Shana bersedia menjadi pengganti bibi-nya untuk bertemu pria yang akan di jodohkan dengan beliau. Namun siapa yang menyangka kalau pria itu adalah guru matematika yang killer.
Bagaimana cara Shana bersembunyi dari kejaran guru itu?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Lisa, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Bab. 10
Ponsel berdering milik seseorang membuyarkan keheningan barusan. Ternyata itu ponsel milik Shana. Pak Regas dan Vino melihat ke arah gadis itu hampir bersamaan.
"Halo Shan. Bibi sudah sampai di belokan, sebentar lagi mau nyampek di gerbang sekolah," ujar Raisa di telepon.
"Ah, bibi! Ya. Aku ke sana sekarang. Enggak apa-apa. Bukannya bibi masih ada perlu di sana?"
Rupanya Shana sengaja mengeraskan suaranya karena itu bisa di buat sebagai alasan untuk pergi dari tempat ia berdiri. Ia juga berbicara sendiri. Makanya bibinya kebingungan.
"Maaf, Pak. Saya di jemput bibi saya di ujung belokan. Beliau ada perlu di sana. Permisi," ujar Shana tergesa-gesa. Vino dan Pak Regas. Dua orang yang paling ingin ia hindari saat ini.
Sementara itu di atas motor, Raisa melihat keheranan pada layar ponselnya.
"Ngomong apa sih tu anak?" Raisa kebingungan dengan kalimat keponakannya. "Mau kesana kemana? Kan aku bilang mau menjemputnya di depan gerbang sekolah. Dia ngapain ngomong sendiri?" Raisa keheranan dengan cara bicara keponakannya. Namun akhirnya dia bertemu juga dengan Shana yang berjalan agak cepat dari arah gerbang sekolah menuju ke arahnya. Raisa melambaikan tangan. "Halo keponakanku yang cantik?"
Bruk! Dengan wajah kecut, Shana naik ke atas motor tanpa menjawab sapaan Raisa.
"Eh, marah ya karena bibi telat?" tanya Raisa melihat wajah masam itu.
"Bukan. Cepatlah pulang Bi. Cepat pergi dari sini," pinta Shana dengan panik.
"Oh, ya? Ada apa?" tanya Raisa tambah kebingungan seraya menyalakan mesin motor.
"Ada Pak Regas di gerbang sekolah."
"Regas? Pria yang ada di kencan buta?" tanya Raisa menoleh ke belakang.
"Iya. Ayo cepat pergi."
"Oke, oke." Dengan cepat Raisa membawa keponakannya secepatnya mungkin menjauh dari sekolah.
...***...
...***...
Sementara itu, di gerbang sekolah. Pak Regas dan Vino memperhatikan Shana yang terlihat terburu-buru menuju ke jalan yang ada di samping sekolah. Jika Pak Regas memperhatikan karena perkara kencan buta itu. Vino sendiri sepertinya ada hal lain yang terjadi diantara dia dan Shana di masa lalu.
"Hhh ..." Vino menghela napas melihat kepergian gadis itu. Dia masih saja menghindari ku, batin Vino.
"Kamu enggak pulang?" tanya Pak Regas pada Vino di sampingnya.
"Sebentar lagi."
"Bukannya Shana sudah pulang? Jadi kamu sudah enggak punya keperluan lagi untuk menunggunya kan?" tanya Pak Regas seakan meledek karena alasan Vino tidak segera pulang sudah tidak ada. Shana yang di gadang-gadang bakal dia temani sekarang sudah kabur.
"Ya," sahut Vino seraya menipiskan bibir geram. Padahal dia masih mau pergi ke suatu tempat tadi meskipun Shana tidak ada di gerbang. Vino memilih patuh dan menyalakan motornya. "Saya pulang Pak ..."
"Ya. Hati-hati!" Setelah kepergian Vino, Regas kembali melihat ke arah jalan di mana Shana menghilang. "Gadis itu sengaja kabur ya. Hmmm ..." Regas tergelak ringan. "Dia pikir dengan begitu, aku tidak akan bisa menemukannya? Padahal sudah aku katakan aku punya bukti, tapi dia belum sadar kalau kartu pelajarnya hilang. Gadis yang sembrono." Regas tersenyum merasa geli mengingat tingkah muridnya yang sudah berani-berani mengaku sebagai seorang perempuan dewasa, bahkan sempat kencan buta dengannya.
Di jalan. Motor Raisa masih melaju mulus di aspal.
"Jadi kamu masih di kejar sama si Regas itu?" tanya Raisa di atas motor. Mereka masih dalam perjalanan pulang.
