Demi pergi bersama selingkuhannya seorang wanita bernama Camila tega menempatkan saudari kembarnya bernama Camelia disisi suaminya bernama Dion. Camila lebih memilih pria selingkuhannya lantaran Dion selalu saja bersikap kasar dan menyiksanya saat sedang kesal kepadanya.
Malam pertama ketika Camelia berada di kediaman Dion, semua pelayan merasakan sesuatu yang janggal pada sikap Camelia yang mereka anggap adalah Camila. Tentu saja karena Camelia dan Camila memiliki sikap yang sangat bertolak belakang, lagipula tidak ada yang mengetahui bahwa Camelia dan Camila adalah saudari kembar termasuk Dion.
Bagaimana hari-hari yang akan dijalani Camelia sebagai wanita samaran untuk Dion?
Apakah Camelia bisa menempatkan dirinya sebagai Camila tanpa sepengetahuan Dion?
Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon Widya Pratiwi, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri
Merasa sedikit terdesak
Camelia berdiri sembari terus mengucapkan doa agar ia tidak segera kehilangan ibunya. Tangannya gemetaran lantaran ketakutan tak ingin mendengar hal-hal buruk mengenai ibunya. Saat dalam situasi seperti itu, tanpa sengaja Camelia menoleh pada Baren dan Evelin yang datang menghampirinya.
"Camelia, ada apa? Kenapa kau gemetar seperti ini?" tanya Baren.
Camelia tidak menjawab sepatah katapun dari pertanyaan yang dilontarkan Ayahnya tersebut. Lalu dokter pun keluar dari ruangan itu. Dengan segera Camelia mendekatinya.
"Dokter, apa yang terjadi pada ibuku? Ibuku kenapa?" tanya Camelia panik sekaligus sangat khawatir.
"Tenanglah, ibumu hanya mengalami reaksi dari efek obat yang aku berikan," sahut Dokter itu.
"Dokter, bagimana keadaan istri saya?" tanya Baren membuat Dokter itu bingung saat menatap Baren.
"Apa tuan suami dari pasien?" Dokter itu balik bertanya.
"Iya, Dokter!" sahut Baren.
"Kalau begitu lebih baik tuan ikut keruangan saya untuk membicarakan semuanya mengenai penyakit yang di derita nyonya Shofia." kata Dokter itu.
"Baiklah Dokter," sahut Baren kemudian melangkah mengikuti Dokter itu keruangannya.
Sementara itu Camelia lebih memilih masuk ke dalam ruangan dimana ibunya sedang tertidur setelah mengalami sesak nafas. Begitu pula dengan Evelin yang turut masuk ke dalam ruangan tersebut dan melihat sosok istri pertama dari suaminya.
"Ibu ...." ucap Camelia sembari menangis di samping Shofia.
Lalu Camelia melirik Evelin yang masih menatap sinis pada ibunya.
"Mau apa kau kesini? Pergi!" usir Camelia tampak geram saat melirik Evelin yang tengah berdiri di dalam ruangan itu.
"Oh, ayolah Camelia! Aku tau kau takut kehilangan ibumu, bukan? Jadi kau tidak perlu bersikap kasar padaku dan juga ayahmu!" kata Evelin.
"Apa maksudmu?" tanya Camelia masih menatap kesal padanya.
"Ibumu butuh donor jantung dan juga operasi pencangkokan jantungnya ... kau pikir itu tidak memerlukan biaya yang banyak, hah?" sahut Evelin.
"Itu tidak ada urusannya dengan kalian!" gerutu Camelia.
"Tentu saja ada, karena hanya ayahmu yang bisa membantumu untuk membayar semua biaya pengobatan ibumu serta tagihan biaya rumah sakit yang menunggak! Kau pikir kami tidak tau kalau kau sedang membutuhkan uang yang banyak untuk membayar tagihan rumah sakit ini!" ucap Evelin lagi.
"Kalaupun aku membutuhkan uang, tetap saja aku tidak akan pernah meminta uang dari kalian berdua!" sahut Camelia tegas.
"Heh, kita lihat saja nanti ... apa kau masih tetap bisa bersikeras untuk menolak kehadiran ayahmu yang bisa membantu pengobatan ibumu yang penyakitan itu!" ujar Evelin bersikap begitu angkuh di hadapan Camelia.
"Keluar dari ruangan ini!" ucap Camelia dengan nada geram mengusir Evelin.
Dengan raut wajah yang kesal Evelin pun melangkah keluar dari ruangan tersebut. Sementara itu Camelia kembali menatap wajah ibunya yang tampak begitu pucat.
"Ibu, aku mohon jangan tinggalkan aku ... aku hanya ingin melihat ibu kembali pulih seperti dulu, hanya ibu yang aku miliki saat ini." ucap Camelia dengan tatapan matanya yang mulai berair hendak menangis.
