NovelToon NovelToon
Menjadi Ibu Sambung

Menjadi Ibu Sambung

Status: sedang berlangsung
Genre:Nikahmuda / Cintamanis / Duda / Ibu Pengganti / Pengasuh / Pernikahan rahasia
Popularitas:8.3k
Nilai: 5
Nama Author: CovieVy

Naila baru saja turun dari bus dari luar pulau. Ia nekat meninggalkan keluarga karena demi menggapai cita-cita yang terhalang biaya. Naila lulus jalur undangan di sebuah kampus negeri yang berada di ibu kota. Namun, orang tuanya tidak memiliki biaya hingga melarangnya untuk melanjutkan pendidikannya hingga memaksanya menikah dengan putra dari tuan tanah di kampung tempat ia berasal.

Dengan modal nekat, ia memaksakan diri kabur dari perjodohan yang tak diinginkan demi mengejar mimpi. Namun, akhirnya ia sadar, biaya perguruan tinggi tidak bisa dibayar hanya dengan modal tekad.

Suatu saat Naila mencari pekerjaan, bertemu dengan balita yang keluar dari pekarangan tanpa penjagaan. Kejadian tak terduga membuat ia bekerja sebagai pengasuh bagi dokter tampan yang ditinggal mati oleh istri yang dicintainya.

#cintaromantis #anakrahasia

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon CovieVy, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

3. Cobaan Pertama

Matanya terbelalak saat melihat sosok pria menenteng tas ranselnya—satu-satunya benda yang menyimpan impian dan perjuangan selama bertahun-tahunnya.

Tanpa berpikir panjang, Naila menerjang ke depan. “Hei, itu tasku!” teriaknya, suaranya menggema di antara deru kendaraan yang lewat dan jemaah yang sedang melaksanakan kewajiban di dalam mesjid.

Pria itu berhenti sesaat, menoleh sesenggukan, dan menggenggam erat tas milik Naila. Tatapannya tiba-tiba berubah menakutkan, lalu ia mendorong Naila dengan sekuat tenaga—tindakan spontan yang membuat Naila terhuyung dan hampir tersungkur di atas ubin di teras mesjid itu.

Jantungnya berdetak terlalu cepat saat berkas-berkas penting—surat keterangan, formulir pendaftaran, dan fotokopi ijazah—melayang di udara, kemudian tergeletak berserakan.

Denyut sakit muncul di lututnya, tapi Naila tahu tak ada waktu untuk menjerit. Ia merunduk, merogoh remuk-rebutan kertas putih itu. Setiap lembar yang ia genggam adalah harapan yang tak boleh hilang.

Di saat mencoba menyelamatkan semua berkas penting tersebut dalam beberapa detik, pria perampok itu telah menghilang dalam semerbak hiruk pikuk terminal yang tiada henti diisi oleh masyarakat yang berlalu lalang.

Langkah Naila terhenti—tapi sebelum ia sempat mendongak, sebuah tangan mungil menarik ujung pakaiannya yang telah lusuh hingga hampir menyeret gadis kecil itu ke lantai.

“Adek nggak apa-apa?” Naila secepat kilat menangkap tubuh kecil itu. Gadis berkuncir dua itu duduk terguncang, matanya membulat penuh kaget dan air mata.

“Ma-ma... Ma-ma...” suara lirihnya memecah kepanikan Naila.

Sekian detik kemudian, teriakan lembut ayah sang bocah terdengar. “Rindu! Kamu di mana saja? Papa khawatir!”

Dari sisi lain dinding masjid, seorang pria tampak tengah menggendong bayi mungil, wajahnya cemas meski ia berusaha menahan kepanikan.

Naila menenangkan diri meski di dalam hatinya penuh oleh rasa kalut dan cemas. Ia menggandeng tangan si bocah.

“Jadi, nama kamu Rindu ya?” tanya Naila sambil tersenyum tipis. Ia masih berusaha menahan gejolak di dalam dadanya.

Gadis yang ditanya, terlihat ceria kala digandeng oleh Naila. "Papaaa," soraknya dengan senyuman dalam mata berbinar.

Ia menyerahkan Rindu langsung ke salah satu tangan ayahnya, lalu menjawab, “Wah, sekarang kamu sudah bersama papa. Jangan jauh-jauh main dari papanya ya.” Naila melambaikan tangan memberikan senyuman manis kepada gadis kecil itu.

Pria itu menatap Naila beberapa waktu tanpa berkedip. Setelah itu, matanya mengerjap dan ia menggeleng cepat. “Terima kasih, Mbak," ucapnya dengan suara bergetar seakan menahan sesuatu yang entah, apa.

