Alby dan Putri adalah dua remaja yang tumbuh bersama. Kedua orang tua mereka yang cukup dekat, membuat kedua anak mereka juga bersahabat.
Tidak hanya persahabatan, bahkan indahnya mahligai pernikahan juga sempat mereka rasakan. Namun karena ada kesalahpahaman, keduanya memutuskan untuk berpisah.
Bagaimana jika pasangan itu dipertemukan lagi dalam keadaan yang berbeda. Apakah Alby yang kini seorang Dokter masih mencintai Putri yang menjadi ART-nya?
Kesalahpahaman apa yang membuat mereka sampai memutuskan untuk berpisah?
Simak cerita selengkapnya ya...
Happy reading.
------------
Cerita ini hanya fiksi. Jika ada nama, tempat, atau kejadian yang sama, itu hanya kebetulan semata.
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon el nurmala, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
bodoh?
Happy reading...
Putri mengikuti langkah Alby dengan tanda tanya besar dalam benaknya. Ia tidak mengerti mengapa pria ini membawanya ke kamar pribadi.
Alby membuka pintu lemari pakaian. Dan mengeluarkan hampir semua pakaian yang ada didalamnya.
"Cuci semua ini dan pastikan rapi kembali," titah Alby.
Putri menatap heran pada Alby. Ia tidak habis pikir dengan apa yang dilakukan pria ini.
"Tapi ini masih bersih dan juga rapi, Al." Protesnya.
"Kamu ingat, kamu harus profesional. Jadi kerjakan saja dan jangan membantahku." Ujarnya ketus.
Dengan perasaan kesal, Putri memungut satu persatu pakaian Alby yang berserakan di lantai. Ia mendelik menatap Alby yang melepaskan baju atasan dan melemparkannya ke dekat Putri.
Alby masuk ke dalam kamar mandi. Saat Putri hendak beranjak, kamar mandi dibuka sedikit oleh Alby.
"Nih, sekalian." Ucapnya sambil melemparkan sisa pakaian yang tadi dikenakannya.
Putri mendengus kesal. Ia bahkan mengepalkan tangan hendak memukul pintu yang sudah tertutup kembali itu namun tertahan. Ia merasa geram dengan sikap Alby yang seenaknya.
Di dalam kamar mandi, Alby menyeringai mengingat raut wajah Putri yang kesal. Ia terkekeh sambil menundukkan kepalanya lalu mengeleng pelan.
"Kenapa dia selalu memakai baju yang warnanya sudah pudar? Dasar laki-laki tidak tahu diri. Dia sudah memeras tenaga putri dengan membantunya mencari nafkah, tapi Putri bahkan tidak bisa membeli pakaian yang layak untuk dirinya sendiri." Geramnya.
Di sisi lain, Putri tidak kalah akal. Ia memilah mana sekiranya baju yang harus disetrikanya lagi dan mana yang tidak perlu.
"Heh, untuk apa aku mencuci baju yang masih bersih. Dasar Alby, mentang-mentang aku minta bayaran tinggi baju bersih pun harus aku cuci." Gerutunya.
Setelah memilah, Putri membersihkan halaman rumah terlebih dahulu. Suara klakson mobil seseorang mengalihkan perhatiannya.
"Itu sepertinya tunangan Alby," gumam Putri.
"Kok kamu ada di sini? Bukannya kamu kerja hari Sabtu sama Minggu aja?" tanya Intan ketus.
"Saya diminta datang setiap hari, Non."
Sambil mendelik Intan berlalu ke dalam rumah. Terdengar seruan wanita itu yang memanggil-manggil nama Alby. Putri meneruskan pekerjaannya, mencoba tidak berprasangka apa-apa terhadap mereka.
Setelah selesai, Putri membersihkan bagian dalam rumah. Ia melihat Intan yang keluar dari salah satu kamar tamu.
"Nama kamu siapa?" tanya Intan sinis pada Putri yang sedang mengepel lantai tidak jauh dari posisinya yang terduduk di sofa.
"Putri, Non."
"Sepertinya kamu lebih muda dari ku. Berapa umurmu?"
"Dua puluh sembilan tahun," jawab Putri pelan.
"Sudah menikah?"
Putri mengangguk pelan.
"Sudah punya anak?"
"Sudah, usia sepuluh tahun."
"What?" pekik Intan.
Ujung mata Putri melihat Alby yang menuruni anak tangga. Ia pun meneruskan pekerjaannya.
"Putri, ambilkan jus ku." Titahnya sembari berjalan mendekati sofa.
Putri bergegas menuju meja makan, mengambil jus buah yang tadi dibuatnya.
"Kenapa? Kamu kok seperti orang kaget begitu," tanya Alby heran. Pria itu duduk menyandarkan punggungnya dan mulai membaca berita online.
"Itu si Mbak. Masa iya umur sama dengan kita, sudah punya anak umur sepuluh tahun? Tadinya aku kira umurnya dibawah kita. Dua puluh empat mungkin," ujar Intan.
"Hehe... Awet muda ya, Non."
Intan mendelik tidak suka. Alby menerima jus yang disodorkan Putri dengan raut wajah yang menegang.
"Kamu kenapa, Al?" tanya Intan heran.
"Ehhem, nggak apa-apa. Aku baru ingat ada janji dengan pasien lebih awal dari jadwal praktekku." Sahutnya.
"Oh.. Mbak, memangnya waktu menikah umur berapa?" tanya Intan.
