NovelToon NovelToon
MERRIED WITH YOUNG BOY

MERRIED WITH YOUNG BOY

Status: sedang berlangsung
Genre:Dijodohkan Orang Tua / Nikahmuda / CEO / Berondong
Popularitas:3.9k
Nilai: 5
Nama Author: LaruArun

"Kenapa harus aku yang menikah dengannya?”


Ava Estella tak pernah membayangkan hidupnya akan berubah sedrastis ini. Setelah kehilangan kekasihnya—putra sulung keluarga Alder—ia hanya ingin berduka dengan tenang. Namun keluarga Alder terlanjur menaruh rasa sayang padanya; bagi mereka, Ava adalah calon menantu ideal yang tak boleh dilepaskan begitu saja.

Demi menjaga nama baik keluarga dan masa depan Ava, mereka mengambil keputusan sepihak: menjodohkannya dengan Arash, putra kedua yang terkenal keras kepala, sulit diatur, dan jauh dari kata lembut.

Arash, yang tak pernah suka diatur, menanggapi keputusan itu dengan dingin.
“Kalau begitu, akan kubuat dia meminta cerai sebelum satu bulan.”

Dua pribadi yang sama sekali berbeda kini dipaksa berada dalam satu ikatan.

Apakah pernikahan ini akan membawa mereka pada jalan yang diharapkan keluarga Alder?
Atau justru membuka luka, rahasia, dan perasaan yang tak pernah mereka duga sebelumnya?

Karya ini diterbitkan atas izin NovelToon LaruArun, isi konten hanyalah pandangan pribadi pembuatnya, tidak mewakili NovelToon sendiri

BAB 9 KEMBALI BEKERJA

Ketukan pelan di pintu memecah kesunyian malam. Suara itu terdengar tiga kali—ritmis, tidak tergesa, namun cukup tegas untuk membuat Arash menghentikan tarian jarinya di atas keyboard. Cahaya layar komputer menyinari setengah wajahnya, membuat lingkar mata akibat kelelahan semakin terlihat.

Dengan malas, ia berdiri dari kursinya. Langkahnya pelan namun penuh ketidaksabaran saat ia menuju pintu. Begitu dibuka, ia mendapati Agam berdiri di ambang, hanya mengenakan pakaian tidur berbahan katun yang sudah sedikit kusut. Rambutnya pun terlihat acak, seolah ia tak benar-benar bersiap untuk percakapan panjang malam ini.

“Papa… ada apa?” tanya Arash dengan suara datar.

“Boleh Papa masuk?” balas Agam, nada suaranya tenang namun ada kehati-hatian yang tidak biasa.

Arash menyingkir untuk memberi ruang. Agam masuk, lalu pintu kembali tertutup dengan bunyi klik lembut yang memantul di ruangan yang cukup luas itu. Lampu meja kerja menjadi satu-satunya sumber cahaya, membuat ruangan terkesan hangat namun remang, seperti Kubikel rahasia seorang programmer muda.

Pandangan Agam langsung jatuh pada komputer di sudut ruangan. Deretan tulisan hijau berlari-lari di layar hitam. “Apa yang kau buat?” tanyanya sambil menggerakkan dagu ke arah layar.

“Arash sedang membuat schedule,” jawabnya sambil duduk kembali, kursinya berdecit pelan. “Supaya semuanya lebih teratur.”

“Begitu, ya…” gumam Agam, meski jelas pikirannya tidak benar-benar pada monitor itu.

Mata Arash menyipit. “Papa datang kemari hanya untuk bertanya itu?”

Agam menggeleng perlahan. “Bukan.” Ia berjalan menuju ranjang, lalu duduk di ujungnya dengan gerakan yang mencerminkan beban pikiran yang lebih berat dari kelihatannya. “Papa datang kemari untuk membahas tentang posisi COO.”

Kursi Arash langsung berputar menghadap ayahnya. Ekspresinya berubah seketika—antusias, gairah, ingin tahu. Aura percaya diri khas Arash muncul seperti nyala api kecil yang disulut angin.

“Papa sudah dengar kinerjamu dari semua petinggi,” ucap Agam sambil menepuk bahu putranya, lembut namun penuh makna. “Dan Papa bangga denganmu. Benar-benar bangga.”

Ia menatap mata Arash. “Apa kau benar-benar mau menduduki posisi itu?”

Arash mengangguk mantap. “Arash mau. Tapi bukan karena Papa pemilik Helion.” Tatapannya tegas. “Itu karena Arash merasa cocok dan layak duduk di kursi itu.” jawabnya, dengan keyakinan yang tajam seperti bilah.

Agam menghela napas panjang. Suara helaan itu seperti tanda bahwa apa yang akan ia katakan selanjutnya tidak mudah, bahkan untuk ayah sekaligus pemimpin besar sepertinya. “Baiklah,” katanya akhirnya. “Papa akan berikan posisi itu padamu. Tapi ada syaratnya.”