Naila seakan tak mendengar ucapan tersebut telah berbalik langkah, menghindar dari tatapan aneh dari pria dan orang-orang asing tersebut—Rasa bercampur aduk kini sedang berkecamuk antara lega, bersalah, dan putus asa.

Di saat langkahnya belum terlalu jauh, dengan jelas Naila mendengar Rindu memanggilnya. “Pa-pa ... Ma-ma, Pa?” Suara polos itu hilang di antara hiruk pikuk suasana ramai sekitar.

Naila terus memutar akal, apa yang harus ia lakukan. "Ke mana aku harus mencari tas itu?” gumamnya dalam rasa lelah yang sungguh hebat.

—“krucuuuuk”—

Tiba-tiba perutnya menggerutu lantang seperti alarm kelaparan yang tak bisa ditawar. Dua lembar uang ratusan ribu ini masih utuh di kantong celananya. Teriknya matahari terus mendorong pikirannya yang telah panas karena kejadian tak terduga ini.

"Apakah uang ini cukup untuk perjalanan ke kampus?" Sejenak, Ia tertunduk, memejamkan mata. Dalam diam, ia berdialog kepada Yang Maha Kuasa.

“Ya Allah...

Ampuni hamba yang lemah ini.

Jika ini ujian-Mu mengharap aku tak mudah goyah,

beri lah hamba kekuatan untuk terus berjalan.

Meski tak tahu ke mana harus melangkahkan kaki,

ridhoi setiap niat dan usahaku, ya Rabb.”

Setelah menarik napas panjang, Naila bangkit. Tasnya mungkin telah hilang, tapi tekadnya tak boleh pudar.

“Bismillah...” gumamnya, lalu berjalan menuju jalan utama yang telah hilir mudik diisi oleh kendaraan kota yang padat merayap.

Busway pertama sudah menunggu beberapa puluh meter di depan. Ia berjalan cepat, boots kanvasnya terantuk batu kecil, tapi ia tak mengeluh. Setiap langkah adalah janji: “Aku harus sampai di kampus malam ini.”

Namun, eberapa detik kemudian, perutnya benar-benar meronta tak mampu lagi bila terus diberi jeda untuk diisi. Ia teringat akan rekomendasi Bu Aisyah yang mengatakan: “Ada makanan warteg dengan harga yang sangat terjangkau di dekat halte. Pemiliknya juga sangat ramah. Setiap kali sampai di ibu kota, Ibu pasti singgah ke sana."

Naila memutar kepala mencoba menerka tempat yang dimaksud sang guru. Dan benar, tak jauh dari tempatnya berdiri, ia menemukan sebuah warteg yang terlihat begitu ramai.

Tanpa berpikit panjang, ia masuk dan segera memesan sepiring nasi putih, ikan goreng, dan sayur bayam. Aroma sederhana itu mampu menenangkan hatinya yang masih goyah.

Saat suapan pertama masuk ke mulut, air mata tiba-tiba menetes. Ia segera menyeka pipinya dengan punggung tangan, tak ingin terlihat lemah di depan orang lain. Ia berusaha untuk mengurangi porsi makan dari seharusnya.

“Bu, apa boleh sisa nasiku dibungkus saja?”

Ibu penjual berpikir sejenak, dan melihat raut Naila yang terlihat bimbang dan lelah. Ia mencoba menerka sendiri apa yang baru saja dialami oleh gadis belia yang tentu sangat asing ini.

“Lebih baik nasinya dihabiskan saja. Bude lihat, kamu masih laper. Lagian, kalau dibungkus dalam keadaan seperti ini, nasinya akan basi. Jadi percuma dong?"

Naila sedikit gelagapan karena penjual nasi ini bisa menebak apa yang sedang terjadi padanya. "Jadi, ga bisa dibungkus ya, Bu?" tanyanya canggung dan malu.

"Habisin aja gih. Nanti Bude bungkus yang baru untukmu.”

Naila telah pasrah dengan pengeluarannya yang tak bisa ditekan. Ia kembali melanjutkan menghabisi isi piring tersebut. Sementara itu si pemilil warung tengah sibuk menyiapkan lauk dan sayur diatur rapi dalam kresek, terpisah kuahnya agar tidak bikin lembek.

Ketika Naila menyerahkan uang seratus ribu, ibu itu menolak. “Simpan saja, Dek. Lain kali kamu bayar.”