"Waktu masih SMA, Non," sahut Putri sambil melirik Alby yang kebetulan sedang meliriknya juga.
"Lho, memangnya boleh masih sekolah sudah menikah?"
"Boleh saja, Non. Tapi ya itu.. Saya dikeluarkan dari sekolah sebelum lulus. Hehe..."
Putri meneruskan pekerjaannya sambil tersenyum mengenang masa remajanya.
"Memangnya dijodohkan ya, Mbak?" selidik Intan.
"Intan, dia kapan selesainya kalau harus menjawab pertanyaanmu terus."
"Menjawab pertanyaan kan nggak ngengganggu pekerjaan, Al."
Intan memperhatikan Putri dan kembali menanyakan hal yang sama.
"Saya memang dijodohkan, Non. Dengan sahabat saya sendiri," sahut Putri mencoba sesantai mungkin.
"Sahabat? Berarti kalian seumuran dong. Terus, apa dia juga dikeluarkan dari sekolah?"
"Tidak. Dia masih diperbolehkan sekolah oleh pihak sekolah. Lagi pula kan pendidikan penting sekali untuk laki-laki, Non. Kalau dia nggak punya ijazah SMA, nanti dia susah mau mencari kerja atau melanjutkan ke perguruan tinggi." Sahutnya.
"Idih, Mbak-nya bodoh. Mau aja dijodohkan dan keluar dari sekolah. Terasa kan sekarang, cuma bisa jadi asisten rumah tangga." Decihnya.
Putri hanya bisa tersenyum kecut dan melanjutkan pekerjaannya lagi. Sementara Alby yang mendengarkan semuanya merasakan dadanya yang bergemuruh laksana badai yang siap memporak-porandakan apa saja yang didekatnya.
"Intan, aku harus pergi sekarang. Aku tidak mau membuat pasienku menunggu." Ucapnya.
"Baiklah, aku juga mau pulang. Tadi aku mengambil jam tanganku yang tertinggal." Sahutnya.
Mereka berdua siap untuk berangkat. Namun langkah Alby terhenti oleh panggilan Putri.
"Pak Dokter, ee.. Saya mau izin keluar sebentar lagi. Boleh ya? Saya harus menghadiri rapat di sekolah anak saya," ujar Putri ragu.
"Terserah kamu. Asalkan pekerjaan kamu selesai dan jangan lupa mengunci pintu." Sahutnya datar.
"Terima kasih," ucap Putri pelan.
Putri menatap sendu Alby dan Intan yang berjalan bergandengan menuju mobilnya masing-masing. Ia hanya menyeringai menertawakan nasibnya saat ini. Bodoh? Intan benar, mungkin ia selama ini memang bodoh. Menunggu Alby kembali adalah kebodohannya yang hakiki.
***
"Aku tidak seperti itu, Al. Percayalah padaku, semua yang dituduhkan itu tidak benar. Hiks.."
Tatapan Alby menajam dengan rahangnya yang mengeras. Tangannya terkepal kuat hingga memperlihatkan buku-bukunya yang memutih manakala kalimat Putri terngiang kembali di telinganya.
"Dasar pembohong! Apanya yang tidak benar jika kenyataannya setelah kejadian itu kamu justru menikah dengannya. Dengan pria brengs*k itu. Berani sekali kamu melakukan semua ini sebelum kita benar-benar... Argh!" geram Alby yang memukul kemudinya.
Alby membiarkan kepalanya menempel pada kemudi yang sedang di pegangnya. Sebisa mungkin ia harus mengontrol emosi sebelum keluar dari mobilnya. Sebagai seorang dokter ia harus bisa mengesampingkan perasaannya saat berhadapan dengan pasiennya nanti.
Alby mengangkat wajahnya. Bersandar pada kursi dan menghela nafas dalam agar ia merasa lebih tenang. Lalu lalang orang-orang dihadapannya membuatnya hanya bisa menatap nanar.
"Tega sekali kamu, Put.." Lirihnya.
Suara ketukan pada kaca mobilnya mengagetkan Alby. Diusapnya kasar wajah yang terlihat lesu itu. Ia harus bisa bangkit dari keterpurukan hatinya. Adalah hal yang bodoh jika ia masih mengharapkan Putri kembali.
"Selamat pagi, Dokter Alby!" sapa seorang pria yang tadi mengetuk kaca mobilnya.
"Selamat pagi juga, Dokter Arga." Sahutnya.
Arga merupakan salah satu rekan sesama Dokter yang bertugas di ruang IGD.
"Kebetulan kita ada di jam yang sama," ucap Dokter Arga."
"Iya, ya. Biasanya jadwal kita selalu berlawanan."
"Berarti mulai sekarang kita dipasangkan, haha." Kelakarnya.
"Yaah, mimpi apa saya dipasangkan dengan Dokter pria," gurau Alby.
"Yee, terus Dokter maunya dipasangkan sama Dokter Intan ya?"
"Haha, nggak juga."
Alby berjalan beriringan bersama rekan sejawatnya. Untuk sesaat ia harus bisa mengesampingkan perasaannya.
Boleh tdk tamat sekolah tp Jangan Mau di Goblokin Lelaki.. Apa lg Mantan Suami yg Gak Jelasa Statusnya.
Di katakan Mantan Suami, Nikahnya masih Nikah Sirih, bukan Nikah Syah Secara Hukum Negara.
Oh Putri Goblok, Mudah x memaafkan..
aku suka cerita nya gx bertele2 terus bisa saling memafkan
sukses buat author nya,,, semangatt