Arash langsung terangkat dari duduknya. “Apa itu? Apa Arash harus menarik klien baru? Klien dari mana? Katakan saja, biarkan Arash yang tangani.”

“Bukan.”

“Lalu apa?” Arash makin tegang. “Apa harus menjaga Esther?”

Agam kembali menggeleng. Perlahan. Berat. Seolah kata berikutnya adalah batu yang harus ia lempar meski tahu akan menyakitkan.

“Syaratnya…”

Ia berhenti sejenak.

“…kau harus menikah dengan Ava.”

“APA?!” Arash sontak berdiri. Suaranya menggema di seluruh ruangan. Ia memandang ayahnya seolah tak percaya apa yang baru saja didengarnya.

“Papa yang benar saja! Dari semua kerja keras Arash, kenapa syaratnya harus itu?!”

Agam tetap diam, sementara Arash mulai berjalan mondar-mandir seperti singa terperangkap.

“Kenapa harus dia? Tadi Mama, sekarang Papa juga. Apa yang istimewa dari dia sampai Mama dan Papa begini?”

“Ava itu perempuan yang baik,” jawab Agam, suaranya tegas namun tidak keras. “Papa dan Mama sudah menyayanginya seperti anak kandung sendiri.”

Arash tertawa pendek penuh kemarahan dan frustasi. “Kalau begitu adopsi saja dia! Kenapa harus menikah denganku?!”

“Dia punya keluarga. Mana mungkin kita mengadopsinya. Lagipula apa salahnya menikah?” suara Agam mulai meninggi, namun masih berusaha tenang.

“Menikah tidak salah! Yang salah itu Papa dan Mama MAU menjodohkan aku dengan dia! Itu yang salah!” Arash memukul udara, seolah ingin menghancurkan sesuatu yang tak terlihat.

Hening. Hanya suara napas keduanya yang terdengar.

Agam akhirnya bangkit. Ia tahu perdebatan ini tidak akan menghasilkan apa-apa. Arash tidak akan berhenti berdebat ia terlalu keras kepala. Kata-kata apapun yang ia ucapkan akan ditangkis, dibalas, ditolak. Dan dirinya… terlalu lelah untuk menjelaskan sesuatu yang bahkan ia sendiri tidak sepenuhnya mengerti.

“Keputusan Papa sudah bulat,” katanya sebelum berjalan menuju pintu. “Jika kau mau posisi itu, terima syaratnya.”

“Papa! Papa tidak bisa begini!” Arash berteriak. “Papa!”

Namun klik pintu kembali terdengar. Agam sudah keluar.

“Ah, sial!”

Arash mengumpat, mendengus keras, lalu mengacak rambutnya kuat-kuat. Rasa kesalnya memuncak hingga ia menendang kursinya sampai bergeser beberapa sentimeter. “Sebenarnya mantra apa yang dia berikan pada keluargaku?! Sampai mereka melakukan semua ini?!”

Sementara itu, Agam berjalan pulang menuju kamarnya. Koridor gelap, hanya diterangi lampu malam kecil di sisi dinding yang memantulkan bayangan panjang tubuhnya. Nafasnya berat—bukan karena lelah fisik, tapi lelah hati.

Ketika ia membuka pintu kamar, Margaret sudah berdiri di sana. Wajahnya tampak menunggu, penuh harapan—harapan yang retak begitu melihat ekspresi suaminya.

“Bagaimana? Apa Arash setuju?” tanyanya nyaris berbisik.

Agam menggeleng perlahan. “Dia tidak mengatakan apa-apa.”

Bahunya langsung turun. Kekecewaan tergambar jelas di wajahnya. “Aku berharap… dia akan setuju.”

Agam mendekat, memegang lengan istrinya dan menatapnya. “Jika Arash setuju… bagaimana dengan Ava?”

Margaret tersenyum kecil—senyum seorang ibu yang telah merencanakan sesuatu jauh sebelum orang lain menyadarinya.

“Ava pasti mau,” katanya yakin. “Mama sudah tahu caranya.”

...----------------...

Matahari naik perlahan dari balik atap gedung-gedung tinggi, memecah langit pagi dengan cahaya yang hangat dan bersih. Udara masih lembap, seolah kota baru saja selesai bernapas setelah malam panjang. Sinar keemasan itu menerobos masuk lewat jendela kamar Ava, memantul lembut pada perban putih yang masih membalut keningnya.

Hari ini, untuk pertama kalinya sejak kecelakaan itu, ia memutuskan untuk kembali bekerja.

Bukan karena ia sudah pulih sepenuhnya karena rasa nyeri masih datang seperti denyut kecil yang menyelinap di bawah kulit. Tapi karena diam di rumah membuat pikirannya justru terjebak pada kenangan-kenangan yang ingin ia lupakan.