Hati Naila sesak. Ia teringat keuangan yang memang sangat tipis yang akan digunakan untuk membeli tiket busway, tiket kereta, hingga biaya makan di kemudian hari.

Ibu itu kemudian mengambil sehelai kaos lengan panjang—bekas seragam olah raga—dan menyerahkannya. “Pakai ini jika kamu butuh. Siapa tau bisa sedikit membuatmu lebih hangat.”

Air mata Naila benar-benar tumpah sekarang. “Terima kasih banyak, Bu... jazakallah khairan.” Ucapan itu terengah, ia tak sanggup berkata lebih panjang.

Lampu jalan kota kini mulai menyala satu per satu dan berkelip seakan menyambutnya. Ini menandakan, bahwa ia akan berperang melawan dinginnya malam. Ia pun memakai pakaian olah raga tadi, dan memang memberinya sedikit kehangatan.

Dari halte, ia naik busway menuju stasiun, lalu berganti kereta. Malam makin dalam saat akhirnya ia memijak gerbang kampus. Gedung-gedung tua bergaris bayangan, sementara masjid kampus berdiri terang di tengah pekarangan.

Dengan napas masih tersengal, Naila mengangkat menarik pintu mesjid, “Assalamualaikum.”

Suara lembut menjawab dari arah dalam mesjid, “Walaikumsalam.” Beberapa mahasiswa menoleh, lalu kembali khusyuk.

Di sudut masjid, ia menyelipkan map berkas ke meja sudut di balik rak mukena, memandang deretan kopiah dan Al-Qur’an yang rapi.

Tanpa baju ganti, ia kembali mengenakan kaos olahraga pemberian ibu warteg. Lalu ia ke toilet, mencuci wajah, dan merapikan rambut. Setelah itu, ia wudhu, salat Isya dengan khusuk—berharap setiap ayat dan doa menenangkan hatinya.

Selesai salat, ia membuka nasi bungkus. Betapa laparnya ia, hingga setiap suap terasa seperti oasis di padang gersang. Ia berdoa kecil di dalam hati, lalu memenuhi perutnya. Setelah kenyang, ia menata sarung masjid sebagai selimut. Lampu masjid meredup saat petugas azan telah tertidur sebagai mana mestinya.

Naila menutup mata, merasakan kelelahan teraliri damai. Map berkas di bawah punggungnya jadi bantal, dan desah napasnya menyatu dengan dengungan kipas angin. Namun, baru beberapa menit, suara tegas membangunkan:

“Siapa itu? Dilarang tidur di masjid ini!”

Sorot lampu senter menghunjam matanya. Jantungnya tercekat—aku belum mulai kuliah, belum bayar uang semester, belum tahu besok makan apa, dan... ini baru malam pertama.

1
MomyWa
jangan jahat2 lah duo maut tu..
Eva Karmita
jangan buat pisah ya otor biarkan Martin dgn Naila tetap bersatu
SoVay: hihihi, simak terus ya kakaaa
total 1 replies
Safira Aurora
thor, mau ada eksien kah ini?
SoVay: ayo ikuti terus yaaa
total 1 replies
Safira Aurora
afa2an ini?
Safira Aurora
mungkin kamu sebenarnya anak pungut /Smile/
Safira Aurora
gletak gletuk bunyinta thor?
FieAme
aku kasih vote tapi janji harus keren kelanjutannya
SoVay: terima kasih yaaaah
total 1 replies
FieAme
bisa ga ya, ceritanya lurus2 aja thor?
arielskys
duh, dikirain keluarga mereka akan adem ayem
SoVay: minta doanya yaaaa
total 1 replies
Syahril Maiza
duet maut kerja sama
SoVay: harus semangat
total 1 replies
FieAme
weeeh, syukur laaah..martin tetep bela istri. wooi lah, jangan lama2 konfliknya thor
FieAme
walah, kemarin sibuk dunia nyata thor, waaah..aku mleyooott
Safira Aurora
udah Naila, gak perlu pikirkan marvel. katanya mau jd soleha
MomyWa
thor, kasian om apel. jodohkan sama azwa gih. dia pengen om2 kan 🤣
MomyWa
sabar ya om
MomyWa
makan tuh ego
MomyWa
nah, ini baru suamik. ga kayak cerita lain saat istri diserang keluarga hanya diam aja
MomyWa
soalnya mama yg jodohin mereka, bilang gitu ma..biar meisya paham
MomyWa
nah, lawan dong. jangan mewek aja
MomyWa
gemes euy sama meisya
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!