak bisa melihat sang istri menangis, dia akan merasa sangat bersalah dan berfikiran dirinya telah gagal menjadi suami.

"Kenapa sih keluarga mas selalu ikut campur rumah tangga kita? Apa aku ini nggak pernah cukup jadi istri mas?!" teriak Raisa, suaranya pecah, air matanya mulai jatuh, sebelum akhirnya sendok di tangannya dibanting keras ke meja.

"RAISA!!!" bentak Iwan, matanya melotot, membuat Raisa sontak terdiam.

Raisa mematung. Matanya menatap kosong ke arah Iwan yang kini wajahnya merah padam menahan emosi.

Suara bentakan itu masih terngiang-ngiang di telinganya. Suara yang selama tiga tahun pernikahan mereka tak pernah sekalipun ia dengar. Suara yang kini membelah hatinya menjadi dua bagian, antara rasa cinta dan luka yang mendalam.

Perlahan, air mata mulai mengalir di pipinya, meski dengan keras ia mencoba menahannya. Ia memalingkan wajah, tak ingin Iwan melihat betapa hancurnya perasaannya saat ini.

"Kenapa, Mas?" bisiknya pelan, nyaris seperti gumaman. "Kenapa kamu berubah? Kenapa bukan aku yang kamu bela? Kenapa setiap keputusan rumah tangga kita harus melibatkan orang lain?" Suaranya bergetar, menahan tangis yang semakin tak terbendung.

Iwan hanya diam. Mungkin ia sadar bahwa kata-katanya barusan telah melukai Raisa lebih dari siapapun. Tapi egonya masih terlalu tinggi untuk meminta maaf.

Raisa menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya sendiri. Tapi hatinya begitu sesak, seolah dunia ikut menertawakannya.

"Aku istrimu, Mas... Istri yang kamu pilih, kamu nikahi. Tapi kenapa aku selalu seperti orang asing di hidupmu?" ucap Raisa lagi, kali ini dengan suara yang lebih tegas meski bergetar.

Tangannya yang tadi menggenggam sendok, kini jatuh lemas di atas meja. Air matanya jatuh satu per satu, membasahi pipinya yang pucat.

"Aku capek, Mas..." lanjutnya lirih. "Aku capek harus selalu mengalah, capek harus selalu dianggap salah, capek harus terus-terusan bersaing sama keluargamu sendiri."

Iwan memejamkan mata, menunduk, namun masih belum berkata apa-apa.

Raisa menatapnya tajam, walau matanya sembab. "Apa Mas gak pernah lihat? Aku berusaha jadi istri yang baik, tapi aku manusia biasa, Mas. Aku bisa lelah, aku bisa marah. Aku juga ingin dimengerti."

Suasana ruang makan itu hening. Yang terdengar hanya isakan kecil Raisa yang berusaha ditahan.

"Aku gak tau... sampai kapan aku bisa kuat kayak gini," ucap Raisa lagi, kali ini lirih, nyaris seperti bisikan putus asa.

Perlahan, Raisa bangkit dari kursinya, berjalan menuju kamar sambil mengusap air mata. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya, apakah cinta saja cukup untuk bertahan, saat yang lain terus menyakitinya?

Dan Iwan, hanya bisa memandangi punggung Raisa yang semakin menjauh, meninggalkan seribu pertanyaan yang belum sempat terjawab.

Tanpa mereka berdua sadari, sejak tadi Irah dan Roni diam-diam menyaksikan pertengkaran itu. Irah menggenggam erat tangan suaminya, jari-jarinya bergetar hebat. Matanya berkaca-kaca, tak percaya bahwa putri yang selalu tampak bahagia di depannya, ternyata menyimpan luka dalam rumah tangganya.

“Pak... anak kita...” bisiknya lirih, nyaris tak terdengar, seolah suaranya tercekat oleh sesak di dada.

Roni menarik napas panjang, berusaha menahan gejolak emosi di dalam hatinya. "Buk... bapak juga sakit lihat anak kita begini. Tapi lebih baik kita diam. Jangan ikut campur urusan rumah tangga mereka. Biarkan Iwan yang menyelesaikan.” Suaranya pelan namun tegas, meski jelas tampak kekecewaan di matanya.

Irah hanya mengangguk pelan. Air matanya jatuh, meski ia cepat-cepat mengusapnya.

Dengan lembut, Roni menuntun istrinya kembali ke kamar, menjauh dari ruang makan. Ia tak ingin Raisa maupun Iwan tahu bahwa mereka menjadi saksi pertengkaran itu.

Di dalam kamar, Raisa menangis sesenggukan. Beberapa kali dia menepuk dadanya dengan keras, seolah ingin mengusir rasa sesak yang mencekiknya. Tubuhnya gemetar, matanya bengkak penuh air mata. Tanpa peduli, Raisa mengunci pintu kamar rapat-rapat, membiarkan Iwan terdampar sendirian di ruang tamu.