"Ya. Aku jadi buronan," ucap Shana dengan bibir menipis kesal.
"Hahaha ..." Raisa merasa lucu. Shana mengerutkan dahinya heran dan kesal mendengar tawa meledek milik bibinya. "Tapi dia enggak ngapa-ngapain kamu kan?" tanya Raisa.
"Ngapain apa?"
"Ya, semisal mengancam dan sebagainya."
"Sejauh ini sih ... kata-kata Pak Regas itu di bilang mengancam juga bukan, tapi kan akunya yang enggak enak, Bi. Ketahuan bohong di depan orang lain kan enggak nyaman. Apalagi dia guruku. Bayangkan saja bagaimana perasaan Bibi sendiri kalau begitu."
"Aku enggak pernah bohong sih ..." Raisa mengatakannya dengan bangga.
"Aku juga bohong kan karena nolongin Bibi!" gerutu Shana meninggikan suaranya. Tangannya memukul punggung bibinya.
"Aduh! Hahaha ..." Raisa ketawa. Senang sepertinya sudah mengerjai keponakannya.
"Meski begitu, aku harus kucing-kucingan kalau ketemu Pak Regas."
"Kan seru juga tuh."
"Seru apaan sih, Bi?!" Shana kesal bibinya menganggap ini sebuah lelucon.
"Selama kamu enggak dikeluarkan dari sekolah berarti aman. Lagian kenapa dia yakin sekali kalau kamu itu adalah perempuan yang datang pas kencan buta. Kan bisa saja hanya mirip." Raisa.
"Aku tidak tahu. Dia kan bilang punya bukti. Aku tidak bisa berpikir bukti apa yang menguatkan aku adalah teman kencan buta Pak Regas waktu itu." Shana sedikit pasrah soal bukti ini. Pikirannya tidak sampai kesana. Raisa manggut-manggut mendengarkan Shana bicara.
****
Ini hari libur.
Raisa masuk ke kamar Shana dan membangunkan gadis itu dengan setengah panik.
"Shan, ayo bangun." Raisa menggoyang-goyangkan tubuh keponakannya. Namun gadis itu tidak juga bergerak. "Hei, bangun anak dodol." Raisa lebih keras menggoyangkan tubuh Shana. Pun menarik selimut yang menutupi gadis itu. Plak! Karena geregetan keponakannya tidak segera bangun, Raisa menepuk pantat Shana agak keras. Alhasil gadis ini terperanjat kaget.
"Hah? Apa? Apa?" tanya Shana kebingungan.
"Bangun hei!" Raisa melotot.
"Bibi?"
"Susah banget sih di bangunin. Ayo bangun dan cepat bersih-bersih. Bapakmu mau ke sini."
"Ha? Bapak?"
"Iya."
"Waduh gawat." Mendengar itu Shana langsung bangun dan secepatnya ke kamar mandi.
"Hhh ... Mas Anton memang menakutkan," sebut Raisa nama bapak Shana itu. Raisa pun keluar dan langsung bersih-bersih. Setelah dari selesai membersihkan diri, Shana langsung membersihkan rumah. Semua jendela di bersihkan hingga bening. Gorden-gorden pun di ganti yang baru. Shana tidak mau nanti bapaknya melihat banyak hal yang membuat dirinya dan bibi di anggap malas.
Sekitar jam 9 pagi, kedua orang tua Shana tiba di depan rumah ini.
"Ibu ..." Shana langsung memeluk ibunya ketika di depan halaman. Dia sengaja menunggu di depan tadi.
"Aduh anak ibu, sudah besar." Ibu membelai rambut Shana dengan sayang. Raisa yang ada di belakang tersenyum. Dia mendekat pada kakaknya dan mencium tangan beliau sebagai tanda hormat dan sayang pada saudaranya.
"Kamu sehat?" tanya Anton pada adiknya.
"Sehat Mas." Raisa mengangguk. Setelah itu ia melakukan hal yang sama pada kakak ipar yaitu ibunya Shana. "Ayo masuk dulu Mbak," ajak Raisa pada kakak iparnya. Ibu Shana mengangguk.
"Aku yang bawa barang-barangnya ya Pak," pinta Shana pada bapaknya yang sedang membawa barang.
"Enggak usah. Bapak aja. Sudah jalan saja sana," tolak Anton karena tidak ingin putrinya kesusahan membawa bawaan dari kampung. Shana mengangguk. Ia jalan dengan ibu dan bibi Raisa.
...----------------...