Usai bicara dengan dokter, Baren menghampiri Camelia yang sedang duduk di taman rumah sakit. Saat itu Camelia ingin menghirup udara segar dan menghilangkan sejenak kesedihan yang menumpuk di pikiran serta hatinya.
"Camelia!"
Camelia menoleh kearah suara yang memanggil namanya. Ia melihat sosok Baren yang berdiri di sisi kanannya.
"Mau apa Tuan kesini?" tanya Camelia dengan nada datarnya.
"Camelia, aku Ayahmu ... kenapa kau tidak memanggilku dengan sebutan ayah, Nak?" sahut Baren.
Camelia hanya diam dan memalingkan pandangannya dari Baren. Sejenak Baren memperhatikan sikap Camelia yang tampak begitu dingin kepadanya.
"Walaupun mereka kembar identik, tapi sikap mereka sangat bertolak belakang! Camelia bersikap tenang dan sedikit berbicara sehingga terkesan memiliki sikap yang begitu dingin, sedangkan Camila begitu banyak bicara, periang dan juga ceroboh dalam banyak hal." gumam Baren dalam hatinya.
Baren memutuskan untuk duduk di kursi taman tersebut tepat di samping Camelia.
"Camelia, ibumu harus segera di operasi." ucap Baren.
"Aku tau," sahut Camelia.
"Ayah akan membawanya kerumah sakit besar yang ada di ibukota ... disana ibumu akan mendapatkan perawatan yang lebih dalam penyembuhannya pasca operasi nanti," kata Baren lagi.
"Kenapa Tuan repot-repot membawa ibuku ke ibukota? Bukankah Tuan sudah meninggalkannya dulu?" cetus Camelia masih dengan nada bicara yang datar.
Baren menghela nafas begitu berat setelah mendengar beberapa pertanyaan yang dilontarkan putri sulungnya yang dingin tersebut.
"Yaaah, Ayah akui kalau dulu Ayah salah karena telah meninggalkan ibumu ... tapi Ayah sudah menyesalinya dan ingin membayar apa yang telah Ayah lakukan pada kalian," ucap Baren.
"Tidak usah! Aku bisa menjaga ibuku sendiri," sahut Camelia.
Camelia segera bangkit dan hendak kembali keruangan ibunya.
"Camelia, kau ingin ibumu sembuh kan?" lanjut Baren membuat langkah Camelia berhenti.
"Kalau kau ingin ibumu sembuh maka kau harus menghilangkan rasa egomu itu, Camelia! Kau harus memikirkan ibumu bila kau benar-benar menyayanginya." sambung Baren.
Baren kembali mendekati putri sulungnya itu untuk membujuk agar mau ikut bersamanya ke ibukota dengan alasan agar Shofia mendapatkan perawatan yang lebih baik disana.
"Camelia, singkirkan sifat egomu itu dan pikirkan kondisi ibumu ... jika kau ingin ibumu sembuh tidak ada ada cara lain lagi selain membawa ibumu ke rumah sakit ibukota untuk melakukan pencangkokan jantung." sambung Baren lagi.
Camelia memang tampak diam, namun di dalam hatinya ia merasa sedikit terdesak dengan kondisi ibunya yang harus menjalani operasi pencangkokan jantung. Camelia berbalik dan menatap Baren dengan seksama.
"Untuk semua biaya biar Ayah yang tanggung ... kau tidak perlu memikirkannya," ucap Baren sembari membelai rambut Camelia yang terurai panjang.
"Apa Tuan bisa menjamin apa yang Tuan katakan tadi? Aku hanya tak ingin Tuan menelantarkan ibuku lagi!" tanya Camelia dengan raut wajah yang datar saat saling menatap dengan Baren.
"Tentu saja asalkan kau mau melakukan satu hal untukku!" sahut Baren.
Camelia mengerutkan dahinya.
"Aku ingin kau memanggilku, ayah." ucap Baren sembari tersenyum dan mengelus kepala Camelia.
Tanpa menanggapinya Camelia kembali melangkah dan berlalu begitu saja menjauh dari Baren.
"Sial! Anak itu memang benar-benar dingin!" umpat Baren dalam hatinya merasa kesal lantaran Camelia tetap tidak ingin memanggilnya dengan sebutan ayah.
"Camelia! Walaupun kau tidak mau memanggilku ayah, tapi tidak bisa dipungkiri bahwa kau adalah darah dagingku!" teriak Baren ketika Camelia sudah menjauh darinya.
Camelia tidak menoleh sedikitpun dan terus melangkah menuju masuk ke dalam gedung rumah sakit tersebut. Di salah satu koridor rumah sakit, tubuh Camelia roboh dan terduduk pada salah satu kursi yang ada disana. Pikirannya begitu sumpek dengan kejadian-kejadian yang begitu menyayat hatinya di tambah lagi saat itu ia baru saja patah hati lantaran hubungannya yang kandas begitu saja.