"Mau sampai kapan seperti ini?" bisiknya lirih, hampir tak terdengar. "Bahkan suamiku sendiri... semakin hari semakin memihak keluarganya." Tangannya mengusap kasar air matanya, tapi semakin diusap, semakin deras tangisnya mengalir.

Sementara itu, di ruang tamu, Iwan duduk terpaku. Beberapa kali dia menghela napas panjang, matanya kosong menatap lantai. Tidur di atas kursi keras membuat tubuhnya pegal, tapi hatinya jauh lebih sakit. Sesekali matanya melirik ke arah pintu kamar, berharap Raisa mau membukakan pintu.

"Aku harus bagaimana?" lirihnya pelan, kepalanya bersandar lelah di sandaran kursi, tatapannya kosong menembus langit-langit rumah.

"Kenapa Raisa sekarang berubah? Kenapa dia makin posesif, makin curiga? Bahkan takut sekali kalau aku menuruti permintaan Ibu." gumamnya, lebih kepada diri sendiri. Helaan napas berat keluar dari mulutnya, seolah mencari jawaban yang tak kunjung datang.

Cukup lama Iwan duduk termenung, memikirkan semua yang terjadi, hingga tanpa sadar ia tertidur di atas kursi ruang tamu. Tatapan kosongnya tadi kini tergantikan dengan wajah lelah yang masih menyisakan kerutan di dahi.

Pagi itu, suara pelan namun tegas membangunkan Iwan dari tidurnya.

"Iwan... bangun, Nak," ucap Roni, mertuanya, sembari menyentuh pelan bahu menantunya itu.

Iwan terbangun dengan mata berat, berusaha memulihkan kesadaran dari tidur yang tak nyenyak.

"Oh... Pak," gumamnya pelan, sedikit terkejut sekaligus malu karena tertidur di ruang tamu.

Roni hanya tersenyum tipis, meski jelas ada kekecewaan dalam sorot matanya.

"Kamu tidur di sini? Kenapa nggak di kamar sama Raisa?" tanya Roni pelan, meski dia tahu jawaban dari pertanyaan itu.

Iwan menghela napas panjang, menunduk tanpa berani menatap langsung wajah mertuanya.

"Maaf, Pak..." hanya itu yang keluar dari mulutnya, suaranya nyaris tak terdengar.

Dari balik pintu dapur, Irah berdiri mengamati percakapan mereka. Matanya sembab, menahan amarah dan kecewa yang membuncah di dadanya. Selama ini, Irah selalu memuji Iwan, selalu membanggakan menantu yang dia kira penyayang dan penuh perhatian pada Raisa. Namun pagi ini, pujian itu seolah runtuh, hancur bersama pertengkaran semalam yang tak sengaja dia dengar.

"Nak Iwan..." ucap Irah akhirnya, suaranya pelan namun tajam menusuk.

Iwan menoleh, dan untuk pertama kalinya, dia melihat tatapan Irah yang berbeda. Tidak lagi ramah, tidak lagi penuh kasih, melainkan tatapan seorang ibu yang kecewa karena putrinya disakiti.

"Ibu kecewa, Nak... Selama ini Ibu selalu bilang kamu laki-laki baik. Selalu Ibu banggakan kamu di depan semua orang. Tapi... ternyata, kamu dan Raisa menyimpan masalah besar, ya?"

Suara Irah mulai bergetar, menahan amarah yang hampir pecah menjadi tangis.

Iwan terdiam, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Bukan begitu, Bu... saya... saya hanya—"

"Tapi kenyataannya, kamu tega bikin anak Ibu nangis semalaman!" potong Irah cepat, suaranya mulai meninggi.

Roni buru-buru mendekat, menenangkan sang istri, mengusap lembut punggung Irah yang mulai bergetar menahan isak.

"Sudah, Buk... sabar," bisiknya pelan.

Irah menghapus air matanya kasar, lalu menatap tajam ke arah Iwan.

"Kamu tahu, Iwan... lebih baik kamu pulang dulu ke rumah orang tuamu. Biar Raisa di sini sama Ibu, sampai dia tenang."

Mata Iwan melebar, tak percaya dengan ucapan itu.

"Bu, jangan gitu... saya—"

"Sudah!" tegas Irah.

"Jangan sampai Ibu kehilangan hormat sama kamu, Iwan. Pulanglah. Biarkan anak Ibu tenang dulu."

Iwan tertunduk, tak sanggup berkata apa-apa lagi.

Di dalam kamar, Raisa hanya bisa mendengar semua itu sambil menahan tangisnya. Hatinya hancur, tapi di satu sisi dia lega, karena akhirnya ada yang membelanya.

1
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!