Bella, yang menginap semalam untuk memastikan Ava tidak sendirian, sibuk merapikan tas besar berisi sketsa, sampel kain, dan dokumen klien. “Kau yakin sudah kuat?” tanyanya untuk ketiga kalinya pagi itu.

Ava tersenyum kecil, mencoba tampak lebih kuat dari yang ia rasakan. “Jika aku diam di rumah sehari lagi, aku bisa gila,” jawabnya sambil menarik napas panjang.

Mereka berdua turun menuju halaman depan. Udara pagi terasa lebih sejuk, dan ketenangan jalanan yang masih belum penuh oleh klakson membuat langkah Ava terasa ringan—walau hanya sedikit.

Di depan rumah, paman Theo—supir barunya—sudah berdiri menunggu dengan sopan. Usianya sekitar enam puluh, tubuhnya tegap meski rambutnya memutih di sisi-sisi. Sejak kecelakaan itu, Ava memohon pada Luis untuk dicarikan supir, dan Theo-lah yang akhirnya datang. Wajahnya selalu tenang, seperti seseorang yang sudah melihat terlalu banyak hal di hidupnya dan memilih untuk tidak terkejut lagi oleh apapun.

“Selamat pagi, nona Ava,” sapanya sambil membukakan pintu mobil.

Ava mengangguk kecil. “Pagi, paman Theo.”

Perjalanan menuju kantor berjalan sunyi namun tidak canggung. Bella sesekali melirik Ava, memastikan gadis itu tidak merasa pusing. Di luar, pepohonan di trotoar bergerak perlahan diterpa angin; dunia berjalan normal, sementara dada Ava terasa sedikit lebih berat dari biasanya.

Begitu mobil berhenti di depan gedung kantor, Ava menarik napas panjang, menenangkan diri sebelum melangkah turun.

Hanya beberapa detik setelah ia memasuki area studio desain, suara Irene langsung menyambar seperti petir tanpa aba-aba.

“Ava!” Irene menghampirinya dengan langkah cepat dan mata yang membulat penuh tekanan. “Ini warna apa yang kau kirim ke klien kemarin? Kita sepakat pakai sorrel brown, bukan caramel!”

Ava mengerjap bingung, otaknya seolah ingin mengejar percakapan yang berlari terlalu cepat untuknya. “Tapi… klien meminta tone yang lebih hangat. Aku pikir—”

“Aku tidak butuh kau berpikir! Aku butuh kau mengikuti arahan!” potong Irene sambil memijat pelipisnya dengan frustasi.

Suasana ruangan yang awalnya sibuk mendadak hening sejenak. Beberapa pegawai melirik tanpa berani menatap terlalu lama.

Ava menelan ludahnya, mencoba menahan rasa perih di kepalanya yang mendadak berdenyut. Ia belum terbiasa lagi dengan ritme cepat dan tekanan ini—dan Irene, dengan segala ketelitiannya, selalu menjadi badai pertama yang harus ia hadapi.

Namun sebelum Ava sempat meminta maaf lebih jauh, Irene mendapatkan pesan masuk di ponselnya. Wajahnya berubah dalam hitungan detik.

“Kliennya… memilih warna yang kau pakai?” gumam Irene, suaranya turun beberapa oktaf dari tadi.

Bella menahan tawa di sebelah Ava. Irene menghela napas panjang, antara kesal dan pasrah. Ia menatap Ava lagi, kali ini kurang meledak—meski tetap dengan level stres khas dirinya. “Baiklah. Lain kali tetap konfirmasi dulu,” katanya, lebih lembut walau masih terdengar mengomel.

Ava mengangguk pelan. “Maaf, nona Irene.”

Begitu pekerjaan selesai, Ava keluar dari butik untuk menghirup udara segar. Ia memeluk gelas kopi hangat di tangannya, menyesap sedikit demi sedikit sambil menatap jalanan yang ramai. Suasana itu menenangkan; suara mesin mobil, derap langkah orang, dan angin yang berembus lembut membuatnya merasa sedikit lebih hidup.

Namun ketenangan itu runtuh dalam satu detik. Seseorang menarik lengannya dengan kasar, cukup kuat hingga tubuh Ava terdorong ke belakang. Punggungnya membentur dinding bangunan di sisi butik. Kopinya hampir tumpah dari genggamannya.

.

.

.

.

.

.

.

.

📌 selamat membaca❤️

1
Sri Peni
ceritanya bagus aq lebih tertarik pd diksinya.
Sri Peni
updatenya jgn lama2
Sri Peni
apakah ini novel terjmahan? krn diksinya benar2 pas bagiku. . benar2 bahasa sastra. maaf baru kali ini aq bc , cerita yg bhsnya bagus .. sulitdibahas dgn tertulis
Ig ; LaruArun: Bukan ka, ini bukan novel terjemahan. cerita ini pure isi kepala aku. btw, terimakasih banyak karena udah mampir dan mohon dukungannya 🥰
total 1 replies
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!